Jakarta, Kompas - Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan secara keseluruhan karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945. MK tidak sepakat dengan penyeragaman bentuk badan hukum penyelenggara pendidikan seperti yang diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 2009.
Hal itu terungkap dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibacakan pada Rabu (31/3). Putusan itu dibacakan majelis hakim konstitusi dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Moh Mahfud MD.
Putusan itu menjawab permohonan yang diajukan perorangan, Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (BPPTSI), sejumlah pesantren dan yayasan pendidikan, seperti Yayasan Trisakti, Yayasan Pendidikan dan Pembina Universitas Pancasila, Yayasan Universitas Surabaya, Yayasan Universitas Prof Dr Moestopo, Komisi Pendidikan Koferensi Waligereja Indonesia, YPTK Satya Wacana, serta Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar.
Selain itu, kata majelis hakim MK, UU itu juga memiliki kelemahan dari aspek yuridis, kejelasan maksud, dan keselarasan dengan UU lain. Pengaturan badan hukum pendidikan dalam Undang-Undang Badan Hu- kum Pendidikan (UU BHP) pun dinilai tidak sesuai dengan rambu-rambu yang pernah diberikan MK dalam putusan sebelumnya terkait Pasal 53 Ayat (1) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Pasal 53 Ayat (1) menyebutkan, ”Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan”.
Bagi MK, istilah badan hukum pendidikan itu bukanlah nama dan bentuk badan hukum tertentu. Istilah itu hanya sebutan dari fungsi penyelenggara pendidikan, artinya suatu lembaga pendidikan harus dikelola oleh suatu badan hukum.
Tidak harus seragam
MK menilai, UU BHP menyeragamkan bentuk hukum badan hukum pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat tidak sesuai dengan maksud UUD 1945 (Pasal 31). Sistem pendidikan nasional dalam UUD tidak dimaknai bahwa penyelenggara pendidikan nasional harus diatur secara seragam.
Dalam putusannya, MK juga memberi penghargaan tinggi terhadap sekolah-sekolah swasta yang dikelola dengan keragaman. Sekolah-sekolah tersebut dinilai turut berjasa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, baik pada masa penjajahan maupun kemerdekaan. Sekolah swasta pada zaman penjajahan berperan mencerdaskan karena sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Belanda tidak menjangkau keseluruhan masyarakat serta bersifat elitis dan diskriminatif.
”MK tidak menemukan alasan yang mendasar diperlukannya penyeragaman penyelenggara pendidikan,” ujar hakim konstitusi.
Putusan tersebut disambut positif, baik oleh pemohon maupun pengamat pendidikan. Thomas Suyatno dari Asosiasi BPPTSI mengatakan, pembatalan UU BHP ini merupakan kemenangan seluruh masyarakat. Pihaknya tetap menolak upaya penyeragaman dan segala kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945 Alinea IV.
Sementara itu, tokoh senior CSIS, Harry Tjan Silalahi, menjelaskan, putusan MK adalah putusan mencerahkan dan menunjukkan sisi kenegarawanan hakim-hakimnya.
Kuasa hukum pemohon, Taufik Basari, menjelaskan, dengan dibatalkannya UU BHP oleh MK, ketentuan tersebut sudah tidak berlaku sejak hari Rabu kemarin.
Terkait dengan pembatalan UU BHP, Juru Bicara Wakil Presiden Yopie Hidayat mengatakan bahwa saat ini Wakil Presiden Boediono sedang mempelajari dengan saksama keputusan MK. Selanjutnya, pemerintah akan memastikan agar tidak terjadi pertentangan hukum.
Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh mengatakan, pemerintah menghormati putusan MK dan siap melaksanakannya. Menyikapi putusan MK karena adanya kelompok masyarakat yang mengajukan uji materi UU BHP, Nuh mengatakan bukan berarti ada pihak yang kalah dan menang.
Menurut Nuh, pemerintah akan membahas konsekuensi dibatalkannya UU BHP, termasuk meninjau ulang peraturan pemerintah hingga peraturan menteri yang berkaitan dengan UU BHP dan UU Sisdiknas. (ANA/DAY/ELN)
Sumber: Kompas, Kamis, 1 April 2010
No comments:
Post a Comment