Sunday, October 24, 2010

Revolusi Melenyapkan Aku

-- Bre Redana

ADA kesan sendiri ketika di panggung dikibas bendera merah berlambang palu arit. Sebuah kesan berikut sentimen pribadi: revolusi biasanya diungkapkan dengan gemuruh, dramatik, atau pada kali yang lain satiris, komedis alias menertawakan.

Terlebih terhadap revolusi yang digerakkan komunis. Berabad-abad di wilayah pendukungnya dia jadi propaganda, sementara di wilayah antikomunis menjadi tragedi kalau tidak lelucon. Baru kali ini rasanya menemukan, risalah dari tokoh yang pada dirinya dipenuhi roh revolusi, komunis Bolsyewik lagi, diungkapkan dengan liris—jauh dari seluruh kategori semisal dramatik ataupun satiris.

Opera 3 Babak Tan Malaka di Teater Salihara, Jakarta, 18-20 Oktober 2010, pada bagian awal diwarnai kelebatan bendera merah di ketinggian konstruksi. Lalu panggung gelap. Terdengar suara: Tan Malaka, Tuan di mana? Overture musik terdengar: minor, kelam, sekaligus sangat jelas teksturnya mengantar pergulatan revolusioner sang tokoh yang hendak diceritakan, yakni Tan Malaka (lahir di Pandan Gadang, Sumatera Barat, tahun 1896, tewas ditembak di Kediri, Jawa Timur, tahun 1949).

Lima bentuk besar

Dari musik pembuka tadi segera tertangkap, seluruh bangunan pertunjukan sepanjang sekitar 60 menit tersebut bertumpu pada kekuatan komposisi musik. Komponis Tony Prabowo melakukan eksekusi sangat tepat dengan melodi dan harmoni, yang ia bagi dalam lima bentuk besar. Pembagian itu, seperti ditulis di katalog, terdiri dari bagian bermotif ritmis, berbentuk kanon dan counterpoint bebas, bagian harmoni, bagian aria bergaya klangfarben, dan bagian kwintet.

Pilihan tepat karena dengan Orkes Kamar Kontemporer Salihara dan Paduan Suara Mahasiswa Universitas Indonesia Paragita di bawah komando dirigen Filipina, Josefino Chino Toledo, musik dengan rapi membangun suasana. Suasana yang dimaksud adalah suasana pertanyaan dan pernyataan liris mengenai revolusi, yang teksnya ditulis Goenawan Mohamad. Sastrawan ini sekaligus bertindak sebagai sutradara.

Revolusi adalah peristiwa riuh.

Revolusi adalah peristiwa sunyi.

Revolusi melahirkan aku.

Revolusi melenyapkan aku.

Tidak ada yang tidak bisa disebut tidak efektif dalam pembangunan suasana yang diniatkan sang sutradara. Artistik panggung dengan konstruksi kayu telanjang, dengan tegas menyatakan watak tokoh yang tengah diangkat ke panggung. Konstruksi dimatangkan dengan pencahayaan efisien. Penempatan para awak Paragita di atas panggung adalah bagian skenografi yang ikut mendukung kekuatan artistik.

Dengan itu semua saja rasanya terekspresikan jalinan esai dari tontonan yang menyebut diri ”opera esai” ini. Maksudnya, yang dipentaskan bukanlah sebuah cerita, melainkan sebuah discourse. Dengan melodi sangat kuat, tanpa kehadiran soprano pun jangan-jangan semua sudah terlunasi oleh Tony Prabowo. Bertindak sebagai soprano adalah Binu Sukaman dan Nyak Ina ”Ubiet” Raseuki.

Kewajaran

Konsistensi watak pertunjukan didukung lagi oleh kehadiran narator, yang kelihatan tak ingin mengoyak kewajaran kelam dengan ketidakwajaran akting. Adi Kurdi menahan diri untuk tak terbawa dalam gaya dramatik dari teater yang pernah membesarkannya, Bengkel Teater Rendra. Ia berusaha untuk bersahaja.

Seperti bercerita Adi berucap, ”Aku berbeda dari Sukarno karena kapalku dibela ombak dan angin, sedang kapalnya ditarik sekunar Jepang. Sukarno hidup di panggung tentara pendudukan, sedang aku hidup dekat lumpur dan puing, sampah dan lorong rendah.” Lanjut Adi, ”Saya kira, dengan itu ia ingin mengatakan, Sukarno adalah burung merak, dan Tan Malaka seekor berang-berang. Ia bersembunyi di lubang yang dibikinnya sendiri.”

Yang benar-benar mencapai kewajaran, menjadikan Tan Malaka seperti yang diketahui publik—tokoh di balik bayang-bayang revolusi serta kemelut sejarah—adalah Whani Darmawan. Aktor dari Yogya ini, dengan tanpa gerak, tangan di saku celana, menjadikan Tan Malaka sebagai roh. Roh ini hadir malam itu. Dia telah menjadikan drama nondrama. Paradoks seperti itu hanya dicapai oleh orang-orang yang matang di bidangnya.

Pengungkapan ia di panggung menjadi oase dari kehidupan yang kering, yang terefleksikan dalam kebudayaan visual sehari-hari di sekeliling kita. Lihatlah televisi. Banyak orang muak dengan dramatisasi hidup lewat siaran televisi.

Di manakah kewajaran?

Ketika di akhir cerita melihat bendera merah berlambang palu arit berkelebat lagi, usang dan koyak-koyak, saya merasa tidak pantas ada yang dihakimi. Saya hanya melihat: Opera 3 Babak Tan Malaka merupakan persembahan elegan bagi Bapak Bangsa.

Sumber: Kompas, Minggu, 24 Oktober 2010

No comments: