-- Ilham Khoiri & Yulia Sapthiani
ANGKUTAN umum massal di Jakarta, terutama pada jam-jam sibuk, senantiasa mempertontonkan drama yang memprihatinkan. Di kereta, bus transjakarta, ataupun di bus kota, warga saling sikut dan impit-impitan, sekaligus waspada terhadap kemungkinan kejahatan. Stasiun Palmerah, Jakarta, Selasa (19/10) sore, dipenuhi ratusan orang. Mereka yang baru pulang kerja itu menanti kereta ekonomi—biasa disebut KRD—dari Tanah Abang menuju Rangkasbitung. Sekitar pukul 18.00, kereta baru tiba.
Kepadatan lalu lintas di kawasan Senen, Jakarta Pusat, dengan latar belakang antrean pengguna bus transjakarta, Rabu (22/9). (KO M PA S / P R I YO M B O D O)
Suasana berubah hiruk pikuk. Mereka langsung menyerbu pintu kereta. Untuk masuk ke kereta yang sudah penuh, mereka menjejalkan diri ke dalam gerbong. ”Ayo, dorong, dorong..!” Teriakan itu terlontar di antara jeritan seorang ibu yang kakinya terinjak dan tangisan anak yang tergencet di dekat pintu.
Di dalam gerbong, mereka kembali berimpitan dengan ratusan penumpang lain. Bayangkan saja, satu gerbong yang kapasitasnya untuk 100-an orang itu disesaki 400-an orang.
Kebetulan, gerbong itu gerbong barang. Tanpa kursi dan pegangan, tiap penumpang berdiri dengan goyah. Ketika kereta miring ke kiri, semuanya terlontar ke kiri. Saat kereta serong ke kanan, mereka terdesak ke kanan.
”Suatu kali, kereta terlalu miring. Saya dan banyak penumpang jatuh bertumpukan,” tutur Heni (41), warga Jombang, Ciputat, Tangerang Selatan.
Tanpa kipas angin, udara pengap. Tubuh semua penumpang gobyos alias basah kuyup oleh keringat. Bau keringat itu berbaur dengan parfum, bedak yang luruh, atau bau-bauan lain yang tidak karuan.
Drama lebih memprihatinkan terjadi di luar. Sebagian penumpang yang tak bisa masuk kereta, nekat duduk di atap kereta, bergelantungan di pintu, atau berdiri di pinggiran lokomotif.
Pemandangan ini berlangsung setiap hari, terutama pada jam sibuk, yaitu saat berangkat kerja (sekitar pukul 06.00-08.00) dan ketika pulang kerja (sekitar pukul 17.00-19.00). Tak hanya di kereta, jubelan manusia juga terjadi di bus transjakarta yang oleh warga suka disebut busway, bus, ataupun angkot (angkutan kota).
Meski beroperasi di jalur khusus dan diberi pendingin udara, naik bus transjakarta di jalur busway tidak sepenuhnya nyaman. Itu terasa sejak di halte, terutama pada jam pulang kerja. Tia (33), pengguna transjakarta koridor IV yang menempuh jalur Dukuh Atas-Pulo Gadung, misalnya, pernah menunggu bus di hentian Dukuh Atas selama satu jam.
Penderitaannya berlanjut ketika bus yang datang ternyata tidak mengangkut penumpang hingga tujuan akhir, yaitu Pulo Gadung, tetapi hanya sampai halte TU Gas. ”Waktu itu tidak ada yang menjelaskan kenapa busnya tidak sampai Pulo Gadung. Terbayang, kan bagaimana kesalnya penumpang. Apalagi, tiket juga tidak bisa ditukar lagi dengan uang,” kata Tia.
Tanpa pilihan
Jakarta, dengan penduduk total berjumlah 9,6 juta jiwa (hasil Sensus Penduduk 2010), makin membengkak dengan pemekaran ke kawasan pinggiran, seperti Bogor, Depok, Bekasi, Tangerang, atau Tangerang Selatan. Sekitar tiga juta orang dari pinggiran itu setiap hari melaju untuk bekerja di Ibu Kota. Mobilitas ini tak diimbangi dengan sarana transportasi massal, dan murah.
Rakyat kecil tak punya pilihan selain berjubel di angkutan umum. ”Meski tambah sesak, saya tetap naik kereta karena murah dan cepat. Cukup bayar Rp 1.500 sekali jalan,” kata Heni. Perempuan yang bekerja sebagai tenaga pembersih (cleaning service) di kantor DPR Senayan, Jakarta, itu berlangganan kereta sejak 20 tahun lalu.
Hal serupa dilakoni Yessi (39), warga Serpong, Tangerang Selatan. Dia mengandalkan kereta untuk berangkat dan pulang kerja di perusahaan kehumasan di kawasan Karet, Jakarta. Agar aman berdesak-desakan di kereta, dia selalu pakai sepatu kets dan mendekap tas di depan dadanya.
Setiba di kantor, dia langsung ke kamar mandi untuk cuci muka, membereskan dandanan, dan ganti sepatu. ”Daripada stres naik bus yang macet di jalan raya, lebih baik bersusah payah naik kereta,” katanya.
Meski sudah melancarkan berbagai strategi untuk mengamankan diri, sebagian dari mereka kadang menjadi korban kejahatan. Bukan rahasia lagi, di tengah kerumunan orang di angkutan, kerap terjadi pencopetan, penjambretan, bahkan pelecehan seksual.
Kegagalan sistem
Berjubel-jubel dalam angkutan umum hanya salah satu dari gambaran kian sesaknya Jakarta. Dalam bentuk berbeda, masyarakat kecil juga harus hidup berjubelan di kampung padat, di dalam rumah-rumah sempit, di jalanan macet, bahkan berebutan peluang kerja.
Menurut pakar perkotaan dari Universitas Trisakti Jakarta, Yayat Supriatna, kesesakan itu terjadi akibat dinamika kegiatan ekonomi dan politik nasional yang terlalu tersentralisasi di Jakarta. Kota ini terlalu cepat berkembang hingga melewati batas daya tampung dan daya dukungnya. Kondisi kota ini sekarang sudah mendekati ”kegagalan sistem” yang sulit dipecahkan.
Dalam situasi ini, setiap orang seperti disuruh mencari jalan keluar sendiri-sendiri. Impitan dan sesaknya angkutan umum, misalnya, membuat orang berbuat nekat, seperti naik di atap kereta api, atau bergelantungan di pintu bus kota. ”Kita perlu mendorong redistribusi sebagian fungsi Jakarta ke wilayah sekitarnya dan meningkatkan kapasitas mengatasi berbagai masalah. Jika tidak begitu, masa depan kota ini akan terpuruk,” kata Yayat Supriatna. Siap-siap!
(Sarie Febriane/ Lusiana Indriasari)
Sumber: Kompas, Minggu, 24 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment