-- Aris Setiawan
BEBERAPA dekade terakhir, gamelan menjadi ramai diperbincangkan dunia. Hal terakhir yang dapat kita temui adalah berlangsungnya Festival Gamelan Dunia di Trengganu, Malaysia, Juli 2010 lalu. Terdapat puluhan kelompok gamelan yang tampil dari beberapa negara, termasuk Indonesia. Sejak diberlangsungkannya Festival Gamelan Dunia pertama tahun 1986 di Kanada, tercatat setidaknya terdapat seratusan lebih kelompok ensambel dan studi gamelan di Amerika Serikat, belum lagi di negara lain.
Bahkan, menurut Rahayu Supanggah, penggagas Festival Gamelan Dunia, Singapura tahun ini telah menjadikan gamelan sebagai mata pelajaran wajib di berbagai sekolah dasar pada hampir sebagian wilayahnya. Sebelumnya, hal serupa pun terjadi di Eropa, Amerika, bahkan Jepang. Di negara-negara maju tersebut, gamelan telah menjadi mata kuliah wajib pada universitas-universitas unggulan. Gamelan tidak lagi menempati posisi sebagai alat musik ”rendahan”, ”tak beradab”, atau hal negatif lain sebagaimana pandangan para sarjana atau peneliti ”Barat” dalam menilai budaya kita dulu (Rizaldi Siagian, Kompas 13/12/2009). Gamelan kini telah gagah bersanding dengan alat musik bangsa lain sebagai sarana pembelajaran yang terbentang ke penjuru dunia.
Di Amerika, gamelan Jawa nangkring di universitas-universitas unggulan, seperti Universitas California di Berkeley (gamelan Kyai Udan Mas), San Jose University (gamelan Sekar Kembar), Lewis and Clark College (Kyai Guntur Sari), Michigan, Wiscounsin, Northern Illinois, Oberlin, Wesleyan, dan ratusan universitas terkemuka lainnya.
Sementara di Jepang, gamelan sudah menjadi media ajar di berbagai universitas, seperti Tokyo University of Fine Art and Music dengan grup gamelannya yang bernama Kyai Lambang Sari, di Kuntachi College of Music (Gamelan Sekar Jepun), Dharma Budaya Osaka University, Hyogo University, Tokyo Osaka-Tohogakuen (semuanya college of music). Sementara ratusan bahkan ribuan lainnya tersebar di Benua Eropa.
Unik
Konsep bunyi gamelan tidak hanya ditentukan oleh kandungan teoretis fisika seperti halnya sistem bunyi pada musik Barat. Misalnya bagaimana alat musik Barat memiliki pitch yang akurat dalam jarak yang beraturan (interval) dengan berbagai perimbangan-pertimbangan ukuran frekuensi tertentu. Hal tersebut menghasilkan totalitas warna bunyi yang bersifat baku dan absolut (Aris Setiawan, 2009).
Namun, dengan sistem bunyi ”musik Barat” (diatonis) yang seragam itu, berarti tak ada pilihan dan kemungkinan lain yang bisa ditoleransi. Sistem nada menjadi begitu ketat dengan harga mati. Sedikit saja ia berubah, maka dianggap salah atau keliru. Dengan demikian, nada dalam berbagai alat Musik Barat itu (gitar, piano, saksofon, biola, dan lain sebagainya) adalah sama, terstandar.
Bagi Suka Hardjana (2004), dalam gamelan segala aspek yang berkaitan dengan bunyi sebagai totalitas getaran dan gelombang suara diterima sebagai suatu kenyataan. Akibatnya, segala hal yang berhubungan dengan pencapaian bunyi dalam gamelan tidak mengenal salah atau keliru. Nada minir, sumbang (falsch) sengaja dihadirkan demi tercapainya kesan dan pencapaian kadar estetik yang tinggi. Lihatlah bagaimana masyarakat Malang (Pelog Temor) dalam melantunkan vokal gamelan yang terkesan sumbang, interval nada vokal dengan nada gamelan tidak match, terdapat jarak. Atau gending Pamegatsih di Surakarta yang juga banyak menggunakan nada-nada minir. Bagi komponis musik Barat, tentu saja hal tersebut dianggap salah karena falsch. Namun, bagi dunia gamelan, hal itu adalah kekuatan estetika yang terdalam. Tidak ada batasan seberapa persen kadar keminiran (sumbang) nada yang dapat ditoleransi. Dengan demikian, gamelan dapat memicu munculnya beribu nada baru.
Keunikan wilayah nada seperti tersebut di atas, menjadikan gamelan sebagai bahan eksperimen yang penting bagi seniman dan akademisi di dunia. Pengembaraan bunyi, eksplorasi berbagai kemungkinan senantiasa dilakukan untuk membentuk gamelan menjadi maistream budaya baru bagi kultur mereka yang cenderung berbeda. Bahkan tidak menutup kemungkinan dalam penjelajahannya, mereka akan menemukan satu formula musikal yang berbeda dengan di Nusantara, dan menjadi salah satu pisau unggulan gamelan di luar Indonesia. Itulah yang terjadi pada kelompok gamelan Lambang Sari dari Jepang sewaktu tampil di Solo International Performing Arts (SIPA) pada 18 Juli 2010 lalu. Mereka memainkan gamelan dengan kaidah-kaidah musikal menurut cara pandang mereka sendiri, bukan lagi ”Jawasentris”. Akibatnya, muncul nuansa dan warna musikal baru yang lebih segar.
Humanis
Gamelan tumbuh subur di beberapa bagian dunia juga karena makna musikalnya yang humanis. Hal inilah yang melatarbelakangi gamelan di beberapa negara digunakan sebagai sarana pendidikan kepribadian. Bahkan, di Perancis digunakan sebagai sarana terapi kejiwaan di berbagai penjara yang ada (Danis Sugianto, 2009).
Bermain gamelan berarti menghayati akan arti kebersamaan. Gamelan tidak dapat dimainkan secara tunggal. Berbeda dengan musik Barat, seperti piano, gitar, biola yang dapat melangsungkan konser secara mandiri. Namun, dalam gamelan, hal tersebut tidak dapat dilakukan. Tidak mungkin bonang, kendang, demung, kempul, atau bahkan kenong melangsungkan konser tunggal tanpa disertai instrumen gamelan lainnya. Mereka harus hidup dalam hierarki satu kesatuan musikal. Saling mengikat antara satu instrumen dengan instrumen lain, sehingga saling membutuhkan. Dengan demikian, rasa kebersamaan tergelar dalam makna filosofisnya.
Bermain gamelan berarti menghilangkan sifat egois dan individual. Setiap pemain harus menghargai pemain lainnya. Tidak ada yang paling menonjol. Semua bermain dalam satu kesetaraan bunyi, tidak ada yang lebih keras dan lebih lirih. Semua terikat dalam hukum-hukum dan kaidah toleransi yang tinggi. Ketika satu instrumen memberi aba-aba atau kode musikal, maka instrumen lain harus tanggap. Pada konteks ini tidak ada konduktor (pemimpin), semua bermain dalam takaran kebersamaan untuk saling mengerti dan dimengerti. Komunikasi musikal menjadi hal utama dan ”rasa” adalah pencapaian tertinggi yang dituju.
Rahayu Supanggah, yang juga guru besar bidang gamelan —karawitan—pernah menjadi saksi bagaimana orang-orang non- pribumi menangis karena gamelan. Mereka yang terkenal individual, kemudian harus turut larut dalam kaidah-kaidah kebersamaan yang dibangun oleh gamelan. Pada titik inilah ”rasa” berubah menyentuh sensibilitas perasaan terdalam manusia. Bagitulah gamelan dihayati dan dimengerti oleh masyarakat di dunia. Mereka semakin sadar akan arti penting hadirnya gamelan. Sementara di Indonesia?
Aris Setiawan, Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia, Surakarta
Sumber: Kompas, Minggu, 10 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment