-- Ilham Khoiri
DI tengah berbagai pentas seni kontemporer di Jakarta, pentas barong osing oleh Kelompok Tresno Budoyo menyelipkan kesegaran. Seni pertunjukan asal Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, Jawa Timur, itu kental dengan spirit teater rakyat: bersahaja, terbuka, dan cair terhadap serapan berbagai budaya.
Barong osing tampil dalam rangkaian Festival Salihara 2010 di Salihara, Jakarta Selatan, Rabu-Kamis (6-7/10) malam lalu. Seluruh pemain datang dari Banyuwangi dengan dipimpin Sapi’i, pemilik grup sekaligus ”pawang.” Pentas dikoordinasi Aekanu Haryono, penyutradaraan oleh Edi Sucipto, dan artistik ditangani Endo Suanda.
Pada malam pertama, dimainkan lakon ”Jakripah dan Barong Sinar Udara” serta ”Panji Sumirah.” Malam kedua, pentas mengangkat lakon ”Londaya Singa Barong.”
Bertempat di Galeri Salihara, panggung ditata secara sederhana. Salah satu dinding galeri ditutupi semacam gebyok yang dibalut kain hitam dengan hiasan janur. Di tengah ada gapura bergambar barong dan layar-layar berlukiskan pemandangan alam desa.
Di sayap kanan para pemusik duduk di belakang peralatan gamelan jawa. Ada gambang, bonang, slentem, gong, kendang, dan kecrek. Di depan panggung, ditata kursi lipat untuk tempat duduk penonton.
Pada lakon ”Jakripah dan Barong Sinar Udara,” pentas dibuka dengan kemunculan sosok barong. Agak menyerupai barong bali dengan mata besar dan bertaring, tetapi sosok singa barong ini bermahkota besar dan punya empat sayap.
Mirip dengan barong atau liong dalam tradisi China, barong osing juga dimainkan oleh dua orang. Satu pemain dewasa memanggul topeng dan mahkota di depan. Satu lagi pemain bocah yang menjadi kaki belakang dan ekor.
Dikisahkan, barong itu menari bersama Jakripah, seorang perempuan cantik. Saat berjoget, dagu binatang itu bisa bergerak-gerak dan menimbulkan bunyi ”tak-tak-tak-tak.” Mendadak, binatang itu menghilang.
Jakripah meminta seseorang bernama Paman Iris untuk membantu mencarinya. Imbalannya, dia rela diperistri lelaki itu. Tetapi, setelah barong ditemukan, dia mengajukan syarat baru: Iris mengalahkan barong. Ternyata, barong kalah.
Perempuan itu menyuruh Iris menghidupkan barong. Namun, ketika barong berhasil dihidupkan, dia tetap menolak diperistri Iris. Akhirnya, perempuan dan laki-laki itu bertempur.
Lakon yang sederhana itu dimainkan dengan cara yang bersahaja. Cerita mengalir lewat tarian, tembang dan percakapan dalam bahasa Osing dan adegan pertarungan. Para pemain keluar-masuk panggung dengan santai, kadang ngobrol dengan selipan humor.
Serapan
Barong osing menyuguhkan perwujudan seni barong yang berbeda dari yang lazimnya kita kenal, katakanlah seperti barong bali, barong dalam reog ponorogo, atau barong dalam tradisi China. Meski begitu, unsur-unsur serapan dari berbagai budaya lain itu juga tak sama sekali hilang.
Seperti disebutkan tadi, dandanan dan permainan barong itu memperlihatkan jejak-jejak budaya Bali dan China. Kuda-kuda tarian juga menyiratkan gaya tarian Bali. Saat bersamaan, kita juga bisa mencermati adanya pengaruh tarian gaya ludruk Jawa Timuran atau gaya joget ketoprak dan wayang orang.
Demikian pula gamelannya yang menunjukkan pertemuan antara budaya Jawa dan Bali. Pertemuan itu terasa pada teknik pemukulan gamelan jawa yang dimainkan dengan cara saling mengunci, mirip pendekatan gamelan bali. ”Itu mencerminkan kelenturan pertunjukan rakyat yang sangat terbuka terhadap berbagai serapan budaya,” kata etonomusikolog Rizaldi Siagian.
Menariknya, berbagai serapan itu diikat lagi dalam kesatuan idiom pertunjukan yang khas. Salah satu simpulnya, pemakaian bahasa Osing, baik dalam narasi, tembang, maupun percakapan. Bahasa ini berakar pada bahasa Jawa Kuna yang sebagian terdengar agak mirip bahasa Bali.
”Berbagai unsur budaya itu menyatu dalam adonan seni rakyat lewat proses alamiah yang panjang,” kata Aekanu Haryono. Hingga kini, masyarakat Osing di Kemiren, Banyuwangi, masih terus memainkan seni barong ini dalam berbagai ritual dan hajatan rakyat.
Terbuka
Adonan seni barong di Kemiren tak lepas dari sejarah budaya Osing. Berakar dari Kerajaan Blambangan, masyarakat Osing terbiasa bersentuhan dengan beragam budaya. Awalnya, mereka mewarisi sisa budaya Kerajaan Majapahit, sempat berada di bawah pelindungan kerajaan Bali, lantas terimbas pengaruh kerajaan Mataram Islam.
Hanya saja, berbagai pengaruh itu tak lantas meleburkan karakter asli. Masyarakat Osing tetap otonom dengan budayanya sendiri, termasuk ketika memilih berperang habis-habisan melawan penjajahan Belanda. Tradisi terbuka sekaligus otonom itu berlanjut hingga sekarang.
Keterbukaan itu juga terasa pada pentas barong osing di Salihara. Di tengah pertunjukan, misalnya, ada pemain yang mengambil pisang dan membagikannya pada penonton. Pada ujung pentas, para pemain turun untuk menari bersama penonton, termasuk beberapa orang asing, dengan iringan musik gandrung. ”Keterbukaan dan kesantaian itu khas budaya petani Osing di Kemiren,” kata Endo Suanda.
Sumber: Kompas, Minggu, 10 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment