[Buku] Penafsiran Demokrasi dalam Konstitusi
-- Rizka Ramadhani
MASALAH amandemen ataupun penyimpangan terhadap pelaksanaan konstitusi sering diributkan beberapa tahun terakhir. Banyak kontroversi terhadap kasus-kasus besar yang sulit ditangani meskipun dikembalikan lagi pada makna UUD 1945.
Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008, tanggal 18 Agustus ditetapkan sebagai Hari Konstitusi. Walau penetapannya terlambat, Hari Konstitusi menjadi penting dalam membangun kesadaran konstitusi dan demokrasi. Ini menyadarkan betapa konstitusi penting dalam sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama sejak UUD 1945 ditetapkan secara resmi pada 18 Agustus 1945.
Tafsir Konstitusi: Pergulatan Mewujudkan Demokrasi di Indonesia ini sepertinya diterbitkan untuk ikut mengingatkan masyarakat agar sadar konstitusi dan cermat menilai proses demokratisasi yang masih banyak kendala. Buku ini diangkat dari disertasi penulis, Aidul Fitriciada Azhari, di Universitas Indonesia yang dipromotori oleh Jimly Asshiddiqie dan ko-promotor Mahfud MD. Artinya, tema yang dikerjakan oleh Azhari tersebut penting sebab bertepatan dengan keinginan masyarakat untuk mewujudkan negara Indonesia yang demokratis berdasarkan konstitusi.
Buku setebal 516 halaman ini membahas masalah-masalah penting, antara lain demokrasi, otokrasi, penafsiran makna demokrasi dalam UUD 1945, perspektif dan pola penafsiran UUD 1945, serta implikasi penafsiran UUD 1945 terhadap pembentukan sistem demokrasi atau otokrasi. Banyak penjelasan yang memberi kesadaran bahwa pelaksanaan UUD 1945 sejak Orde Lama ternyata belum sepenuhnya dapat menciptakan demokrasi, supremasi hukum dan penegakan HAM. Apalagi untuk menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran. Karena itulah, buku ini bisa bermakna saat Mahkahmah Konstitusi dengan gencar melakukan sosialisasi sadar konstitusi dan telah berhasil dalam menangani banyak masalah terkait dengan konstitusi.
Perbedaan penafsiran
Azhari menyebutkan, demokrasi merupakan tema sentral dalam UUD 1945, tetapi dalam penerapannya oleh Orde Lama dan Orde Baru muncul perbedaan penafsiran dan aplikasi. Makna demokrasi yang berbeda-beda itu didasarkan pada legitimasi konstitusional atas sistem ketatanegaraan yang dibangunnya. Maka, dikenal pelaksanaan demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, dan demokrasi Pancasila yang semuanya merupakan cerminan penguasa dalam menafsirkan UUD 1945.
Untuk merunut sejarah penafsiran UUD 1945 dan pelaksanaan sistem demokrasi di Indonesia, Azhari memakai pendekatan dekonstruksi (Jaques Derrida) dan hermeneutik (Hans-Georg Gadamer). Metode penafsiran mutakhir tersebut dimaksudkan untuk dapat membongkar sistem penafsiran pada masa lalu. Jadi, masing-masing periode akan ditemukan bangunan tafsir dan cara memaknai demokrasi yang memiliki persamaan dan perbedaan.
Studi Azhari ini memberi kemungkinan masyarakat untuk tidak merasa takut atau terlalu mengultuskan UUD 1945 sebab konstitusi itu yang membuat adalah manusia. Sejarah politik telah dengan represif melindungi UUD 1945 dari berbagai usulan perubahan. Bahkan, untuk mengultuskannya, penguasa memunculkan tuduhan subversi, inkonstitusional. Inilah yang ingin disadari dengan keterbukaan untuk mengritisi UUD 1945 demi penegakan demokrasi.
Selanjutnya, Azhari menjelaskan makna demokrasi yang tercantum dalam teks Proklamasi dan UUD 1945. Intinya sama, yaitu negara Indonesia menganut asas-asas yang menjamin berlakunya sistem demokrasi partisipatoris, berorientasi pada terpenuhinya hak dan kebebasan warga negara secara positif, baik kebebasan politik maupun sosial dan ekonomi.
Dalam pelaksanannya, demokrasi ditentukan oleh penguasa yang menafsirkan UUD 1945 menurut pandangan politiknya meskipun dalam beberapa hal sebenarnya menyimpang dari makna demokrasi yang termuat dalam konstitusi tersebut. Usaha menjunjung tinggi UUD 1945 oleh Soekarno dan Soeharto pada kenyataannya sering menimbulkan perdebatan politik, hukum, dan ekonomi. Banyak pihak menganggap demokrasi yang dijalankan adalah demokrasi pincang sebab memanfaatkan UUD 1945 secara politis saja dan tidak membuktikan secara konsekuen.
Cara penafsiran Azhari inilah yang membuat Fransisco Budi Hardiman, pengajar filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, memberi pujian meski dalam beberapa hal diakui ada titik-titik kelemahan yang harus dibenahi. Hardiman mengungkapkan, buku ini merupakan salah satu bukti bahwa penulis membuat tilikan kritis yang dikobarkan lewat teori-teori interpretasi terkini, yang dicakup dalam istilah postmodernisme (halaman 7). Pendirian penulis jelas, yaitu melawan kepentingan kekuasaan otoriter yang bercokol di balik kedok penjagaan kemurnian tafsir UUD 1945 yang telah lama ditafsirkan oleh Orde Baru.
Jadi, arti buku ini memang penting dalam membangun kesadaran kritis untuk membentuk masyarakat sadar konstitusi. Studi yang dilakukan Azhari tepat diapresiasi pada masa usaha-usaha mewujudkan demokrasi, supremasi hukum, dan penegakan HAM yang sedang digalakkan oleh pemerintah dan banyak pihak. Apalagi, untuk membuktikan kinerja DPR dalam legislasi ataupun Mahkahmah Konstitusi yang bekerja demi penegakan konstitusi.
Rekomendasi dari Azhari sepantasnya direnungkan oleh para pemangku kepentingan dan masyarakat, ”Secara teoretis penafsiran konstitusi atas UUD 1945 masih belum berkembang, padahal secara kelembagaan telah terbentuk Mahkamah Konstitusi, yang di antaranya memiliki wewenang melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945.” (halaman 490). Semoga segala usaha untuk membentuk masyarakat sadar konstitusi dapat terlaksana. Akhirnya, buku ini dapat dijadikan sebagai usaha yang ilmiah untuk sumbangan agenda mewujudkan demokrasi di Indonesia yang berdasarkan konstitusi.
Rizka Ramadhani, Bergiat di Forum Nalar Kita
Sumber: Kompas, Minggu, 31 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment