-- Ilham Khoiri
DULU kover atau sampul buku di Indonesia nyaris hanya menjadi sarana memajang judul saja. Seiring perkembangan teknologi cetak dan visual, sampul buku kian beragam sesuai selera desainer dan penerbit.
Lihat saja kover novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer, sastrawan terkemuka kita, yang diterbitkan ulang oleh Lentera Dipantara tahun 2006. Buku ketiga dari tetralogi karya Pulau Buru ini pernah diterbitkan Hasta Mitra tahun 1980-an dan dilarang pada zaman Orde Baru.
Sampul itu berwarna coklat pastel dengan fokus seorang laki-laki sedang mengetik. Latar belakangnya, sebuah bangunan dengan sejumlah orang sibuk berdiskusi. Samar-samar terselip juga halaman koran Medan Prijaji.
Rangkaian gambar itu segera mengajak kita berimajinasi tentang penulis. Kerumunan orang menggambarkan suatu pergerakan. Sementara bangunan bergaya Indies mengingatkan kita pada masa penjajahan.
Memang, novel ini mengisahkan kehidupan pemuda bernama Minke. Dia merintis pendirian koran dan menggalang pemberdayaan masyarakat pribumi.
”Saya ingin mengajak pembaca langsung masuk ke atmosfer saat itu, sekaligus menunjukkan semangat juang masyarakat pribumi,” kata Ong Hari Wahyu (50), perancang sampul buku Jejak Langkah.
Kreasi
Kreasi visual itu muncul setelah Ong berdiskusi dengan Pramoedya Ananta Toer. Suatu ketika, pengarang itu mengunjungi Ong di rumahnya di Kampung Nitiprayan, Yogyakarta. ”Dia meminta dibuatkan kover yang memberi semangat. Katanya, orang pribumi harus bekerja, jangan inferior, jangan malas,” kata desainer itu mengenang.
Dengan pendekatan serupa, Ong membuat kover untuk tiga buku lain, yaitu Bumi Manusia, Anak semua Bangsa, dan Rumah Kaca. Sampul masing-masing buku itu mengolah foto-foto lama yang digarap lagi dengan teknologi digital komputer. Dengan begitu, kekuatan rupa lokal tersajikan dalam bahasa rupa modern.
Ong, yang mulai merancang sampul buku sejak awal tahun 1980-an, termasuk salah satu desainer yang konsisten mewarnai buku-buku di Tanah Air. Karyanya mewarnai buku-buku terbitan Bentang, Pustaka Pelajar, LKiS, Hastra Mitra, atau Lentera Dipantara. Selain menonjolkan ekspresi seni, karyanya banyak menyuguhkan khazanah lokal Nusantara.
Ong kerap berangkat dari foto-foto lama. Kadang, dia mengolah lukisan karya seniman lokal. ”Lokal itu keren, tak ada duanya di tempat lain, dan itu mencerminkan kekuatan diri kita sendiri,” katanya.
Digital
Berbeda dengan Ong, beberapa desainer kover buku lebih muda memilih bersikap lebih terbuka pada citra visual global. Mereka enteng saja mengunggah foto-foto baru, gambar digital dari internet, atau ikon lain yang jamak berseliweran di dunia maya. Gambar-gambar itu diolah dengan teknologi digital.
Salah satunya, sebagian buku terbitan Mizan atau anak penerbitan di bawah kelompok ini, seperti Hikmah dan Lingkar Pena. Sebagian kover buku-buku itu cenderung futuristik dan menonjolkan corak visual digital.
Ambil contoh saja novel Existere: Betapa Dia Memahami Getirnya Sebuah Pilihan tulisan Sinta Yudisia (penerbit Lingkar Pena, tahun 2010). Buku ini mengisahkan perempuan yang terseret dalam dunia prostitusi di kawasan Dolly, Surabaya. Tokoh itu terjebak di antara jerat bisnis berahi, keinginan menjadi ibu, dan tampil sebagai perempuan baik-baik.
Novel itu diluncurkan dengan sampul wajah perempuan cantik. Wajah itu tampak seperti diukir dengan ornamentasi yang melingkar-lingkar dan berlapis. Warna dasar toska mengesankan sifat feminin, sementara ornamen mengentalkan kesan rumit.
”Itu tafsir saya atas tarik-menarik kepribadian perempuan dalam novel. Saya selalu ingin menggambarkan sosok tokoh yang menjadi pusat drama. Bukankah itu bahasa visual yang mudah dipahami masyarakat umum?” kata Windutampan (34), perancang sampul buku itu.
Tipografi
Di antara kover buku yang dipenuhi permainan gambar, masih ada buku- buku yang lebih mengacu pada permainan tipografi atau bentuk aksara judul saja. Salah satunya, Gramedia Pustaka Utama (GPU) yang ajek menerbitkan sebagian buku dengan kover berisi judul dengan huruf-huruf besar. Nyaris tanpa gambar atau foto.
”Kalau judulnya sudah informatif, kami langsung memainkan teks pada sampul. Itu lebih cepat terbaca dan sampai di benak calon pembeli ketimbang memainkan bahasa gambar yang butuh perenungan lama,” kata Agus Purwanto, salah seorang desainer kover buku Gramedia.
Agus memberi contoh buku The 8th Habit: Melampaui Efektivitas, Menggapai Keagungan tulisan Stephen R Covey (terbit tahun 2005). Kover buku ini mengandalkan teks judul. Berlatar putih bersih, aksara itu ditulis dalam font Palatino berukuran besar dengan warna hitam, biru, dan merah untuk angka ”8”.
Desainer lulusan Sekolah Menengah Seni Rupa Jurusan Desain Grafis Yogyakarta itu mengaku sengaja tak menampilkan wajah pengarang. Dia juga tak memunculkan gambar. ”Judulnya sudah sangat kuat sehingga tak perlu dibantu foto atau gambar. Font Palatino pas karena indah, tetapi tegas,” kata Agus yang merancang kover buku Gramedia sejak tahun 1991.
Sumber: Kompas, Minggu, 17 Oktober 2010
2 comments:
sampul buku memang magis Bang Zul, he3...seperti halnya sampul kumpulan puisi dan esai Octavio Paz yang di-Indonesiakan oleh Arief B Prasetyo, he3...salam
tak ada kata lain: setuju! hehhee...
Post a Comment