Sunday, April 18, 2010

Rendra-PGB Bangau Putih (4): Teratai Itu Berkembang...

-- Bre Redana

Bagi yang setia pada jalannya alam akan mudah memahami, yang kita jalani selain merupakan perencanaan kita, terdapat unsur lain yakni penyelenggaraan Ilahi. Begitu pun menyangkut hubungan kita dengan seseorang. Mereka yang pernah dekat dengan kehidupan Suhu Subur Rahardja dan Louise Annsberry niscaya bisa mengerti bagaimana hubungan keduanya berkembang.

Subur Rahardja (1925-1986) (DOK PGB BANGAU PUTIH)

Tahun 1975 Suhu dan Louise menikah di Ubud, Bali. Seperti teratai, meminjam sajak Rendra, ”...Empat susunan daun bunganya, mengembang ke empat penjuru alam, melewati empat cakrawala.” Gunawan Rahardja, putra keenam Suhu yang mengakui dirinya dulu sebagai ”paling bandel”, berucap, ”Ada yang terbuka pada Suhu. Ada yang terbuka pada Louise.”

PGB Bangau Putih berkembang pesat. Selain Kebun Jukut di Bogor, kemudian berdiri padepokan di Tugu, Cisarua, yang kini luasnya terhitung mencapai tiga hektar (sebelumnya bahkan lebih dari itu)—menjadi area seperti Shaolin Temple. Bangau merentangkan sayap.

Muridnya ribuan. Cabang tersebar bukan hanya di Indonesia, tapi juga ke beberapa negara, seperti Amerika, Jerman, Perancis, Italia, dan Australia. Yang tak kalah signifikan dalam perkembangan PGB kala itu, masuknya kalangan intelektual serta figur-figur penting yang sebagian berseberangan dengan rezim Orde Baru. Mereka ada yang menjadi murid, bahkan pewaris, selain beberapa lagi sebagai bagian dari lingkaran pergaulan PGB Bangau Putih. Untuk menyebut beberapa di antaranya adalah Ibrahim G Zakir atau biasa dipanggil Bram Zakir, Hardi (dua tokoh yang pernah menjadi tahanan Orde Baru itu tercatat sebagai pewaris 18 Goan), Sjumandjaya, Adnan Buyung Nasution, Indra Budenani, dan Poppy Dharsono.

Menurut pelukis Hardi, ada beberapa sebab mengapa orang berkerumun di sekitar Suhu. Istilah dia, ”yang sakit sembuh, yang preman takluk, yang intelektual menemukan keseimbangan”. Dia sendiri mengaku dibawa ke Suhu oleh Rendra. ”Pertama kali saya dekat dengan Rendra ketika pelemparan amoniak di TIM,” kenangnya. Tanggal 28 April 1978 memang terjadi insiden pelemparan bom amoniak saat Rendra membaca sajak di Teater Terbuka TIM, disusul penahanan Rendra beberapa hari sesudahnya. ”Saya yang pertama kali meloncat ke panggung waktu itu,” tambah Hardi.

Posisi PGB Bangau Putih yang seperti itu tampaknya mengundang perhatian penguasa. Banyak yang bisa bertutur, bagaimana Ali Moertopo mengunjungi kantor pusat organisasi ini di Kebun Jukut. Sebagai Menteri Penerangan, setelah sebelumnya menjadi Aspri Presiden Bidang Khusus, ditambah sangat berperannya intelijen, Ali Moertopo adalah ”orang kuat” pada zaman Orde Baru.

Adakah konsesi-konsesi politik antara Ali Moertopo waktu itu dan Suhu? ”Tidak ada,” kata Guru Besar Gunawan Rahardja. ”Suhu selalu menghindar dari pembicaraan politik,” ucapnya.

Antikekuasaan

Bengkel Teater sendiri dalam masa vakum pada tahun 1980-an karena berbagai larangan oleh pemerintah terus mengolah diri. Kegigihan dan sikap spartan mereka mencuat ketika bulan Agustus 1986 mereka berkesempatan mementaskan drama yang dicatat oleh sejarah seni pertunjukan modern di Indonesia sebagai salah satu dra- ma terpenting Rendra, Panembahan Reso.

Dalam drama itu, Rendra menuangkan gagasannya tentang kekuasaan, sekaligus memperlihatkan sikap antikekuasaan. Gagasan tadi dibungkus dalam suatu epik yang menceritakan suatu kerajaan yang rapuh, di mana seorang raja tua bertahan sampai usia 85 tahun. Ia tak mempersiapkan pengganti sehingga timbul pengelompokan-pengelompokan kekuasaan di kalangan para pangeran, senapati, maupun panji.

Melalui serangkaian intrik politik, pengkhianatan, penipuan, persekongkolan, dan percintaan, tokoh bernama Panji Reso menerobos lika-liku kekuasaan yang rapuh itu. Yang terjadi kemudian adalah takhta yang terselenggara di atas kubangan darah. Di situ terlihat sikap Rendra terhadap kekuasaan. Kekuasaan baginya cenderung korup dan keji.

Panembahan Reso dikenang orang sebagai drama besar dalam arti sebenar-sebenarnya. Selain mengusung gagasan besar, drama yang berlangsung di Istora Senayan itu melibatkan 60 pemain dan awak, berlangsung lebih dari tujuh jam. Pertunjukan berakhir sekitar pukul 03.30 dini hari. Saat itu banyak penonton memilih tiduran di emperan Istora Senayan seusai pertunjukan, menunggu pagi datang untuk mendapatkan angkutan umum.

Sawung Jabo yang ambil bagian sebagai pemain mengenangkan bagaimana persiapan dilakukan untuk pentas kolosal ini. Koreografi ditangani oleh pesilat dan petarung PGB Bangau Putih, Pepen. Disiplin latihan sebagian adalah disiplin silat. Selama sekitar enam bulan, setiap hari dari pagi pukul 06.00-08.00 mereka latihan fisik. Usai sarapan, pukul 09.00-12.00 latihan silat. Sore pukul 15.00-17.00 latihan silat lagi. Baru pada malam hari dan berakhir bisa sampai pukul 02.00 dini hari mereka latihan naskah dan panggung.

”Latihan tanpa tui cu membikin panas,” cerita Sawung Jabo. Tui cu adalah latihan berpasangan dalam silat. ”Kalau di silat kan pelepasannya di tui cu. Di teater tidak ada. Maka ketika vespa saya dipepet metromini di Pasar Minggu, saya gampar sopirnya,” kenang Jabo tertawa.

Di atas angin

Sulit membayangkan drama seperti Panembahan Reso bakal muncul lagi dalam panggung pertunjukan modern di Indonesia. Dalam zaman serba instan dan nyaman ini, siapa masih punya militansi untuk melakukan krida fisik seperti dilakukan para anggota Bengkel Teater pada masa itu? Adakah pihak pebisnis yang menjustifikasi sebuah pertunjukan drama untuk masyarakat kota besar sepanjang tujuh jam sekarang? Mengingat zaman ini adalah zaman di mana bisnis makin menjadi panglima, hitungan untung-rugi adalah segalanya? Seperti halnya, siapa di zaman ini tertarik untuk memelihara dan mengembangkan kepribadian melalui silat?

Subur Rahardja sebagai Suhu menunjukkan sikap independennya—berjarak dengan kekuasaan. Sikap dermawan dan sosialnya dikenang banyak orang. Kaus oblong putih dan celana putih gombrang yang selalu dikenakannya seperti menjadi statement sikapnya yang merakyat. Sedangkan Rendra lewat Panembahan Reso mempertegas sikapnya terhadap kekuasaan. Dalam kata-kata yang sering ia ucapkan: seniman berumah di atas angin.

Mereka tidak membutuhkan yang berlebih seperti kerakusan zaman ini. Karena, sesuatu yang berlebih akan aku kembalikan kepada Tuhan melalui alam dan kehidupan...(BERSAMBUNG)


Sumber: Kompas, Minggu, 18 April 2010

5 comments:

Unknown said...

Sayangnya papa saya lukman raharja tidak jadi guru besar ya...?
Malah yg ada jadi dokter hewan, saya ingin coba belajar dong om...
Saya wisnu feriyansah raharja,

Unknown said...

Sayangnya papa saya lukman raharja tidak jadi guru besar ya...?
Malah yg ada jadi dokter hewan, saya ingin coba belajar dong om...
Saya wisnu feriyansah raharja,

Putri bunga Perak said...

Kalau papanya gak jadi guru ya tapi mamanya jadi guru kan ?

Putri bunga Perak said...

Kalau papanya gak jadi guru ya tapi mamanya jadi guru kan ?

Unknown said...

Saya anak dari istri kedua pak lukman raharja. Saya sendiri ingin kenal dengan keluarga papa saya aja susah... Karena setiap kesana pasti istri yang pertamanya (anne) selalu menghalangi untuk bertemu papa saya... Sebenarnya saya sangat di akui oleh papa saya sebagai anaknya