-- Muhiddin M Dahlan
Duli baginda, Dharmawangsa Teguh Anantawikramotunggadewa, beginilah sejauh saya ingat. Kita mulai membaca cerita ini pada hari ke-15 bulan gelap dalam bulan Asuji; harinya tungle, kaliwon, Rabu, pada waktu Pahang dalam tahun 918 penanggalan Saka…. Pada hari kelima Baginda tidak menitahkan diadakannya suatu pertemuan, karena Baginda terhalang oleh urusan lain. Menerjemahkan cerita ini ke dalam bahasa Jawa kuno minta waktu yang cukup banyak. Duli mengharapkan, agar pembawaan tidak melampaui kesabaran Baginda dan tidak dianggap terlalu panjang.”
Kutipan akhir yang terselip dalam Wirataparwa, satu dari serangkaian parwa-parwa yang diterjemahkan secara besar-besaran pada akhir abad ke-10, menandai munculnya masa pencerahan peradaban Nusantara. Kisah-kisah Mahabharata dalam bahasa Sanskerta diterjemahkan secara sistematis, ke bahasa Jawa kuno untuk dibacakan secara berurutan dalam perjamuan di alun-alun Kediri.
Para kawi, raja, dan rakyat untuk pertama kalinya duduk bersama bermalam-malam sejak 14 Oktober hingga 12 November 996 Masehi. Mereka diikat dalam perayaan bersama mendengarkan naskah dibacakan, mengolah bahasa, dan memperkaya budi.
Peristiwa bersejarah yang berlangsung lebih dari 1.000 tahun silam itu bukan saja menasbihkan sebuah sejarah panjang bagaimana serat dan buku dibacakan dan diupacarai, tetapi juga bagaimana buku dikeluarkan dari tempatnya yang angker. Pada masa itu, serat memang hanya dibaca oleh kalangan brahmana di sekitar raja.
Dengan gagasannya yang visioner, Dharmawangsa mengambil kebijakan agar serat itu dibagikan kepada rakyat jelata dalam sebuah upacara selama purnama. Praktik ini bisa menandainya sebagai hari istimewa keberaksaraan. Hari mula keberaksaraan di negeri ini.
Rujukan historis
Di tanggal itulah, 14 Oktober, sesungguhnya kita dapat bersama merayakan sebagai Hari Aksara. Hari yang sungguh penting bagi terbangunnya adab sebuah bangsa.
Hari yang menjadi penanda bagaimana pewarisan atau transmisi budaya di negeri ini dilakukan melalui proses abstraksi tertinggi: tulisan. Di samping tentu saja, alasan paling politis di mana sampai saat ini pemerintah sama sekali tak punya referensi yang spesifik saat merayakan Hari Aksara, kecuali bertumpu pada Hari Aksara Internasional yang jatuh pada 8 September (tahun ini diperingati pada 10 Oktober di Balikpapan).
Penanda itu diambil dengan pertimbangan saat terjadinya pertemuan menteri-menteri pendidikan sedunia di Teheran pada 8 September 1965, yang mencetuskan resolusi untuk melaksanakan gerakan Pemberantasan Buta Aksara di seluruh dunia, terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Para menteri kemudian mengusulkan kepada Sidang Umum UNESCO untuk menjadikan tanggal pertemuan itu (8 September) sebagai Hari Aksara Internasional, yang kemudian menganjurkan diperingati setiap tahun oleh semua negara anggotanya. Dan pada 12 November 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri mencanangkan tanggal itu sebagai hari Gerakan Membaca Nasional.
Pencanangan itu, biarpun sangat terlambat, tentu saja harus disambut baik. Tetapi sayang, ia tidak memiliki rujukan historis, di mana kita dapat mengidentifikasi tradisi keberaksaraan di negeri sendiri.
Momen 14 Oktober sebagaimana terkisah dalam kutipan di atas, layak kita peringati sebagai penghormatan atas apa yang dikerjakan Dharmawangsa dalam memberdayakan dan mencerdaskan rakyatnya. Selain itu juga tanggal terjadinya festival pembacaan serat yang menjadi penanda terjadinya ” renaisans” dalam sejarah kebudayaan negeri ini.
Dimulai dari masa Dharmawangsa ini jugalah tradisi membuat prasasti batu berkurang dan berkembang pesatnya penggunaan lontar sebagai perangkat keberaksaraan. Lebih dari itu, dimulai dari Raja Kediri ini juga lahir para kawi yang nama-namanya masih kita warisi hingga kini. Dari Mpu Kuturan yang memberi dasar pijakan penataan Bali dengan kampung Adat yang masih terlihat hingga kini, Mpu Kanwa yang melahirkan kisah Arjuna Wiwaha, hingga Mpu Baradah, dan para kawi Lemah Tulis di Penanggungan.
Renaisans di Nusantara
Renaisans yang muncul pada masa Dinasti Dharmawangsa dan satu generasi setelahnya mirip dengan renaisans di Eropa yang berlangsung pada masa Dinasti Medisi di Florence, Italia, akhir abad 14 Masehi. Keluarga Medisi ini menjadi agen, dengan kecakapan intelektualitas, ketajaman rasa seni, dan kedermawanan mensponsori munculnya sosok-sosok seperti Michelangelo (1475–1564), Leonardo da Vinci (1452–1519), hingga Galileo Galilei yang kita kenal sebagai tokoh-tokoh penanda lahirnya Renaisans Eropa di bidang seni dan arsitektur.
Pelupaan kolektif terhadap sejarah keaksaraan di Nusantara harus segera dikoreksi. Memperingati dan menetapkan 14 Oktober sebagai Hari Aksara Nusantara tidak hanya penting untuk mengembalikan memori kolektif kita, tetapi juga meneguhkan kembali kesadaran bahwa membaca adalah praktik budaya kita bersama.
Muhidin M Dahlan, Kerani di Indonesia Buku (www.indonesiabuku.com)
Sumber: Kompas, Sabtu, 16 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment