Sunday, October 10, 2010

[Buku] Menyuarkan Kaum Tak Bersuara

-- Wilson

DUNIA sastra adalah sebuah ruang kebebasan tanpa batas bagi seorang penulis untuk membangun cerita dan menciptakan karakter tokoh-tokohnya sendiri. Kesan ini akan muncul ketika para pembaca tertegun, berdegup, dan terkejut melihat dunia unik dan tragik yang ditemui dalam kumpulan cerpen ini.

Akan tetapi, fantasi dalam dunia rekaan penulis kumpulan cerpen ini bukanlah sesuatu yang terinspirasi secara misterius. Dengan pengalamannya sebagai aktivis, jurnalis, dan seorang feminis, tentu interprestasi atas realitas menjadi bagian yang berpengaruh dalam fantasi-fantasi dirinya.

Menurut kritikus sastra Terry Eagleton (2002), karya sastra merupakan bentuk-bentuk persepsi sebagai cara khusus dalam memandang dunia. Penulis dan karyanya memiliki relasi dalam cara memandang realitas yang menjadi ”mentalitas” dan ideologi di suatu zaman. Setiap penulis adalah individu yang harus ditempatkan sebagai bagian dari masyarakatnya karena itu sebuah fiksi dapat dilihat sebagai cara pengarang merespons sejarah dari sudut pandangnya sendiri.

Karya-karya Linda harus dipahami dari konteks pemikiran dan pengalaman penulis sebagai individu yang menjadi bagian dari masyarakat, sebagai seorang perempuan, dan warga sebuah negara-bangsa dalam melihat relasi-relasi sosial dan relasi kuasa yang terjadi. Mayoritas cerpen dalam Rahasia Selma dapat dianggap sebagai narasi perempuan untuk menggugat ketimpangan relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki dalam sistem patriarkis di masyarakat. Secara gamblang dikatakan Linda bahwa ”Lelaki-lelaki itu mampu berbuat seenaknya, tetapi tak bisa ditendang secepatnya (hal 118).”

Berkuasa atas tubuh

Dalam cerpen ”Pohon Kersen” Linda menjadi narasi ”perempuan” yang mendapatkan derita psikologis dan tak bisa bersuara ketika mendapatkan kekerasan seksual dari laki-laki. Gadis kecil dalam cerpen itu adalah wakil korban perkosaan yang terpaksa diam dan tidak mendapat perlindungan dari masyarakat, hukum, dan bahkan institusi keluarga. Pembiaran dan ”pendiaman” ini menjadikan perempuan menjadi korban untuk kedua kalinya.

Secara ekstrem Linda menggambarkan keguncangan jiwa seorang perempuan akibat dinikahkan secara paksa oleh keluarganya (”Menunggu Ibu”). Dalam keluarga patriarkis, anak perempuan juga bisa kehilangan hak untuk mencintai. Ketika seorang perempuan direnggut cinta dan haknya untuk memilih pasangan hidup, dia telah menjadi tubuh kosong dan akhirnya mencari kebebasan pada kematian.

Linda juga menunjukkan posisi radikal bahwa perempuan harus berkuasa atas tubuh dan orientasi seksualnya. Ketika sistem patriarkis begitu kuat mencengkeram, satu-satunya ruang, di mana perempuan bisa melawannya, adalah dengan kembali berkuasa atas tubuhnya sendiri. Perempuan mencari perlawanan dengan memilih ”berdaulat 100 persen” atas tubuhnya. Hal itu ditunjukkan dalam cerpen ”Rahasia Selma” , ”Kesedihan”, dan ”Babe”. Perempuan dalam ketiga cerpen tersebut ”bersuami”, tetapi justru juga menemukan kepuasan psikologis dalam relasi seksual sejenis dan orang lain.

Hal paling menarik dalam cerpen-cerpen Linda kali ini adalah gugatannya yang keras atas diskriminasi kepada aktivitas seksual individu dalam menentukan orientasi seksual. Linda secara jelas menunjukkan bahwa hubungan seks sejenis adalah hak asasi setiap manusia karena itu tak boleh didiskriminasi atas nama dan pembenaran apa pun. Menurutnya, isu lesbian, gay, biseksual, dan transeksual (LGBT) merupakan suatu wacana yang harus diketahui oleh publik. Tema LGBT ini dapat ditemui dalam cerpen ”Mercusuar” dan ”Kupu-Kupu Merah Jambu” . Menurut Linda, berbagai stigma dan sanksi sosial yang tak ringan telah diberikan kepada mereka. ”Seperti pendosa atau mengalami gangguan jiwa, membuat semua orang tak berani membuka diri.”

Linda juga mengangkat tema sosial-politik, yang selama ini menjadi kekuatan karyanya, seperti yang tampak dalam kumpulan cerpen Kuda Terbang Maria Pinto. Cerpen yang saya anggap paling kuat adalah cerpen ”Ingatan”. Cerpen ini bercerita tentang kekuatan seorang ”penulis puisi”. Tampaknya cerpen ini ditujukan untuk mengenang Wiji Thukul, sahabat Linda yang diduga diculik tentara. Cerpen ”Ingatan” seperti sebuah seruan Linda agar tidak amnesia atas apa yang terjadi pada Wiji Thukul, yang masih dinyatakan hilang selama hampir 12 tahun tanpa kejelasan dari negara. ”Aku akan terus ada selama kalian mengingatku”. Cerpen paling berbeda adalah ”Jazirah di Utara”. Cerpen ini sepertinya dibuat sebagai persembahan penulis untuk melepas ayahnya yang wafat pada tahun 2008.

Simbol resistensi

Secara umum cerpen-cerpen dalam Rahasia Selma tetap mengusung spirit sang penulis untuk menjadi suara dari ”kaum tak bersuara”. Kali ini penulis banyak mengambil tema-tema kontroversial dan ditabukan oleh nilai-nilai dan relasi kuasa dominan. Tema-tema nasib perempuan akibat sistem patriarki mungkin sudah banyak diangkat oleh pengarang perempuan. Namun, tema yang seolah menyatakan bahwa perempuan berkuasa atas tubuh dan orientasi seksualnya mungkin terasa mengejutkan.

Cerpen-cerpen Linda juga dapat dipandang sebagai simbol resistensi personal kaum perempuan untuk tetap mempertahankan ”tubuhnya” agar tidak dijarah oleh sistem patriarkis. Tubuh perempuan adalah satu-satunya benteng pertahanan yang paling mungkin dikuasai oleh perempuan 100 persen. Berkuasa atas ”tubuh perempuan” adalah suatu perlawanan personal perempuan atas sistem dominan.

Akhirnya, kumpulan cerpen ini dapat kita lihat sebagai ”potret psikologis” dari penulis atas nasib kaum perempuan dalam sistem patriarkis dan penolakannya atas diskriminasi yang dialami kaum LGBT.

Wilson, Alumnus Fakultas Sastra Universitas Indonesia

Sumber: Kompas, Minggu, 10 Oktober 2010

No comments: