-- Salomo Simanungkalit
MERAYAKAN 25 tahun kiprahnya dalam musik klasik, soprano Aning Katamsi (41) menggugah keanggunan cinta lewat sepuluh tembang puitik dan empat aria opera. Dalam konser ”Benang Merah Cinta” yang berlangsung pada Rabu, 27 Oktober di Aula Usmar Ismail, Jakarta itu, Aning diiringi pianis berpengalaman internasional Levi Gunardi (34).
Baru tiga kali saya bercakap-cakap langsung dengan Aning Katamsi. Dan itu baru dalam enam bulan terakhir. Sedikit kaget mendengar suara bicaranya sebab ternyata kurang membahana dan amat jauh dari bunyi mikrofonik, jenis suara yang menjadi prasyarat bagi pembaca berita RRI dan TVRI tempo doeloe.
Kaget? Tentu sebab saya kerap mendengar Aning bernyanyi entah langsung entah melalui televisi. Merdu dan musikal! Namun, suaranya yang mencekam dan bikin merinding terdengar saat ia membawakan tembang puitik Indonesia di Bentara Budaya Jakarta, 20 Agustus 2008. Pada peluncuran buku Klasik Indonesia, Komposisi untuk Vokal dan Piano: Binsar Sitompul-FX Soetopo-Mochtar Embut itu, suara putri bungsu soprano Pranawengrum Katamsi ini membawakan ”Segala Puji” karya Mochtar Embut dan ”Elegie” FX Soetopo benar-benar bermuatan konduktivitas tinggi. Daya hantarnya sampai ke hati dan mengisi penuh seluruh pendengaran hingga perhatian hanya kepada nyanyiannya. Seingat saya, jarang-jarang Aning memproduksi sensasi semacam itu.
Oleh perbandingan yang jomplang dengan suara bicaranya, bolehlah diduga bahwa
suara nyanyinya yang bermutu tinggi dalam genre klasik Barat itu menemukan aktualitasnya terutama berkat belajar teknik vokal dan seni menyanyi dengan suntuk. Catharina W Leimena sebagai guru vokal dan kursus singkat dengan beberapa penyanyi, seperti Ruth Drucker, Andrea Ehrenreich, dan Rudof Jansen, tentu amat berperan dalam memompa modal alaminya itu.
Mulai terjun mengikuti jejak sang ibu pada 1985—ketika masih berusia 16 tahun—dengan mengisi acara ”Irama Seriosa” di TVRI Jakarta, juara pertama seriosa Lomba Bintang Radio dan Televisi 1987 ini tak pernah setahun pun lekang dari pentas musik klasik yang diadakan di Jakarta hingga tahun ini.
Dalam 25 tahun terakhir, tak kurang dari 92 resital dan konser yang melibatkan suaranya dengan teknik bernyanyi klasik Barat itu, baik di Jakarta maupun di mancanegara seperti Kanazawa, Jepang dan Praha, Ceko. Pada kesempatan itu ia membawakan tembang puitik (Indonesia, Inggris, Italia, Jerman, dan Perancis), aria opera, nomor-nomor solo oratorium dan missa, musikal, sesekali musik pop juga.
Panjang dan padat
Dengan historiografi yang panjang dan padat itu, Aning boleh dibilang satu dari sedikit penyanyi klasik kita yang tekun dan suntuk selama seperempat hidup—dan mendapat nafkah—dari bermusik. Perjalanan panjang itulah yang hendak ia ringkas dalam ”Benang Merah Cinta”, dalam usia 41 tahun ketika kondisi suaranya masih prima. Usia pada akhirnya akan mendegradasi mutu suara seorang penyanyi.
Konser ini diawali dengan pengantar sang ayah, Amoroso Katamsi. ”Dari kecil ketiga anak saya, termasuk Aning, berada dalam lingkungan yang berkesenian. Mereka menunjukkan keinginan tinggi mempelajari musik secara mendalam dan saat ini ketiganya hidup dari bermusik,” kata pemeran Soeharto dalam film Pengkhianatan G30S/PKI itu membuka konser bagi putrinya. ”Hanya Aning yang mantap memilih seriosa seperti ibunya. Mungkin pengaruh ibunya sangat besar karena saat itu karier ibunya tengah menanjak.”
Kemudian foto-foto kenangan keluarga ditayangkan di dinding panggung. Aning kecil dengan pakaian pramuka. Aning bersama ayah, ibu, dan kedua saudaranya. Aning bersama suami dan kedua anaknya. Yang bikin haru adalah foto Pranawengrum muda sedang menyuapkan nasi kepada Aning yang agaknya masih duduk di bangku sekolah dasar: amat simbolik mewakili keberlanjutan generasi dalam berkesenian. Penyanyi ini tumbuh dalam keluarga baik-baik. Pilihannya akan seni suara klasik, piano klasik, dan Jurusan Fisika Fakultas MIPA UI juga mencerminkan ”baik-baiknya” seorang anak.
Latar belakang ini agaknya yang membentuk Aning menjadi penyanyi yang patuh pada rambu-rambu bernyanyi yang benar sehingga suara yang terdengar lebih inteligen, terdengar bersih bening seperti bunyi instrumen musik yang dibawakan pemain ulung. Bermodalkan suara dari jenis soprano liris, seorang penyanyi yang ingin bersih menyanyi akan menghadapi kesulitan mengisi ruang yang relatif besar atau ruang yang tidak cukup besar, tetapi dengan kondisi akustik yang tidak prima.
Aula Usmar Ismail termasuk dalam jenis ruang pertunjukan yang disebut terakhir. Inilah yang membuat babak kedua pertunjukan ini, yang diisi dengan aria opera semacam ”Ebben! Ne Andro Lontana” dari Opera Le Nozze di Figaro (Alfredo Catalini) dan ”Un Bel Di, Vedremo” dari Opera Madama Butterfly (Giacomo Puccini), kurang pol terdengar. Suara dari jenis soprano dramatik mungkin akan kena membawakan kedua nomor tersebut pada ruang dengan kondisi akustik seperti Aula Usmar Ismail. Ini dibuktikan oleh solis Paduan Suara The Phillipine Madrigal Singers beberapa bulan lalu. Sayang sekali, suara merdu Aning dengan presisi yang tinggi membawakan kedua nomor itu tidak bisa kesampaian dengan baik ke seluruh penonton.
Untunglah pada babak pertama ing menyuguhkan tembang-tembang puitik yang pas dengan sopran lirisnya dan tidak menuntut energi yang berlebih. Efek bunyi puitik khas Jerman berhasil dilantunkannya dengan bagus pada ”Lachen und Weinen” dan ”Gretchen am Spinnrade” (keduanya karya Franz Schubert) dengan lirik berdasar puisi Friedrich Rückert dan Johann Wolfgang van Goethe. Demikian pula ”Vergeblisches Ständchen” (Johannes Brahms) dan ”Widmung” (Robert Schumann) berdasarkan syair Friedrich Rückert itu.
Mengenakan kebaya panjang merah hati, suji, dan jilbab pada babak tembang puitik, Aning yang malam itu rada langsing baru memperlihatkan keunggulannya dalam membawakan tembang puitik Indonesia—yang mungkin tertandingi pada era ini—saat melantunkan dua karya Mochtar Embut: ”Setitik Embun” dan ”Gadis Bernyanyi di Cerah Hari”.
Senantiasa ’kan terkenang jua, jangan merdumu mempesona, nyalakan gairah jiwaku di kala lesu, kukejar cahaya, kukejar cahaya bahagia.
Aning telah mempersembahkan sebagian besar hari-harinya untuk musik klasik, 25 tahun dari 41 tahun usianya saat ini. Pantaslah kalau malam itu ia bersama timnya mempersembahkan yang terbaik. Memilih pianis Levi Gunardi sebagai mitra puitiknya, menyerahkan kembang kepada sang guru, Catharina W Leimena, dan membagi satu per satu penonton setangkai bunga Gerbera jamesonii.
Sumber: Kompas, Minggu, 31 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment