BERGERAK di antara kompleks percandian Batujaya Karawang dan Benua Altantik, membuat konferensi internasional ini kehilangan fokus isu yang hendak diangkatnya ke permukaan. Batujaya adalah permasalahan yang konkret, sedangkan Benua Atlantis tetaplah merupakan sesuatu yang abstrak. Di antara kedua itulah konferensi ini berlangsung. Terlebih lagi, format konferensi yang tidak membagi dirinya ke dalam berbagai sidang komisi ini, akhirnya kurang bisa menjadi ruang bagi empat ratus peserta konferensi untuk memaparkan pandangannya.
Demikian sejumlah pandangan mengemuka dari budayawan Endo Suanda, Anis Djatisunda, dan sejarawan Sobana Hardjasaputra. Dalam pandangan Endo, tema besar yang diusung oleh "Internasional Conference on Sundanese Cultural" (ICSC) bukanlah tidak penting. "Tapi buku benua Atlantik itu isu besar, lalu ada candi. Mengapa konferensi ini tidak concern dan fokus saja pada apa yang dipaparkan oleh Dr. Hasan Djafar tentang kompleks percandian di Batujaya? Konferensi yang begini terlalu abstrak dan berapa lama orang yang bisa menanggapi. Isu, audiens, tidak jelas ukurannya," ujar Endo Sunda.
ICSC, menurut dia, sama sekali tidak merefleksikan apa yang pernah digagas oleh Ajip Rosidi dengan Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) tahun 2010. Dalam pandangannya, ini yang menjelaskan bahwa berbagai event pertemuan budaya di Jabar tidak memiliki master plan yang jelas, sehingga fokus tema, konsep atau strategi, dan pengembangan yang dilakukan tidak memiliki benang merah, yang akhirnya tidak bisa dievaluasi pencapaiannya.
"Sebaliknya, kalau ada master plan yang jelas pilihan tema, kurasi para peserta, dan langkah-langkah konkret yang akan dilakukan menjadi bisa dievaluasi. "Yang lebih penting buat saya bukan seminar dan konferensi, tapi mengadakan work shop sebagai langkah pada apa yang mesti dilakukan. Misalnya, pendataan riil tentang khazanah budaya Sunda," tambahnya.
Oleh karena itulah, Endo menilai, bagaimana mungkin isu kesundaan bisa diangkat jika tanpa data yang riil. Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Dr. Hasan Djafar menyimpan banyak data yang bisa ditindaklanjuti sebagai sebuah isu yang konkret ketimbang tergoda oleh isu-isu yang kelewat abstrak.
"Sekarang banyak orang dan pihak yang memiliki data. Tapi bagaimana mengolah seluruh data itu sehingga bisa diakses oleh publik. Dan saya pikir, itu jauh lebih perlu dipikirkan ketimbang mengusut secara emosional peristilahan yang tak ada hubungannya dengan merevitalisasi budaya Sunda. Apakah jika peristilahan itu dipakai budaya Sunda akan terangkat kembali? Romantisme itu penting, tapi soalnya, bagaimana menerjemahkannya menjadi energi yang konkret, " ujarnya.
Pandangan tentang fokus konferensi juga muncul dari budayawan Anis Djatisunda dan sejarawan Sobana Hardjasaputra. Anis Djatisunda merasa bingung dengan arah konferensi dan fokus yang disasarnya. Ia mempertanyakan hubungan antara membicarakan Benua Atlantis dan percandian Batujaya. Sedang Sobana Hardjasaputra menyoroti format konferensi yang hanya memiliki satu sidang pleno, tanpa adanya pembagian komisi menurut topik yang dipilih. "Konferensi ini jadi terkesan ngarawu ku siku," ujarnya.
Akan tetapi apa pun konferensi itu telah melahirkan apa yang disebut dengan "Deklarasi Bogor" (lihat hal. 20). Deklarasi ini terdiri dari sembilan poin, yang di antaranya menyangkut upaya penelitian lebih intens tentang pemikiran masyarakat Sunda masa silam demi meningkatnya kesadaran pada kearifan lokal. Deklarasi ini disebutkan telah mendapatkan dukungan penuh dari Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, Kementerian Pendidikan Nasional, dan duta besar/wakil Republik Indonesia untuk UNESCO. Deklarasi ini disusun oleh satu tim yang mewakili beberapa kelompok pada masyarakat Sunda, yang berkesempatan hadir di dalam kegiatan International Conference on Sundanese Culture. (Ahda Imran)
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 31 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment