Saturday, October 30, 2010

[Tanah Air] Berlaku Arif untuk Gunung Merapi

-- Mohamad Final Daeng dan Thomas Pudjo Widyanto

TERSEBUTLAH letusan dahsyat gunung berapi yang konon terjadi lebih dari seribu tahun lalu. Saking kuatnya letusan itu, ia mengubur sebuah peradaban manusia yang tengah berada di masa kejayaan Mataram Kuno seputar abad IX.

Seorang perempuan, penduduk Kabupaten Klaten, Jumat (29/10) pagi, menyaksikan Gunung Merapi yang kembali meletus dan memuntahkan material vulkanik dan awan panas. Muntahan Merapi itu meluncur ke arah Kali Gendol, perbatasan Sleman dan Klaten. Aktivitas Merapi tersebut terlihat dari Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. (KOMPAS/IWAN SETIYAWAN)

Kerajaan besar itu pun dipaksa mengalah, pindah ke wilayah lain yang jauh dari amukan sang gunung.

Teori itu dikemukakan Reinout Willem van Bemmelen, seorang ahli geologi Belanda, dalam bukunya berjudul The Geology of Indonesia (1949). Gunung yang dimaksud adalah Merapi yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Van Bemmelen bahkan berani mengatakan bahwa letusan dahsyat pada tahun 1006 itulah yang juga mengubur Candi Borobudur, yang berjarak sekitar 30 kilometer arah barat Merapi. Teori Bemmelen ini bersinggungan dengan mitos Roro Jonggrang—sosok sentral dalam Candi Prambanan—yang juga menceritakan kedahsyatan letusan Merapi. Peperangan antara Bandung Bondowoso dan Prabu Boko (ayah Roro Jonggrang yang menolak pinangan Bandung Bondowoso) berlangsung seru dan berhari-hari. Begitu dahsyatnya peperangan, sampai membuat Merapi meletus dan menyebar luas ke mana-mana.

Kedahsyatan letusan Merapi kala itu juga dibenarkan oleh Guru Besar Geologi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) ”Veteran” Yogyakarta Dr Sari Bahagiarti Kusumayudha. ”Dari penggalian-penggalian candi yang ditemukan di sekitar DIY dan Jateng ditemukan jejak piroklastik (abu vulkanik), lahar, dan tanah aluvial,” ujarnya.

Namun, teori itu belakangan ditanggapi secara kritis oleh banyak ahli. Tidak pernah ada letusan dahsyat yang mengubur peradaban Mataram Hindu. ”Dari contoh batuan dan lapisan tanah serta bukti prasasti, tidak ada yang mendukung teori itu,” kata Subandriyo, Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian Badan Geologi. Candi-candi itu terkubur lahar dingin Merapi melalui proses panjang, bukan dari satu letusan saja. Menariknya, proses yang sama jugalah yang awalnya menciptakan peradaban manusia di sekitar Merapi.

Sudah tak terhitung berapa kali Merapi meletus dan menimbulkan korban jiwa sejak pertama terbentuk pada 60.000 tahun lalu. Namun, di luar teori Van Bemmelen itu, erupsi dahsyat gunung berapi teraktif di dunia itu tercatat pada 1872.

Kala itu, Subandriyo mengatakan, Merapi meletus dengan skala eksplosivitas 4 dari skala 8 atau yang tertinggi untuk ukuran Merapi. Volume material yang dilontarkan hampir mencapai 100 juta meter kubik, dengan dampak hujan abu, awan panas, dan banjir lahar mencapai radius 20 km. Tak tercatat korban jiwa.

Korban jiwa terbesar akibat erupsi Merapi tercatat pada letusan tahun 1930, menewaskan 1.367 penduduk Desa Pagerjurang, Magelang. Tahun 1994 erupsi Merapi menelan korban tewas 65 orang di wilayah Turgo, Sleman. Erupsi terjadi 2006, menewaskan dua orang yang terperangkap di bungker perlindungan Kaliadem, Sleman.

Jumlah korban keganasan gunung setinggi 2.968 meter itu beberapa dekade terakhir bisa terbilang rendah. Kondisi itu di antaranya disumbang manajemen bencana yang telah mapan.

Selain lewat peralatan, pemantauan fisik Merapi juga dilakukan melalui lima pos pengamatan Gunung Merapi yang tersebar di wilayah Sleman, Magelang, Klaten, dan Boyolali. Pos-pos bergardu tinggi itu dilengkapi sirene bahaya.

Sejak tahun 1970, pengamanan juga ditambah dengan sekitar 200 dam sabo penahan laju lahar, terbanyak di Indonesia. Belum lagi tersedianya belasan barak pengungsian di empat kabupaten tersebut.

Kerusakan

Saat ”tidur”, Merapi sejatinya memegang peran vital bagi DIY dan tiga kabupaten lain di Jateng yang melingkarinya, yakni Magelang, Klaten, dan Boyolali. Ia menjadi sandaran hidup bagi ratusan ribu penduduk yang menjual pesona keindahannya, minum dari mata airnya, memanen dari kesuburan tanahnya, dan mengeruk pasirnya.

Praktis, sepanjang tahun Merapi memberikan banyak berkah kepada masyarakatnya. Kesuburan tanahnya tidak hanya memberikan hasil aneka sayur dan hasil pertanian lainnya, tetapi juga rumput-rumput yang seolah tumbuh tiada henti, menjadi ajang ternak sapi perah yang menjanjikan. Ini yang menjadikan Boyolali (Jateng) dan Cangkringan (Sleman) dijuluki sebagai gudang emas putih karena produksi susunya.

Terkait dengan ancaman letusan Merapi, sebenarnya hanya tiga bulan yang harus diperhatikan penduduk. Namun, menurut rohaniwan Romo V Kirdjito, yang hidup bersama warga Merapi di Dusun Sumber, Kecamatan Dukun, Magelang, masa letusan Merapi biasanya memunculkan problem sosial karena saat mengungsi, mereka harus mengeluarkan uang ekstra, padahal tidak bisa bekerja.

Sedangkan mengosongkan wilayah permukiman—khususnya di area 4-7 km dari puncak Merapi—adalah ide yang baik. Akan tetapi, menurut pakar geologi Eko Teguh Paripurno dari Jurusan Geologi UPN ”Veteran” Yogyakarta, lebih baik daerah itu diubah menjadi wilayah pertanian yang berkaitan dengan pariwisata.

Kemungkinan itu ternyata masih sebatas kerinduan. Pemerintah tak punya cukup dana. Goodwill-nya dipertanyakan.

Problem kawasan Merapi tak hanya kemanusiaan, tapi juga lingkungan yang memprihatinkan. Salah satunya, eksploitasi pasir besar-besaran, khususnya di Magelang dan Klaten. Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) pada akhir 2009 mencatat, dari luas total 6.410 hektar, sekitar 250 hektar wilayah di TNGM rusak akibat eksploitasi pasir sejak 1990-an. Hutan rakyat di luar TNGM pun rusak.

Selain manual, penambangan juga menggunakan alat berat sehingga laju dan tingkat kerusakan tinggi. Jalan aspal hancur, pekarangan dan sungai hancur, sebagian sawah ladang hancur. Aktivitas itu menyisakan cerukan raksasa di berbagai kawasan.

Di pihak lain, hasil retribusi pemerintah daerah atas penambangan pasir ternyata sangat minim. Wasingatu Zakiyah dari Institute of Development and Economic Analysis Yogyakarta memberikan contoh penelitian di Kemalang, Klaten. Pendapatan asli daerah (PAD) dari portal retribusi di Kecamatan Kemalang hanya Rp 497 juta per tahun. Padahal, PAD pasir yang keluar dari Kemalang seharusnya sekitar Rp 43 miliar per tahun. ”Ini penyimpangan pendapatan,” kata Zakiyah.

Merapi ternyata juga menjadi sumber korupsi. Karena itu, benar kata Kirdjito, perlu kearifan dalam mengelola Merapi. Kearifan itu akan menjaga harmoni Merapi sehingga ketika Merapi meletus, yang terlahir bukan bencana dan berbagai kejadian manipulatif, tetapi kerelaan untuk bersama-sama menghadapi bencana sebagai bagian dari fitrah kehidupan.

Sumber: Kompas, Sabtu, 30 Oktober 2010

No comments: