SUATU waktu, pernah ada yang bertanya kepada saya, "Mengapa para pendaki tidak bosan naik gunung, padahal setelah mencapai puncak mereka harus turun lagi? Bukankah hanya kelelahan yang mereka dapatkan?"
Tentu saja, saya tak bisa menjawab pertanyaan seperti itu sejelas-jelasnya. Saya hanya mengatakan bahwa ada rasa puas yang diperoleh para pendaki itu saat mencapai puncak gunung. Sama halnya bila ada yang bertanya kepada penggemar burung, mengapa mau menukarkan mobil mewahnya dengan seekor burung? Tidak logis tetapi memuaskan!
Itu juga yang akan menjadi jawaban Nano Suratno bila ada yang bertanya mengapa dia membuat lagu dari puisi-puisi Ajip Rosidi. Bukankah karya-karya Kang Nano sudah bertumpuk dengan berbagai pernghargaan yang diraihnya? Apa lagi yang dia cari? Kepuasan! Khususnya, kepuasan menjawab tantangan. Seperti dikatakannya dalam buku Tanah Sunda Tina Sajak kana Lagu, Kang Nano mengatakan bahwa membuat lagu dari puisi adalah tantangan. Khususnya, puisi Kang Ajip yang dinilainya "liar" namun sarat makna. Semua puisi tersebut termuat dalam buku "Jante Arkidam" terbitan 1967. Mampukah dia menjawab tantangan untuk membuat lagu dari puisi-puisi Ajip Rosidi?
Penilaian Kang Nano berdasarkan pengalamannya itu memang benar. Mengubah puisi Ajip Rosidi menjadi lagu adalah tantangan besar walaupun dia mengakui sudah sering nyanggi puisi.Bukan hal yang mudah mencipta lagu dari puisi. Apalagi, puisi "liar" yang sarat dengan makna. Penciptaan lagu dari puisi bukan hanya musikalisasi puisi, saat musik hanya menjadi pendukung puisi yang memang sudah "bernyanyi". Penciptaan lagu dari puisi ibarat membuat sangkar bagi burung bulbul. Seandainya sangkarnya tidak pas, sang bulbul tidak bisa bernyanyi lagi.
Penciptaan lagu dari puisi - khususnya puisi milik orang lain - memang membutuhkan kemampuan ekstra. Sang pencipta lagu atau komposer tak hanya dituntut memiliki kemampuan bermusik, tetapi juga mampu menginterpretasi puisi itu dengan tepat. Mereka harus mampu menjiwai puisi itu terlebih dahulu. Lalu, mereka membuatkan notasi dan aransemen yang akan menjadi sangkar bagi puisi itu. Seandainya notasi dan aransemen musik yang dibuatnya tidak sesuai, puisi itu tidak bisa "bernyanyi" lagi. Seperti burung bulbul yang tak mau bernyanyi walaupun telah dibuatkan sangkar emas.
Itulah kesulitan yang pasti dialami Kang Nano saat melagukan puisi-puisi Kang Ajip. Oleh karena itu, tak mengherankan bila dia mengaku sempat terjebak rasa bosan dan sempat meninggalkan garapannya itu. Kang Nano seolah membutuhkan waktu untuk berkontemplasi. Puisi-puisi itu sempat mendekam dan baru bisa diselesaikan dalam waktu hampir lima tahun. Berhasilkan Kang Nano melagukan puisi Kang Ajip? Apakah dia mampu menjiwai sang bulbul sehingga mau tetap bernyanyi walaupun telah diberi sangkar?
Setiap orang tentu memiliki penilaian sendiri-sendiri untuk menyatakan berhasil atau tidaknya Kang Nano mengubah puisi-puisi Kang Ajip menjadi lagu. Yang jelas, saat mendengar denting kecapi dan lengking suling pada awal lagu "Tanah Sunda", pendengar akan terbawa ke suasana yang sakral dan sepi. Pendengar seolah disedot untuk masuk ke dalam cerita sebuah perjalanan yang dilantunkan oleh Ida Widawati dan Heri Suharyanto (penembang). Seolah gerbang kembara "Tanah Sunda" muncul pada awal lagu, diikuti adegan demi adegan yang muncul dalam suasana yang berganti-ganti. Ada semangat, sepi, takut, dan pasrah.
Suasana serupa juga muncul pada lagu kedua "Hirup" Denting kecapi dan lengkingan suling dalam laras madenda yang mengalun dan bisa membuai pendengarnya ke negeri kesunyian. Seolah membangkitkan jiwa puisi seperti yang terulis pada larik-larik; Galudra melesat mipir langit ngapak mega// Beuki luhur beuki sepi// Kumalayang antara bentang jeung bentang//antara bentang jeung bentang.
**
Masih ada tujuh puisi lain yang diberi "sangkar" oleh Kang Nano dengan nuansa suasana berdasarkan jiwa-jiwa puisi. Tujuh lagu lainnya adalah "Pareng Dina Hiji Poe", "Banjar Karang", "Nu Yakin", "Katumbiri", "Doa", "Mangsa Hujan Ngepris", "Waktu". Melalui kerja sama dengan Universitas Padjadjaran, lagu-lagu tersebut pernah digelar dalam Kegiatan Seni dan Budaya Rumawat Padjadjaran di Bale Rumawat Padjadjaran Kampus Universitas Padjadjaran Jln. Dipati Ukur No. 35 Bandung, Minggu, 31 Januari 2010.
Beruntunglah orang-orang yang menyaksikan pergelaran tersebut karena Kang Nano masih hadir bersama Kang Ajip. Dia masih bisa bercerita tentang proses kreatifnya. Dia masih bisa mengajak hadirin untuk ikut nembang. Pendek kata, pergelaran tersebut bisa menjadi kenangan tersendiri bagi mereka yang hadir, karena maestro tembang Sunda itu berpulang pada 29 September 2010.
Sekarang, Kang Nano hanya bisa hadir lewat lagu-lagunya yang terekam dalam berbagai media. Khusus album Tanah Sunda Tina Sajak Kana Lagu, Kang Nano "hadir" lebih dekat kepada penggemarnya. Seperti pada pergelaran di Bale Rumawat Padjadjaran, Kang Nano pun bercerita mengenai proses kreatifnya. Dia bercerita bagaimana penciptaan lagu demi lagu. Bahkan, dia juga bercerita tentang awal pertemuan dengan Ajip Rosidi dan awal pembuatan lagu yang menjemukan. Semua cerita itu dia tulis dalam buku berjudul sama dengan album lagunya yang diterbitkan oleh penerbit "kiblat". Mendengarkan lagu-lagu pada album itu sambil membaca bukunya, seolah kita menyaksikan pergelaran musik ala Kang Nano di ruang imajinasi. (Tendy K. Somantri/"PR")
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 17 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment