Sunday, October 24, 2010

Kisah Cinta dalam Sepotong Topeng

-- Ilham Khoiri

ADA cerita apakah di balik beragam tari topeng di Nusantara? Sebagian seni tradisi itu mengisahkan perjalanan cinta manusia, sebagaimana kisah Panji menemukan kekasihnya. Sebagian lagi menggambarkan pemujaan kepada leluhur.

Semangat itu mengental pada Festival Topeng Nusantara 2010 di Cirebon, Jawa Barat, dengan puncak acara berupa pentas di Panggung Budaya Cilimus, Resort Prima Sangkanhurip, Kuningan, Sabtu (16/10) malam. Festival yang digelar Yayasan Prima Ardian Tana itu menampilkan tarian topeng dari delapan wilayah di Indonesia, yaitu DKI Jakarta, Jawa Tengah, Bali, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, dan Cirebon, Jawa Barat.

Soal perjalanan cinta manusia tadi bisa kita cermati pada salah satu tari topeng, katakanlah tarian ”Luhur” dari Jawa Tengah. Dalam pertunjukan di tengah gerimis itu, kelompok ini membuka pentas dengan menampilkan Panji Asmara Bangun dan Dewi Sekartaji. Dua sejoli bertopeng wajah putih bersih itu memendarkan kehangatan asmara lewat tarian yang lembut.

Entah bagaimana, tiba-tiba Dewi Sekartaji terlempar ke tengah hutan. Di situ bercokol Klana Sewandana, sosok bertopeng merah mengerikan yang menari dengan kasar. Perempuan cantik itu harus berjibaku menghindari sergapan lelaki tersebut.

Untunglah Panji segera datang. Dia menggempur Klana demi merebut kekasihnya. Klana kalah. Dua manusia yang dimabuk asmara itu pun menyatu kembali.

Narasi ini mengalir lewat sosok-sosok bertopeng yang menari dengan berbagai karakter. Panji digambarkan ganteng dan baik. Dewi cantik dan gemulai. Sebaliknya, Klana hadir sebagai penjahat.

”Kisah ini melambangkan pertarungan antara kebajikan lawan kebatilan dan kebajikan yang menang,” kata Edy Prabowo, penari yang memerankan Panji.

Dengan berbagai variasinya, cerita serupa diangkat kelompok tari topeng dari wilayah lain. Petualangan Panji diangkat dalam tarian ”Cupak Gerantang” yang lebih merakyat dari Nusa Tenggara Barat. Tarian ”Centil” dari DKI Jakarta juga menggambarkan sosok Klana yang lebih meriah.

Kisah Pujanggo Anom dari Jawa Timur juga merujuk pada sosok Panji yang tengah menyamar menjadi rakyat jelata. Sosok ini pula yang diangkat dalam salah satu babak tarian ”Panji” dari Cirebon yang dimainkan Wangi Indriya dalam gerak mirip meditasi.

Meski bersumber kisah yang sama, setiap daerah punya bentuk topeng dan tarian khas. Ekspresi topeng dan tari dari Jawa Timur, misalnya, lebih terbuka, penuh gejolak, sebagaimana tergambar lewat adegan salto dan jumpalitan. Tarian dari DKI Jakarta lebih genit. Berbeda dengan karakter Panji dari Cirebon yang lebih anteng.

Kekayaan

Bagaimana kisah cinta Panji bisa menyebar seperti itu? Menurut Endo Suanda, pengamat seni pertunjukan kelahiran Majalengka, Jawa Barat, kisah Panji tumbuh di kalangan masyarakat pedesaan di sebagian wilayah Nusantara. Diperkirakan, itu berlangsung pada abad ke-15 Masehi sampai abad ke-19 Masehi.

Kisah Panji lekat dengan khazanah lokal, tetapi sebenarnya menyerupai kisah Ramayana dari India—dengan tokoh Rama yang mempertahankan Shinta dari godaan Rahwana. Sosok Panji dalam tari topeng mendekati Rama. Dewi lekat dengan Shinta. Perilaku Klana mirip Rahwana.

Kisah Panji mudah diterima masyarakat umum karena menyuguhkan romantisisme cinta yang digemari banyak orang. Ujung ceritanya selalu sama, yaitu mempertemukan Panji dan Dewi. Namun, perjalanan menuju akhir bahagia itu menarik karena penuh petualangan.

”Petualangan itu lantas dimodifikasi sesuai waktu, tempat, dan konteks masing-masing. Pakem cerita menjadi modal untuk berkreasi baru,” kata Endo.

Masyarakat melestarikan kisah ini karena dianggap mencerminkan nilai-nilai luhur. Pengembaraan Panji menemukan kekasihnya menandakan perjuangan seseorang dalam menggapai keinginan. Ini semacam peringatan: jika mau bekerja keras mengatasi berbagai rintangan, siapa pun bisa mewujudkan cita-cita.

Di luar kisah Panji tadi, ada juga ungkapan cinta pada leluhur. Setidaknya itu terwakili tari topeng ”Hudog” dari Kalimantan Timur dan ”Gundala-Gundala” dari Sumatera Utara. Kedua tarian ini menampilkan topeng yang seram dan bernuansa mistis.

Festival Topeng Nusantara di Cirebon ini bisa menjadi awal yang baik untuk mendorong seni tradisi menemukan relevansinya di tengah perubahan zaman. Sayangnya, dalam festival ini, pentas seni topeng masih terasa dikemas sebagai hiburan yang berkelebat selepas makan malam. Roh seni pertunjukan tradisi yang biasa memendar kuat di tengah rakyat dipangkas menjadi paket-paket pentas wisata dalam belasan menit saja.

”Kami merindukan festival yang merayakan seni topeng sebagai seni rakyat, bukan hanya jadi sajian wisata yang instan,” kata Ketua Dewan Kesenian Cirebon Ahmad Syubbanuddin Alwy.

(Siwi Yunita Cahyaningrum dan Timbuktu Harthana)

Sumber: Kompas, Minggu, 24 Oktober 2010

No comments: