Jakarta, Kompas - Rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang Cagar Budaya pada hari ini, Senin (18/10), oleh sejumlah kalangan dinilai sebagai terburu-buru. Mereka menilai banyak pasal yang sangat kontraproduktif dengan upaya-upaya pelestarian warisan budaya.
Pekerja membenahi bangunan sebelah timur Benteng Fort- Rotterdam, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (11/10).Revitalisasi benteng pertahanan raja-raja Gowa pada abad ke-16 ini menelan biaya Rp 10 miliar yang dialokasikan dari APBN, APBD Provinsi Sulsel, dan bantuan Pemerintah Belanda. Revitalisasi inimerupakan upaya pelestarian warisan budaya. (KOMPAS/ASWIN RIZAL HARAHAP)
Demikian diungkapkan Koordinator Masyarakat Advokasi Warisan Budaya Jhohannes Marbun, Ketua Dewan Pimpinan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia I Gede Ardika, dan Direktur Eksekutif Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) Catrini Pratihari Kubontubuh, akhir pekan lalu, terkait rencana pengesahan RUU Cagar Budaya menjadi UU Cagar Budaya.
Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Aurora Tambunan mengatakan, empat menteri akan menandatangani pengesahan RUU Cagar Budaya pada hari Senin. UU Cagar Budaya ini akan menjadi pengganti UU Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
Karena terkesan buru-buru pengesahannya, Masyarakat Advokasi Warisan Budaya dan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia mendesak pemerintah serta DPR menunda pengesahan, agar bisa dihasilkan UU Cagar Budaya yang komprehensif.
”Jika RUU Cagar Budaya disahkan dengan materi yang ada sekarang, justru memperburuk kegiatan pelestarian warisan budaya di Indonesia. Jika itu terjadi, Masyarakat Advokasi Warisan Budaya akan mengajukan judicial review,” kata Jhohannes Marbun.
Dia mencontohkan Pasal 72. ”Pasal ini harus dihapus karena justru institusi pemerintah dilegalkan melakukan penghancuran warisan budaya bangsa, seperti kasus proyek Pusat Informasi Majapahit di Situs Trowulan yang dilakukan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata,” jelasnya.
Pasal 71 tak jauh berbeda dengan Pasal 72 dan dinilai merupakan pasal karet. Pasal 60 Ayat (1) isinya: Pemanfaatan Benda cagar Budaya yang tidak langka jenisnya, tidak unik rancangannya, jumlah setiap jenisnya cukup banyak, dan sudah dikuasai negara atau yang sudah menjadi koleksi museum dapat digunakan untuk kepentingan komersial.
Menurut Jhohannes, tindakan komersialisasi adalah pelanggaran pidana dan bukan merupakan tujuan pelestarian warisan budaya. Ini akan dijadikan pasal karet untuk mendukung upaya lelang artefak di bawah air, yang saat ini masih menjadi polemik.
Pasal lain yang kontraproduktif dan perlu ditinjau ulang adalah Pasal 58 Ayat 4, Pasal 48 Ayat 1, dan Pasal 47 Ayat 5.
I Gede Ardika mengatakan, penyempurnaan demi penyempurnaan RUU Cagar Budaya akan memudahkan pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan kota serta masyarakat mengimplementasikan sehingga tidak timbul kerancuan dan keraguan dalam pelestarian cagar budaya.
Catrini menambahkan, BPPI mendesak pemerintah segera menyiapkan peraturan pelaksanaan melalui proses yang transparan dan partisipatif. (NAL)
Sumber: Kompas, Senin, 18 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment