-- Irene Sarwindaningrum dan Hariadi Saptono
Musibah letusan Gunung Merapi, Selasa (26/10) pukul 18.10, 18.15, dan 18.25, menyisakan dua pertanyaan penting, serta keprihatinan publik.
Mas Penewu Suraksohargo atau Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi. (KOMPAS/WAWAN H PRABOWO)
Pertama, mengapa jumlah korban meninggal terempas guguran lava Merapi begitu tinggi, mencapai 32 orang, termasuk juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan (83)? Padahal, peringatan akan bahaya Merapi sudah diumumkan dan langkah antisipasi juga sudah dipersiapkan oleh pemerintah.
Kedua, masyarakat makin ingin tahu siapakah Mbah Maridjan dan bagaimana sebenarnya perannya sebagai juru kunci Gunung Merapi dari Keraton Yogyakarta, yang dalam beberapa kali peristiwa erupsi tetap memilih tinggal di rumahnya di Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta? Dusun tempat tinggalnya bersama keluarganya itu adalah dusun tertinggi, berjarak hanya 4 kilometer dari puncak Merapi (2.968 meter di atas permukaan laut).
Ribuan ”alumnus” pendaki Merapi, khususnya alumnus jalur selatan lewat Kinahrejo, pasti mengenal Mbah Maridjan dan belajar mencintai alam darinya. Salah satu alumnus Merapi yang pernah menyatakan kebanggaannya sebagai pencinta alam ialah pakar politik almarhum Prof Dr Riswandha Imawan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) ketika itu.
Komunitas anak muda pencinta gunung itu—jika mereka berkemah atau mendaki Merapi dari jalur Kinahrejo—pasti akan bersua dengan sosok Mbah Maridjan, yang oleh Keraton Yogyakarta diangkat sebagai juru kunci Merapi. Datang atau pergi, belum lega kalau belum sowan ”simbah”, pemilik base camp yang lengkap menyewakan balai-balai bambu luas untuk bergelimpang istirahat di rumahnya.
Sejak awal tahun 1980-an, tempat itu sebenarnya sudah menjadi ”area dan fasilitas publik”. Di kanan kiri rumah induknya berupa bangunan limasan, ada bangunan rumah yang saban hari menjadi warung tempat pendaki maupun pelancong melepaskan lelah: kopi, teh, kopi jahe, kacang rebus, mi instan, nasi goreng, nasi rames, rokok, sampai obat nyamuk. Malam Minggu, begitu banyak kaum muda reriungan di sana. Gunung dan imajinasi liar menyatu.
Mbah Maridjanlah yang memegang kata putus: kapan satu rombongan pendaki diizinkan naik, kapan tidak—karena ia tahu kondisi jalur pendakian aman atau berbahaya saat itu. Hiburan yang membuat kangen, dan mengesankan anak muda dan tetamunya, tentulah karena Simbah begitu ”licin” dalam berbahasa: kosakatanya liat, dan memang cerdik.
Ucapan-ucapan juru kunci Merapi yang dilantik Maret 1983 oleh Sultan Hamengku Buwono (HB) IX itu juga tidak linier, multidimensi, dan kaya metafor. Karena itu, sangat sering membuat orang dengan logika lurus terpeleset menafsirkannya.
Mengapa ia menjadi juru kunci Merapi? Ini bertalian dengan wilayah Merapi sebagai wilayah milik Keraton Yogyakarta. Keraton punya tradisi mengangkat juru kunci Merapi sebagai bagian dari ”pandangan dunia” lazimnya keraton Jawa, tentang garis magis imajiner antara Gunung Merapi, Keraton, dan Parangtritis di Pantai Selatan, Yogyakarta.
Di sebuah senja menjelang gerimis di tahun 2006, mendadak serombongan mahasiswa minta berteduh di kediamannya. Oom Piet, instruktur rombongan itu, ternyata sudah lama kenal Simbah, tapi begitu lama tak muncul di sana.
Mbah Maridjan spontan mengambil peci dan mengajak tamunya masuk ke rumah inti, limasan kecil di belakang bangunan joglo. Dan teh panas pun dihidangkan. ”Kebutuhan orang itu, ya, ’rasa kekurangan’ itu,” katanya, mendadak berkomentar tentang bencana banjir dan longsor di mana-mana akibat ulah manusia. ”Meski diberi sebanyak apa pun, manusia akan merasa kekurangan, karena kekurangan itulah kebutuhan manusia,” kata abdi dalem keraton yang punya gelar Mas Penewu Suraksohargo itu.
Kali lain, serombongan pelancong dari Jakarta datang mencari angin di Kinahrejo. Mbah Maridjan meneror: ”Maunya ke rumah Simbah cari resep ya Mas, jebule di sini sepet. Hohohoho... lha piye niku (Maunya ke rumah Simbah mencari kenyamanan ya Mas, ternyata di rumah simbah menjemukan. Bagaimana tuh),” kata Mbah Maridjan telak, membuyarkan imajinasi soal perikehidupan desa.
Selasa siang, tiga jam sebelum erupsi terjadi, Mbah Maridjan menemui utusan Ketua PB NU Hasyim Muzadi yang ingin berkunjung Rabu pagi. Dalam obrolannya, siang itu Mbah Maridjan berkali-kali mengungkapkan kekesalannya kepada para wartawan. Oleh sebab itu, ia selalu menolak diambil gambar oleh wartawan. ”Wartawan itu beritanya besar, tetapi sebenarnya faktanya kecil. Sedangkan kabar yang baik, mengapa justru menjadi jelek,” katanya dalam bahasa Jawa.
Ungkapan seperti itu boleh jadi menggambarkan kekecewaannya atas ruwetnya profesinya kini sebagai juru kunci Merapi, karena cara media massa membahasakannya.
Sebutlah ”pekerjaan” sebagai juru kunci, adalah ”pendakian” personalnya secara spiritual. Wilayah itu tak sepenuhnya bisa diterang-jelaskan, sebagaimana pengalaman puitik pada tradisi para kawi (sastrawan). Hal yang mirip, sepintas juga hidup pada komunitas wayang orang di Dusun Tutup Ngisor, Kecamatan Dukun, Magelang.
Kira-kira, Mbah Maridjan itu kaget bahwa aras informasi yang masih prematur miliknya (tentang Merapi dan apa saja) mendadak menjadi sebuah konstatasi. Sebuah kepastian, bahkan sering dibikin lebih menyeramkan oleh media. Dan khalayak tak jarang melanjutkannya dengan perburuan: mengerumuninya minta konfirmasi.
Inilah mengapa dalam kaitan dengan situasi kritis Merapi, Selasa siang itu Simbah terang-terangan menolak disebut panutan.
Jadi jelas, dia menyatakan diri cara berpikirnya bukan ”jalan umum”, bukan ”rute angkutan umum”. Dia berharap setiap orang mampu menentukan sikap untuk keselamatannya sendiri, dan tak ingin siapa pun hanya mengekor tindakannya. Hal ini karena setiap orang bertanggung jawab terhadap keselamatan dirinya sendiri. ”Kalau sudah merasa harus mengungsi, mengungsi saja. Jangan mengikuti orang bodoh yang tak pernah sekolah seperti saya ini,” katanya.
Baginya, Merapi adalah rumah yang harus diterima, dalam kondisi baik ataupun buruk. ”Kalau turun, nanti diomongin banyak orang. Hanya senang enaknya, tapi tak mau terima buruknya. Bagus atau buruk, ya ini rumah sendiri,” katanya.
Yang indah dan tetap ndeso, menurut kami, di hari terakhirnya itu, pagi harinya Mbah Maridjan masih mencangkul di ladang....
Sumber: Kompas, Kamis, 28 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment