BEBERAPA kali Karim menulis esai untuk sejumlah pameran seniman Indonesia. Di antaranya, pameran karya Jumaldi Alfi ”Life/Art # 101” dan karya Putu Sutawijaya ”Gesticulation”.
Latar belakang, identitas, dan pergulatan kehidupan sang seniman tampaknya menjadi daya tarik khusus bagi Karim untuk memahami karya-karya mereka. Seperti yang ia tuangkan dalam esainya untuk Alfi. Sepertinya ia yakin, ketegangan-ketegangan personal dalam sejarah seseorang—apakah itu terkait identitas ataupun pencarian jati diri—akan memperkaya energi kreativitas sang seniman.
Ketertarikannya pada bidang seni sudah lama tumbuh, tepatnya sejak masih kanak-kanak. ”Sejak umur lima tahun, saya suka menulis,” katanya.
Memang, baru satu kumpulan cerita pendek karyanya yang sudah diterbitkan (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul ”Pahlawan dan Cerita Lainnya”). Namun, sebetulnya di dalam kepalanya menumpuk banyak kisah dan gagasan.
”Di rumah saya di Kuala Lumpur, menumpuk draf-draf cerita yang saya tulis sejak dulu, namun tidak selesai,” katanya. Penyebabnya, kesibukan kerja. ”Atau mungkin saya terlalu ambisius ha-ha-ha,” lanjutnya.
Di saat kemampuan bahasa Indonesianya sudah semakin baik, Karim ingin menulis kesenian dan kebudayaan Indonesia. Untuk itu, ia merasa perlu memperdalam pengetahuannya. ”Saya sangat tertarik untuk mengeksplorasi beragam watak manusia. Seperti ludruk misalnya, ini ekspresi kerakyatan. Rakyat biasa, tapi ekspresinya seni. Saya ingin menulis mereka dengan cara yang sedikit dalam. Nah kalau ada waktu, itu yang akan saya buat,” ujarnya.
Mungkin sudah waktunya Karim pulang ke rumahnya di Ubud yang asri, dan mulai menulis.... (MYR/BSW)
Sumber: Kompas, Minggu, 17 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment