Sunday, October 17, 2010

Keselarasan dalam Kebebasan

-- Ilham Khoiri

TUBUH ramping penari perempuan berbaju putih itu melengkung. Pelan-pelan, pinggangnya meliuk ke belakang, lantas memutar ke depan, lalu ke belakang lagi. Liukannya mirip permainan hulahop itu mengalir ritmis bersama gerak kaki dan tangan.

Seiring gerak lambat itu, musik mengalun pelan. Panggung dihiasi semacam lukisan abstrak kotak berwarna putih. Lampu temaram.

Adegan awal pertunjukan tari ”Sporen” oleh kelompok Leine Roebana asal Belanda di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat-Sabtu (16/10) malam, cukup bikin penasaran. Kelompok ini dibidani dua koreografer, yaitu Andrea Liene dan Harijono Roebana—seniman Belanda berdarah campuran Indonesia. Pentas merupakan bagian dari Art Summit 2010 yang digelar di Jakarta, 4-24 Oktober.

Penari perempuan lain yang juga berpakaian putih muncul. Seperti penari pertama, penari kedua ini juga memutar pinggangnya. Penari ketiga, yang muncul belakangan, pun bergerak serupa.

Ketiga penari itu kemudian sama-sama meliukkan pinggang, memutarnya terus, ke depan, ke belakang. Liukan itu lama-lama mengencang, memendarkan energi yang menyeret semua anggota tubuh mereka dalam arus putaran.

Pelan-pelan irama gerak serempak itu memudar. Seiring musik yang mengentak, tubuh masing-masing mereka tiba-tiba seperti bergerak sendiri-sendiri. Masing-masing anggota tubuh mereka—seperti tangan, kaki, kepala, atau dada—seakan bergerak tak terkendali. Polanya kacau, aneh, bahkan terasa saling bertentangan.

Tak lama, gerakan liar itu kemudian berujung pada gerak seirama lagi. Keliaran dan keteraturan itu seperti saling menyusup dengan luwes.

Pola serupa juga hadir pada babak-babak berikutnya. Pada pertengahan pentas, gerak para penari larut dalam irama piano yang dimainkan langsung di atas panggung. Tubuh-tubuh para penari—total ada tujuh penari—itu memperlihatkan energi gerak spontan yang asyik.

Kadang tubuh penari itu doyong, lalu terhuyung ke depan. Lain kali, tangan mereka menjulur sendiri dan memaksa tubuhnya berlari. Kerap juga kaki mereka tiba-tiba terangkat, lantas melontarkan seluruh tubuh dalam lompatan.

Gerakan-gerakan tak terduga itu direspons gerak lain yang mencoba mengimbangi. Ketika tangan kanan menjulur lurus ke samping, contohnya, tiba-tiba tangan kiri menarik balik. Aksi reaksi gerak itu berkelanjutan dan membentuk komposisi asimetris. Rentetan tari menjadi dinamis: mirip belaian romantis, pertarungan keras, atau goyangan yang malas.

Dinamika gerak itu kian kaya dengan iringan musik yang memadukan berbagai aliran. Instrumen petik, piano, dan nyanyian dari komposer-komposer klasik dan masa kini dimainkan silih berganti. Kita bisa menemukan musik seperti Byrd, Pucell, Downland, dan Boulez, atau potongan komposisi dari Padding, Kyriakides, dan Sound Palette.

Pembebasan

Salah satu koreografer kelompok Leine Roebana, Harijono Roebana, menjelaskan, pentas ”Sporen” berusaha membangun komposisi tari yang bebas. Komposisi dibangun dari struktur gerak yang tak berpola simetris, linier, atau paralel. Setiap anggota tubuh diberi keleluasaan untuk bergerak sendiri.

”Tak ada pusat dalam tubuh kita. Setiap anggota tubuh punya ruang untuk unjuk diri sesuai dorongan emosinya,” kata Harijono Roebana seusai pentas, Jumat (15/10) malam.

Apa pentingnya pembebasan itu? ”Agar setiap anggota tubuh kita bisa bergerak sendiri-sendiri. Itu bisa membuka banyak kemungkinan gerak.”

Demi mengeksplorasi berbagai kemungkinan itu, pertunjukan berlangsung tanpa narasi dan penari tak memerankan karakter atau tokoh. Tanpa beban cerita, semua penari leluasa menguji coba gerak.

Semangat ini tentu berbeda dengan lazimnya tari tradisional di Indonesia. Sebagaimana kita kenal, tari tradisional cenderung bertolak dari narasi dan memainkan tokoh tertentu. Komposisi tarian cenderung simetris.

Ambil contoh saja tari topeng Panji dari Indramayu, Jawa Barat. Penari biasa berdiri dengan kuda-kuda, di mana kaki dan kanan sama-sama berposisi menjejak lantai dengan kokoh. Ketika menari, gerakannya cenderung seimbang antara kiri dan kanan.

Pertunjukan ”Sporen” membongkar simetri semacam itu. Kelompok yang pernah mempelajari tari tradisional di Solo, Jawa Tengah, ini berusaha membebaskan tubuh dari pola simetri dan menyuguhkan sesuatu yang lebih cair. Keselarasan tari ternyata bisa dibangun dari kebebasan.

Sumber: Kompas, Minggu, 17 Oktober 2010

No comments: