-- Ilham Khoiri & Yulia Sapthiani
JUMAT (22/10) sore yang mendung. Puluhan penumpang di Stasiun Sudimara, Jombang, Tangerang Selatan, menunggu dengan gelisah. Sebagaimana biasa, kereta ekonomi Rangkasbitung-Tanah Abang datang terlambat.
Begitu kereta tiba, sekitar pukul 15.00, para penumpang bergegas menyerbu. Mereka berlomba mengisi deretan kursi yang masih kosong. Tak seperti pada jam-jam sibuk, kedua belas rangkaian kereta yang dijalankan menuju Kota Jakarta sore itu agak sedikit lowong.
Namun, sedikit kelegaan itu tak serta-merta membuat para penumpang nyaman. Saat kereta mulai berjalan lagi, para pencari rezeki langsung hilir mudik memenuhi ruang di kereta sambil menjajakan barang dan jasa.
”Jujurlah padaku bila kau tak lagi cinta. Tinggalkanlah aku bila tak mungkin bersama. Jauhi diriku, lupakanlah aku….” Dua bocah kecil menyanyikan lagu pop grup Raja sambil menyusuri lorong kereta. Mereka adalah Ani (11) dan Piki (6).
Nyaring suara dua bocah itu masih terdengar, tiba-tiba menyeruak suara laki-laki menjajakan kaus kaki. ”Kaus kaki, kaus kaki. Rp 5.000 dua pasang.” Menyodok di belakangnya, penjual minuman anggur. ”Anggur, anggur. Dingin.”
Lalu, datang lagi teriakan, ”Tahu-tahu, gurih. Rp 2.000 untuk 15 tahu.” Tak lama, muncul lagi tawaran dari pedagang lain. ”Kerupuk gurih. Kerupuk gurih. Seribuan.”
Satu-dua penumpang membeli jajanan itu. Tetapi, sebagian besar diam saja. Beberapa penumpang malah duduk sambil terkantuk-kantuk di tengah cuaca yang masih mendung.
Meski begitu, para pedagang itu terus datang silih berganti. Tawarannya bermacam-macam, mulai dari air mineral, kopi, keripik, salak, rokok, atau tisu. Ada juga pengamen, peminta-minta, dan pemulung. Juga bocah dekil yang menyorong-nyorongkan sampah di lantai kereta sambil sesekali menengadahkan tangan.
Kereta-kereta yang pengap dan kotor itu tak ubahnya pasar berjalan. Berbagai suara bercampur riuh rendah. Dalam perjalanan sekitar 30 menit dari Stasiun Sudimara ke Stasiun Palmerah, Jakarta, itu, ada 30-an orang yang menjajakan barang dan jasa. Artinya, setiap menit, penumpang digoda untuk bertransaksi.
”Dalam satu rangkaian yang terdiri atas 12 kereta, ada 30 sampai 50 pedagang, pemulung, pengemis, dan pengamen. Kami terus berjalan dari kereta ke kereta,” kata Adul (30), pedagang minuman asal Tigaraksa, Tangerang.
Pemandangan semacam ini juga berlangsung di hampir semua angkutan umum di Jakarta, seperti bus dan angkutan kota. Contohnya, bus jurusan Grogol-Kampung Melayu. Selasa (19/10) sore lalu, misalnya, duduk lima menit di dalam bus, ada dua pedagang, satu pengamen, dan dua pemuda yang bergantian tampil di depan penumpang.
Tawarannya beragam. Tak sekadar air minum, tisu, atau sapu tangan, ada juga masker, majalah, kamus bahasa Inggris, lem kaca, pisau dapur, aksesori perempuan, kaus kaki, hingga alat untuk memasukkan benang ke dalam jarum. Ada pula pencari dana yang katanya untuk pembangunan rumah ibadah.
Para pedagang mempromosikan dagangan itu, kalau perlu sambil memberi demonstrasi. Dagangan lantas diletakkan begitu saja di pangkuan setiap penumpang. Setelah dibiarkan beberapa menit, pedagang mengambil kembali barangnya sambil mencari pembeli.
”Caranya memang harus begitu biar penumpang bisa melihat barangnya dulu,” kata Dedi (42), pedagang kamus bahasa Inggris-Indonesia.
Memaksa
Sebagian besar pedagang berjualan dengan cara baik-baik saja. Mereka mengaku terpaksa berjualan di kereta atau bus karena tak punya pilihan kerja di tempat lain. Angkutan umum dianggap cocok sebagai pasar karena dipenuhi penumpang setiap hari.
Jeffry (32), pedagang kalung, gelang, dan suvenir asal Serang, Banten, contohnya. Setelah gagal berjualan di pasar, dia mengais rezeki di kereta ekonomi jurusan Rangkasbitung-Parung Panjang-Kebayoran. Setiap hari, dia bekerja dari pukul 08.00 hingga 18.00.
”Saya dapat sekitar Rp 50.000 per hari. Sedikit, tetapi lumayan untuk menghidupi istri dan dua anak saya,” katanya.
Tisno (39), pedagang lain, memilih berjualan di bus karena bisa menawarkan dagangan lebih cepat. Selesai berjualan di satu bus, dia bisa langsung pindah ke bus lain. Barang dagangannya pun berubah-ubah. Setelah air mineral, permen, dan kacang, kini dia berjualan tisu dan masker.
”Saya pilih dagangan yang lagi laku,” kata lelaki asal Semarang, Jawa Tengah, yang sudah tujuh tahun jadi pedagang asongan di Jakarta itu.
Bagi penumpang, kehadiran pedagang itu mungkin agak bikin risi. Tetapi, lama-lama dimaklumi juga asal perilaku mereka masih sopan. ”Kadang pedagang dibutuhkan. Misalnya saja, kalau kita haus atau lapar di jalan, tidak perlu repot-repot turun dulu dari bus,” ujar Neli, seorang penumpang bus.
Hanya saja, ada sebagian orang mencari uang di angkutan umum dengan kekerasan, bahkan kalau perlu lewat intimidasi. Kerap dijumpai laki-laki bertampang sangar yang mengumbar cerita kalau dia baru keluar dari penjara. Dengan alasan menghindari bertindak kriminal, mereka meminta uang dari penumpang dengan paksa.
”Gayanya membuat takut. Tetapi, saya sih cuek saja, tidak mau beri uang kepada orang seperti itu,” kata Eka Chandrasari (38), pengguna bus jalur Tangerang-Blok M.
Meti (30-an), pengguna bus dari arah Jalan Thamrin menuju Tangerang, punya pengalaman lain. Dia pernah melihat orang yang meminta uang dengan memperagakan makan silet. ”Saya sih tidak terlalu memerhatikan karena mendengar dia bercerita saja sudah seram,” kata Meti, yang berharap orang-orang seperti itu tidak dibiarkan mencari uang di dalam bus.
Kemiskinan
Kenapa angkutan umum di Jakarta dan sekitarnya menjadi arena para pencari rezeki, baik secara baik-baik atau memaksa? Menurut pengamat ekonomi-politik Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago, situasi ini berakar dari kemiskinan dan lemahnya sistem transportasi umum. Orang-orang yang kesulitan memperoleh kerja di tempat layak akhirnya mencoba mengadu nasib di angkutan umum.
Kerumunan orang di angkutan umum dijadikan peluang untuk menciptakan lapangan kerja.
”Di angkutan umum itu, rakyat kecil berbagi kemiskinan. Mereka bertahan hidup dengan berbagai cara, bahkan dengan cara saling memakan,” kata Andrinof.
Berbagi kemiskinan dalam pengamatan Andrinof dulu terjadi di perdesaan. Akan tetapi, sekarang terjadi juga di perkotaan. Kemiskinan itu mendorong rakyat untuk berbagi, termasuk dengan berjualan di tengah berjubelnya angkutan umum di tengah jalan yang berjubel pula.
”Itu menjadi ciri ekonomi mereka untuk melahirkan transaksi kecil-kecil. dari situ mereka hidup.”
Apakah kemiskinan yang berjubel itu bisa dibaca sebagai indikator keberhasilan pembangunan?
Sumber: Kompas, Minggu, 24 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment