Friday, April 30, 2010

Ujian Nasional Membunuh Kreativitas Anak

PENYELENGGARAAN ujian nasional (UN) yang ditentang banyak kalangan, telah selesai dan hasilnya pun telah diumumkan 26 April 2010. Kelulusan yang ditargetkan pemerintah, yakni 95%, jauh meleset, yakni hanya mencapai 89,61%, padahal tahun 2009, angka kelulusan mencapai 95,05%. Namun, Mendiknas Mohammad Nuh masih saja optimistis angka kelulusan UN bisa didongkrak sampai 96% setelah UN ulang digelar 10-14 Mei. Masalah ini ditulis wartawan SP Daurina Sinurat berikut ini.

Seluruh pelajar SMA/MA telah menerima pengumuman hasil ujian nasional pada tanggal 26 April lalu. Sekitar 154.000 siswa atau 10% dari total peserta ujian nasional (UN) 1.522.000 siswa di seluruh Indonesia harus menerima kegagalan tidak lulus UN.

Pemerintah tetap ngotot melaksanakan UN 2010 meski Mahkamah Agung (MA) memerintahkan pemerintah untuk memperbaiki sistem pendidikan dan meningkatkan kualitas pendidikan terlebih dahulu sebelum melaksanakan UN. Seperti meningkatkan kualitas pendidikan, melengkapi sarana dan prasarana yang akan menunjang mutu pendidikan para siswa, serta penyediaan kelengkapan akses informasi di sekolah-sekolah.

Pemerintah mengukur standar penilaian pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik melalui UN. Alasannya, UN menjadi pemetaan mutu program dan satuan pendidikan, pembinaan, dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan, serta penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya.

Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh berkelit, hasil UN menjadi bahan evaluasi dan pemetaan mutu pendidikan nasional. Berdasarkan hasil tersebut, pemerintah akan melakukan intervensi kebijakan pendidikan ke kabupaten kota dan sekolah-sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional.

Berdasarkan, hasil UN tersebut diketahui bahwa sejumlah daerah di Indonesia timur memiliki tingkat kelulusan lebih rendah dibanding dengan daerah lainnya di Indonesia. Tingkat kelulusan paling rendah terjadi di provinsi Nusa Tenggara Timur dengan 47,5%, diikuti Gorontalo mencapai 53,53%, dan Maluku Utara 58,14%. Sementara untuk provinsi lain, tingkat kelulusan mencapai lebih dari 60%.

Dari hasil UN tersebut, diketahui juga bahwa ada 267 sekolah yang tingkat kelulusannya 0% dengan 7.648 siswa tidak lulus ujian nasional. Dari 267 sekolah tersebut, 51 sekolah adalah sekolah negeri, sedangkan 216 adalah sekolah swasta.

Dia berjanji Kemdiknas akan memperbaiki kualitas pendidikan sekolah tersebut agar mutu pendidikan merata di seluruh Indonesia. Kemdiknas akan memberikan dana alokasi khusus dan dana alokasi umum serta pelatihan guru kepada sekolah yang tidak lulus.

Menurut Nuh, bila siswa yang mengulang hanya satu atau dua mata pelajaran, memiliki kesempatan lulus jauh lebih tinggi. Dengan demikian, persentase ketidaklulusan sebesar 10% bisa ditekan lagi. Dia berharap, gabungan tingkat kelulusan UN utama dan UN ulang diharapkan bisa menjadi 96%.

Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan, Eddy Mungin Wibowo mengungkapkan, sekolah-sekolah yang memiliki siswa tidak lulus UN harus mendaftarkan siswanya ke kabupaten kota diteruskan ke provinsi. Pengumuman kelulusan UN ulangan SMA/ MA dilaksanakan pada 10 Juni 2010 atau dua minggu sebelum seleksi penerimaan mahasiswa baru. “Sehingga masih ada waktu untuk mendaftar ke perguruan tinggi,” ujarnya.

Siswa Dikorbankan

Menjadi permasalahan ketika UN dijadikan penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya. Para siswa menjadi tertekan karena harus lulus UN. Para siswa dipaksa belajar lebih giat dari sekolah ataupun melalui bimbingan belajar.

UN tahun ini sudah memakan korban. Seorang pelajar di Jambi bunuh diri karena tertekan tidak lulus ujian nasional. Sri Wahyuningsih (18) mengakhiri hidupnya dengan menenggak pupuk beracun seusai melihat hasil UN.

“Dosa UN adalah anak menjadi korban, anak menjadi stres dan takut tidak lulus sekolah. Setiap anak memiliki potensi yang berbeda, tidak bisa distandardisasi seperti produk industri,” ujar pakar pendidikan HAR Tilaar.

Menurut guru besar emeritus Universitas Negeri Jakarta itu, nilai UN yang diterima siswa memberikan penghakiman terhadap anak bahwa si anak bodoh. Pemerintah menetapkan standar penilai yang sama kepada semua peserta didik di seluruh Indonesia.

Tilaar menegaskan, setiap anak harus diberikan kebebasan untuk meningkatkan potensi dirinya. Pendidikan adalah proses pemberdayaan manusia, sedangkan UN mematikan kreativitas anak.

UN baru bisa dilaksanakan bila semua standar nasional pendidikan di seluruh daerah terpenuhi. UN tidak seharusnya dijadikan penentu kelulusan siswa, tetapi hanya sebatas pemetaan sehingga siswa lebih santai mengikuti UN.

Psikolog Seto Mulyadi pun menegaskan hal senada. Apabila pemerintah tetap melaksanakan UN, sebaiknya tidak dimasukkan dalam kriteria penentu kelulusan satuan pendidikan. “Tuntutan untuk lulus UN memicu kebohongan dan kebocoran. Ini pendidikan korupsi sejak awal,” tandasnya.

Tugas utama pemerintah adalah memenuhi standar nasional pendidikan di seluruh daerah di Indonesia. Selama standar mutu guru, proses, dan sarana serta prasarana belum sama, ketimpangan mutu pendidikan akan tetap ada antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur. u

Sumber: Suara Pembaruan, Jumat, 30 April 2010

No comments: