SESAAT setelah menonton film ini, timbul kesadaran bahwa Lucky Kuswandi, sang Sutradara Madame X, sedang membuat sebuah pernyataan dan pesan yang sangat-sangat "berbahaya". Sangat berbahaya karena dapat menimbulkan tedensius dan sikap permusuhan baru, apabila ditonton dengan hati yang tidak bersih.
Ya, dibutuhkan sebuah keterbukaan pikiran dan ketulusan hati dalam menyaksikan film ini. Menonton Madame X Sangat tidak dianjurkan bagi yang berpikiran tertutup, pendek, dan antikeragaman. Beberapa teman yang tidak berpikiran terbuka saat menyaksikan Madame X hanya mengomel sepanjang durasi film. Menyesalkan upaya film tersebut untuk terlalu mengagungkan banci, yang menurut dia, terasa berlebihan dan tidak patut.
Sebenarnya, ada apa dengan Madame X? Mengapa kata keterbukaan pikiran menjadi kunci pembuka dalam mengawali tulisan ini?
Secara keseluruhan, Madame X bukanlah sebuah film yang terlalu istimewa. Sesungguhnya kekuatan utama film ini adalah kesediannya untuk menjadi sarana bagi penontonnya untuk lebih mawas diri. Madame X memberikan tawaran kepada kita untuk menjadi cermin, tanpa bermaksud menunjuk hidung siapa pun.
Madame X sendiri mengambil sebuah premis cerita yang sangat sederhana, From Zero to Hero. Dalam rilis yang diberikan kepada pers saat Gala premiere berlangsung, tertulis sinopsis tentang sebuah ibu kota di negeri antah berantah yang terancam kemunculan Kanjeng Badai (Marcell), salah seorang calon presiden, dengan partai politiknya yang militan dan homopobia. Maka keselamatan negeri bergantung pada Adam (Aming), seorang penata rambut nan kemayu.
Adam kemudian ditakdirkan untuk melawan Kanjeng Badai, demi tetap tegaknya pluralisme di negeri tersebut. Dia melawan dengan senjata yang ada di sekitarnya dan telah termodifikasi, yaitu tas make up, peralatan dandan, serta perpaduan yang seksi antara seni bela diri dan gerak tari. Waktunya tidak banyak, hingga pemilu.
Lucky menyampaikan pesan yang terasa sangat serius itu, secara frontal, dan elegan. Siapa pun yang berpikiran plural akan sependapat bahwa Madame X bukan hanya sekadar film konyol tentang superhero banci yang diperankan waria terbaik di Indonesia, Aming. Sindiran yang dilontarkan sangat tegas dan tepat sasaran. Simbol-simbol yang digunakan sebagai elemen yang memperkuat pesan film sangat terasa dekat dan mewakili maksud terselubung yang ingin disampaikan sutradara. Bahkan, satu dialog paling cheesy pun (Ike tag di Facebook), terasa sebagai sebuah tamparan keras tentang bagaimana situs jejaring sosial terbesar di dunia itu bisa menghancurkan karier seseorang dalam waktu singkat. Bukti bahwa proses penyampaian pesan di film ini efektif.
Akting seluruh pemain pun sangat mengagumkan. Kredit tertinggi harus diberikan pada banci kenes Aline (Joko Anwar). Dia sangat mencuri layar, dan memberikan saya kesimpulan bahwa Joko adalah calon legenda perfilman nasional selanjutnya. Pujian lain layak diberikan kepada Aming, yang dari mikro ekspresinya saja sudah terlihat sangat memahami bagaimana seorang waria harus diperankan. Seandainya masih berkenan untuk mengikuti FFI, dengan juri selevel Christine Hakim dan Didi Petet (ah, saya bermimpi), Mereka berdua akan mendapatkan piala citra sebagai aktor (atau aktris?) dan pemeran pembantu pria (atau wanita?) terbaik.
Dengan mengambil premis superhero, Madame X dapat menjadi salah satu penambah ragam film superhero dunia. Sejajar dengan Batman, Spiderman, Hulk, bahkan yang terbaru, Kick Ass. Garis dan gaya yang dipilih untuk khas dan tidak mengekor film apa pun terasa tegas. Madame X mampu berdiri sendiri, dengan genre superhero yang belum terciptakan (setidaknya oleh perusahaan film mayor) di dunia, yaitu superhero abu-abu. Dia bukan geek seperti Peter Parker, bukan orang kaya seperti Bruce Wayne, bukan ilmuwan salah riset seperti David Banner, dia cuma banci salon yang ditakdirkan membela kaumnya untuk maju di garis terdepan melawan ketidakadilan dan kemunafikan.
Meskipun demikian, di luar itu semua, satu kredit plus yang membuat saya memuji Lucky Kuswandi di tulisan ini.
Kredit itu adalah Lucky hanya menggunakan plot dan premis tersebut untuk membungkus pesan serius yang ingin dia sampaikan. Pesan tentang pentingnya menegakkan semangat pluralisme. Sejauh ini, upayanya berhasil. Film dengan pesan serius itu bisa diputar di seluruh bioskop di Indonesia, tanpa perlu dibabat Lembaga Sensor Film.
Catatan penutup: Saya termasuk beruntung menyaksikan film ini saat Gala Premiere, di mana banyak banci sosialita bertebaran di sana. Setelah nonton, seorang banci yang sepanjang acara gala bersikap norak demi menghibur hadirin, berdiri di samping saya dengan wajah kelelahan.
Berbeda dengan pandangan saya terhadap sosok ini sebelumnya. Kali ini, saya iba, lalu menyuruh dia duduk di samping, tanpa pretensi apa pun.
Terima kasih, Lucky Kuswandi....
Agusta Hidayatullah, penikmat film
Sumber: Lampung Post, Minggu, 17 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment