Saturday, October 30, 2010

Bencana: Sampai Kapan Berjibaku dengan Tsunami?

--Subandono Diposaptono

INDONESIA Indonesia kembali berduka. Di kegelapan malam, Senin (25/10), Pagai Selatan dan Pagai Utara, dua pulau di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, babak belur dihantam gempa dan diterjang tsunami setinggi 7 meter.

Keperkasaan tsunami itu menewaskan sekitar 400 orang. Selain itu, lebih dari 300 orang dinyatakan hilang, tak diketahui jasadnya. Tsunami yang diakibatkan gempa bumi tektonik berkekuatan 7,2 skala Richter itu juga meluluhlantakkan permukiman, infrastruktur jalan, kapal nelayan, dan bangunan apa saja yang berada di sekitar pesisir. Bahkan, sarana komunikasi telepon pun sempat terputus lantaran dientak gempa dan diterjang tsunami.

Kita memang dibuat terpana atas tragedi tsunami yang kian sering melanda kawasan pesisir. Berdasarkan catatan penulis, selama tahun 1600 sampai 2010, Indonesia telah mengalami 110 kejadian tsunami. Artinya, dalam rentang waktu tersebut, kita mengalami tsunami setiap sekitar 4 tahun. Namun, sejak tahun 1960 hingga 2010, kejadian tsunami semakin meningkat. Dalam rentang 50 tahun terakhir ini terjadi 23 tsunami atau sekitar setiap dua tahun tsunami melanda pesisir Indonesia.

Sangatlah sulit menjelaskan secara ilmiah alasan tsunami lebih kerap terjadi belakangan ini. Kita hanya paham, Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng Bumi, yakni Eurasia, Indo-Australia, dan Samudra Pasifik, yang terus bergerak dan bertumbukan. Kondisi ini sangat berpotensi menimbulkan gempa dan tsunami.

Hingga kini, ilmu pengetahuan dan teknologi juga belum mampu menjawab kapan gempa dan tsunami terjadi. Tragedi itu bisa terjadi kapan saja, menyergap yang lengah.

Bagaimana kiat agar kita dapat hidup aman di daerah rawan tsunami? Tak ada cara lain, kita harus selalu siap siaga dalam berjibaku dengan tsunami. Strategi awal yang paling mujarab adalah membekali diri kita dengan pengetahuan tsunami.

Pakar dari Jepang, Prof Tomostuka Takayama dan Dr Susumu Murata, yang berbicara di Jakarta, Rabu (27/10), menuturkan pengalaman mereka meneliti berbagai kasus tsunami, baik di Jepang maupun Cile. Menurut mereka, orang-orang yang selamat dari terjangan tsunami adalah yang memiliki pengetahuan dan memori tentang tsunami. Sebaliknya, orang- orang yang tidak punya bekal pengetahuan tersebut bakal menjadi korban sia-sia tsunami. Oleh karena itu, pendidikan dan sosialisasi tentang tsunami perlu terus digalakkan.

Ketika tsunami terjadi, tak banyak waktu untuk menyelamatkan diri. Kecepatan berlari manusia sangat tidak seimbang dengan kecepatan tsunami di daratan yang dapat mencapai 30-40 km per jam. Dengan kecepatan sebesar itu, manusia yang berdiri tegak dan tenang sekalipun tak mampu bertahan dari empasan tsunami. Apalagi dalam kondisi panik, tubuh kita mudah tergelincir, hanyut, dan akhirnya tewas tenggelam.

Kita jago berenang? Tampaknya keahlian itu tidak berarti apa-apa karena arus tsunami terus menggulung selama puluhan menit. Arus itu menyeret dan menenggelamkan tubuh kita semakin jauh ke tengah laut.

Jadi, janganlah sekali-sekali berjibaku langsung dengan tsunami. Begitu Bumi terasa bergetar digoyang gempa, lekaslah berlari menjauhi pantai dan mencari tempat yang tinggi dan aman (bukit, bangunan bertingkat yang kokoh, atau pohon) tanpa harus menunggu peringatan. Kalau tidak ada tempat aman, sebaiknya segera dibuat shelter atau menara evakuasi. Shelter ini dibangun di tempat- tempat strategis agar mudah dan cepat dijangkau masyarakat.

Begitu juga ketika air laut surut mendadak. Janganlah tergoda pada ikan menggelepar di dasar laut yang surut. Tinggalkan segera pantai tersebut, lalu berlindunglah ke tempat yang aman dari jangkauan tsunami.

Bagi Anda yang sedang berada di perahu motor atau kapal, segera lajukan ke tengah laut. Langkah ini setidaknya memiliki dua manfaat. Pertama, perahu atau kapal tersebut tidak hanyut dan terseret ke darat sehingga tidak merusak bangunan yang diterjangnya.

Kedua, kapal beserta awaknya dapat selamat. Hal ini bisa terjadi karena kendati kecepatan tsunami di laut dalam (deep sea) lebih besar daripada di laut dangkal (shallow water), ketinggian tsunaminya masih rendah. Kapal pun dapat melaju dengan aman dan terkendali.

Bagi kawasan pesisir yang memiliki aset ekonomi vital, saatnya melindunginya dengan berbagai bangunan pelindung. Bangunan semacam ini dapat meredam tsunami yang akan menerjang permukiman dan bangunan vital lainnya.

Tak kalah penting adalah setiap kabupaten/kota yang rawan tsunami membuat peta risiko tsunami sebagai landasan penataan kawasan dan pembangunan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil agar aman dari terjangan tsunami.

Kalau saja langkah-langkah pintar tersebut dipakai, niscaya kita tidak mudah takluk berjibaku dengan tsunami yang setiap saat mengintai kita.

Subandono Diposaptono, Penulis buku Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami

Sumber: Kompas, Sabtu, 30 Oktober 2010

No comments: