”AREP neng omahe Mbah Kasno ya—mau ke rumah Mbah Kasno ya.. !” Itu kata orang Suriname keturunan Jawa untuk menyindir kawan yang berjudi di kasino alias rumah judi yang memang banyak dibuka di Suriname. Kasno adalah nama khas Jawa.
Lelucon semacam itu menjadi penanda bahwa bahasa Jawa mengakar dalam tata budaya warga Suriname keturunan Jawa. Akan tetapi, pada suatu masa pernah ada pandangan bahwa bahasa Jawa bisa membuat orang tidak ”maju”.
”Yen kowe mung iso coro jowo thok, kowe ora maju—kalau kamu hanya bisa berbahasa Jawa saja, kamu tidak akan maju,” kata Raymond Soegiman Nojoredjo (70) yang menirukan ucapan orangtuanya.
Ayah Soegiman, yaitu Wagijo Nojoredjo, adalah imigran asal Banyudono, Boyolali, Jawa Tengah, yang dikapalkan ke Suriname tahun 1929. Soegiman menuturkan, ayahnya khawatir anaknya tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolah yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.
Generasi baru
Murni Sriyani, generasi ketiga keturunan Jawa yang lahir di Suriname, mengakui adanya pandangan semacam itu.
”Generasi kedua melarang anak-anaknya belajar bahasa Jawa karena takut bahasa Belandanya jelek. Tapi, generasi saya sekarang muncul kesadaran untuk belajar bahasa Jawa,” kata Murni yang menguasai lima bahasa, yaitu Belanda, Inggris, Jawa, Indonesia, dan Taki-taki atau bahasa pergaulan, lingua franca antaretnis di Suriname.
Pandangan soal bahasa Jawa itu tidak seluruhnya benar. Setidaknya menurut Bob Saridin, tokoh masyarakat Suriname pendiri perkumpulan untuk mengenang imigrasi Jawa atau Vereniging Herdenking Javaanse Immigratie.
”Saya lahir di kampung dan sejak kecil bahasa Jawa lancar, Belanda lancar, dan lancar sekolah,” kata Bob yang fasih berbahasa Indonesia dan Inggris.
”Saya pernah bertemu Duta Besar (Indonesia). Kalau saya menggunakan bahasa Jawa ngoko (kasar), saya malu. Saya menggunakan bahasa Inggris. Pak Dubes bilang, ’Iki kok lucu. Rupane podo, kulite podo, kok omonge coro Inggris—Ini kok lucu. Rupa sama, kulit sama, kok bicara dalam bahasa Inggris’,” tutur Bob mengenang.
Sejak saat itu Bob belajar bahasa Indonesia di KBRI di Paramaribo. Ia kemudian bahkan juga mengajar bahasa Indonesia di KBRI. Bob mungkin belajar dari ucapan Wolfgang von Goethe, ”Orang yang tak mengerti bahasa asing tidak memahami apa pun tentang bahasanya sendiri. (XAR)
Sumber: Kompas, Selasa, 19 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment