Saturday, October 30, 2010

Ekologi Lumpur

-- Beni Setia

ADA sebuah sajak naC/f yang sempurna sebagai sajak karena aspek repetisi yang mutlak dalam dirinya-dan bukan sekedar persanjakan sederhana yang bertumpu pada keberadaan bunyi vokal. Sajak yang diciptakan oleh Shoni Asmoro dan diberi judul "Alamat Lumpur", yang lengkapnya sebagai berikutTTK2 Jalan lumpur, No 1 / RT Lumpur / RW Lumpur / Desa Lumpur / Kecamatan Lumpur / Kabupaten Lumpur // Sebelah rel kereta lumpur / Tepatnya di sekitar pabrik lumpur // Kami pemenang rekor dunia lumpur / Penghasil terbesar lumpur // Kami bangga lumpur.

Aslinya sajak itu dipublikasikan dalam antoloji puisi 19 mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), Syair-syair Fajar (Purwokerto, Mimbar, 2007), tapi penulis menemukannya dalam esei Abdul Aziz Rasjid, "Puisi Mahasiswa: Politik Bahasa dalam Ruang Reproduksi Kesenjangan Sosial" (Littera No 13 Th III Januari-Maret 2010, buletin sastra terbitan TBJT Solo). Yang mengintroduksi sajak itu dengan detil ciri masyarakat perkotaan itu yang punya sipat cermat, efisien namum acap kali destruaktif, dan sadis, di samping suka membangga-banggakan monumen-monumen dan catatan tentang prestasi mereka.

Tapi apakah kolam lumpur Siring, Sidoarjo itu memang monumen dan prestasi yang pantas dibanggakan, hingga pantas melahirkan narsisme seperti yang diungkap Shoni Asmoro dalam sajak "Alamat Lumpur" seperti yang dikutip di atas? Rasanya: tidak. Dan karena tidak, maka klaim puisi yang tidak bersetumpu pada simbol, idiom atau hukum ritma puitik apapun itu malah melahirkan tohokan. Melulu bertumpu di repetisi kata lumpur yang merubah ironi jadi sinisme, yang secara pahit amat mampu meledakkan sarkastis tidak adanya penanganan bencana yang benar.

Bahkan bukan sekedar penangan yang benar, malah identitas bencana itu sendiri tak pernah jelas. Apakah bersipat alami karena kerak bumi Sidoarjo retak oleh rambat daya Gempa Yogyakarta,yang rehabilitasi musibahnya hampir tuntas tapi tak pernah tuntas di Sidoarjo di titik dampak paling jauh. Ataukah itu akibat kesalahan prosedur pengeboran yang terlambat memberi lapis pelindung liang sehingga tekanan gas yang biasanya liar jadi ledakan itu,biasa terjadi ketika prosesi pengeboran-bebas mencari celah dan menggerus lapisan lunak, lalu menggila jadi semburan lumpur.

Karena itu tidak pernah jelas, bahkan prosesi penyidikan pemidanaan bagi para perancang, konsultan dan pelaksana pengeboran tidak pernah tuntas di tangan polisi, maka siapa yang bertanggungjawab akan bencana itu tak pernah jelas. Apa kesalahan pengeboran hingga PT Lapindo itu yang harus mengambil alih tanggung jawab. Yang akan dengan gampang dipailitkan secara hukum, karena itu seluruh biaya penanganan pengunsi itu telah lebih besar dari modal disetor. Dan meski belum mempailitkan diri secara hukum, si pemilik saham mayoritas sudah berinisiatif menerapkan konsep CSR dari grup induk dan individu pemilik perusahaan. Ihwal yang membuat mereka selalu beranggapan telah cukup membantu.

Karena itu para korban yang kini mengungsi itu tidak perlu menambah kesulitan dengan tuntutan lain. Sikap si orang kaya yang memberi dan tak kehilangan apa-apa pada para korban yang telah kehilangan semua hartanya, materiil dan imateriil.

Suatu sikap altruisme yang di letakkan di altar dan karenanya mengharapkan pujian, dan itu sekaligus menjauhkan dari keinginan buat bertanggung jawab memulihkan kerugian materi dan imatreriil para korban yang kehilangan segalanya. Kontras yang membuat musibah Sidoarjo tanpa kejelasan, dan bahkan secara politis diam-diam didorong agar disimpulkan sebagai sebuah bencana alam,karenanya negara yang bertanggungjawab merehabilitasi semuanyua.

Percaturan politik yang membuat segalanya ada dalam situasi dead lock, ada di kondisi ngambang, bahkan mungkin kartu truf untuk saling jegal serta saling sokong secara politis. Dan karena semua hal diapungkan di tataran politis maka hukum jadi yang diamputasi, yang diistirahatkan dalam lemari es, dan semua korban yang jadi si pengungsi pun hanya menunggu ada pemilu dan pilpres.

Di luar itu: semua orang kini bangga jadi masyarakat perkotaan yang, mengutip Lewis Mumfort, bersipat cermat, efisien namun acap kali destruktif, sadis, dan cenderung membangga-banggakan monumen dan prestasi. Memang!

Tapi apakah bendung lumpur Sidoarjo itu monumen dan prestasi mengendalikan mud volcano, atau justru bukti kecerobohan teknologi pengeboran dan mismanajemen bencana sehingga kali Porong mendangkal penuh lumpur dan pantai selat Madura pun akan tertimbun jadi tanah oloran baru. Bukti upaya membangun satu ekologi lumpur artifisial yang jempolan, tampaknya.***

* Beni Setia, pengarang

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 30 Oktober 2010

No comments: