-- Yulia Sapthiani & Ilham Khoiri
NAIK angkutan umum di Jakarta membutuhkan pengertian dan tenggang rasa, baik antarsesama penumpang maupun dengan pengemudi, demi kenyamanan bersama. Kenyataannya, banyak orang berperilaku egois ketika menggunakan angkutan umum.
Perilaku semacam itu dapat dijumpai di hampir semua angkutan umum, baik di dalam kereta, mikrolet, maupun bus, termasuk bus transjakarta yang secara fisik terkesan lebih ”elite” dibandingkan dengan bus lainnya.
Di mikrolet, misalnya, kita bakal menemukan penumpang yang lebih senang duduk di dekat pintu meski tujuan mereka jauh. Akibatnya, penumpang yang akan masuk dan keluar mikrolet terhambat. Perilaku serupa muncul di kereta ekonomi, terutama pada jam sibuk.
Egoisme ini kerap memicu timbulnya egoisme lain. Ketika pintu sudah sesak dengan manusia, penumpang masuk dengan cara mendorong penumpang yang berjubel di pintu. Dorong-mendorong ini bisa menjadi beringas, terutama ketika kereta telat datang atau jumlah kereta yang dioperasikan sedikit.
Tak jarang dorong-mendorong itu bisa berbuntut cekcok mulut, bentak-bentakan, atau bahkan saling pukul antarpenumpang di dalam kereta.
Pemandangan semacam ini berlangsung setiap hari di kereta ekonomi jurusan Tanah Abang-Rangkasbitung atau kereta rel listrik (KRL) jurusan Tanah Abang-Serpong, terutama pukul 06.00-07.00 dan jam pulang kantor pukul 17.00-18.00.
”Mau bagaimana lagi? Penumpang terus membeludak, sementara jumlah keretanya sedikit. Para penumpang harus bisa maklum,” kata Yanto (29), penumpang kereta asal Serpong, Tangerang Selatan, Selasa (19/10) sore.
Saat berkendara menggunakan bus transjakarta, ketidaktertiban sudah terlihat sejak di halte. Banyak penumpang tak mau antre di belakang barisan yang sudah ada, dengan cara berdiri di paling depan untuk membuat antrean baru. Saat memasuki bus, banyak pula yang tak sabar menunggu penumpang yang turun lebih dulu.
Perilaku lain yang saat ini tengah ramai dibicarakan Komunitas Pengguna Transjakarta Busway adalah kebiasaan ”ngerem”. Mereka yang suka ngerem adalah orang yang memilih diam dan tidak segera masuk bus meski sudah berada di baris terdepan. Alasannya, supaya mendapat tempat duduk di bus berikutnya.
”Padahal, orang yang seperti ini menghalangi pengantre lain di belakangnya,” kata ketua komunitas, David Tjahjana.
Saking banyaknya perilaku penumpang yang mengganggu kenyamanan, anggota komunitas ini bahkan membuat daftar ”kesalahan” pengguna bus transjakarta. Beberapa di antaranya sering dijumpai di dalam bus lain, seperti orang yang pura-pura tidur karena tidak mau memberikan kursinya kepada orang tua atau ibu hamil, hingga berperilaku asusila dengan memanfaatkan momen berdesakan dengan penumpang lain.
Eka Chandrasari (38), yang tinggal di kawasan Tangerang, masih ingat ketika dua tahun lalu naik bus jurusan Cimone-Blok M untuk menuju kawasan Senayan. Dalam kondisi kursi yang terisi penuh, tak ada satu penumpang pun yang memberi tempat duduk kepada Eka yang tengah hamil delapan bulan. ”Akhirnya saya dan suami turun di tengah jalan, lalu naik taksi,” kata Eka.
Eka juga pernah melihat pelecehan seksual oleh laki-laki yang menggosokkan badannya kepada penumpang perempuan. ”Meski tidak mengalami sendiri, ngeri juga melihatnya,” kata Eka.
Eka masih cukup beruntung dibandingkan dengan Ina (27), warga Ciputat, Tangerang Selatan. Ina adalah pelanggan kereta ekonomi dari Stasiun Palmerah, Jakarta, ke Stasiun Sudimara, Jombang, Ciputat.
Suatu ketika, selepas Stasiun Pondok Ranji, di tengah penumpang yang empet-empetan, ada seorang laki-laki di depan Ina yang membuka resleting celana. Tanpa malu, laki-laki itu mengeluarkan alat kelamin dan menyenggol-nyenggolkannya kepada penumpang perempuan yang berimpitan di dekatnya.
”Saya mau teriak, tetapi takut. Soalnya orangnya besar. Saya hanya bisa menghindar, menyikut-nyikut, sambil minggir menjauh. Untung, saya akhirnya bisa turun di Stasiun Sudimara, dua stasiun setelah Pondok Ranji,” katanya mengenang.
Peristiwa itu meninggalkan trauma di diri Ina. Ketika naik kereta saat jam sibuk, dia selalu berusaha naik bersama teman-temannya supaya ada yang menolong kalau terjadi sesuatu. ”Saya juga waspada kalau melihat tingkah penumpang laki-laki yang aneh,” katanya.
Bukan hanya sesama penumpang yang membuat berkendaraan umum di Jakarta tidak nyaman. Para sopir angkutan umum termasuk pihak yang bertanggung jawab karena cara mengemudi yang ugal-ugalan, ngetem di sembarang tempat, atau mengambil dan menurunkan penumpang di tengah jalan.
Di halte bus seberang Mal Taman Anggrek, misalnya, pengemudi bus dan metromini selalu menaikkan dan menurunkan penumpang di lajur paling kanan, yaitu lajur untuk bus transjakarta. Tak pelak, calon penumpang harus menyeberang di keramaian jalan agar terangkut bus.
Kesadaran publik
Melihat kesemrawutan berkendaraan umum di Jakarta, Antropolog dari Pusat Kajian Antropolog FISIP UI, Iwan Meulia Pirous, mengatakan, hal itu terjadi karena tidak ada kesepahaman dari semua pengguna jalan bahwa jalan adalah milik publik.
Akibatnya, sikap egois muncul. ”Misalnya saja, pengemudi bus yang mengangkut penumpang di tengah jalan. Dia mungkin hanya berpikir berhenti sekitar dua menit, tidak berpikir bahwa puluhan kendaraan yang ada di belakangnya harus ikut berhenti juga,” kata Iwan.
Untuk menciptakan kesepahaman budaya ini, Iwan menuturkan, bukan hanya peraturan dan sanksi tegas yang harus diterapkan. ”Yang paling penting dilakukan adalah menumbuhkan kesadaran bahwa lalu lintas adalah milik publik; supaya tumbuh rasa saling menghargai. Caranya bisa bermacam-macam, bisa melalui kurikulum di sekolah atau iklan layanan masyarakat,” tuturnya.
Selain itu, Iwan juga menilai tindakan liar dalam berlalu lintas terjadi karena adanya perbedaan kelas sosial pengguna jalan. Karena selama ini merasa tertekan dan tidak diperhatikan pemerintah, mereka yang berasal dari kalangan menengah ke bawah akhirnya bertindak agresif saat berada di jalan.
”Makin mudahnya membeli motor dengan kredit membuat pengendara motor makin banyak. Mereka kemudian menguasai jalan, termasuk trotoar. Tindakan ini bukan hanya cara mereka bersaing dengan pengendara mobil dari kalangan atas, tetapi juga bentuk dendam karena selama ini tidak pernah diperhatikan pemerintah,” papar Iwan.
Jika dendam ”kelas” sosial ini turun ke jalan raya, kita bisa saksikan sendiri betapa kekerasan bisa setiap saat muncul di jalan-jalan Jakarta....
Sumber: Kompas, Minggu, 24 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment