-- C Wahyu Haryo PS
DINAMIKA pergulatan gagasan maupun sikap politik Ignatius Joseph Kasimo (1900-1986) dan para tokoh pergerakan pada awal kemerdekaan sangat luar biasa. Mereka bisa bersitegang serius dalam forum-forum persidangan negara, tetapi di luar itu mereka demikian akrab dan meletakkan rajutan persahabatan di atas segalanya.
Farid Prawiranegara, salah satu anak Syafruddin Prawiranegara, larut dalam perasaan haru saat mengenang persahabatan para tokoh pergerakan itu dengan mendiang ayahnya, Syafruddin Prawiranegara (1911- 1989).
Haru mengingat saat keluarganya mengalami masa-masa sulit karena ayahnya menjalani tahanan negara akibat dianggap ”memberontak”, para tokoh itu tetap mengulurkan bantuan.
”Ayah saya tokoh PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia), jadi cari sekolah susah. Tamat SMP saya mencari sekolah ke sana kemari, tetapi tidak ada yang mau menerima karena saya anaknya Syafruddin,” tutur Farid.
Masih lekat di ingatan bangsa, sosok Syafruddin Prawiranegara sebagai tokoh pergerakan yang bisa jadi kontroversial, tetapi pejuang kemerdekaan itu berjasa membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera Barat ketika Presiden RI Soekarno tertangkap dalam Agresi Militer Belanda II, 19 Desember 1948. Pada 13 Juli 1949, Syafruddin menyerahkan kembali mandatnya setelah Presiden Soekarno dibebaskan.
Pendulum berbalik ketika tahun 1958 ia bersama sejumlah tokoh dianggap memberontak dan dipenjara karena membentuk PRRI.
”Ibu saya menemui ayah yang ditahan di RTM (Rumah Tahanan Militer) Jakarta, memberitahukan kalau saya tidak dapat sekolah. Ayah lantas menulis surat dan meminta Ibu menyerahkan surat itu kepada Om Kasimo,” lanjut Farid.
Begitu menerima surat itu, Kasimo yang teman pergerakan Syafruddin langsung merespons dengan mengirim surat ke jaringannya di sekolah-sekolah Katolik. Sebagai tokoh dan pendiri Partai Katolik, hal itu tentu sangat mudah bagi Kasimo.
”Bagi saya, itu luar biasa. Saya yang dari sekolah kampung tiba- tiba sekolah di tempat yang mewah di Pangudi Luhur. Oom Kasimo yang membawa saya menyadarkan saya tentang arti teman yang sejati,” kata Farid, seorang akuntan dan saat ini Direktur Utama PT Indoconsult.
Ia juga mengisahkan bagaimana tokoh pergerakan lainnya, yakni Soebandrio dan Leimena yang saat itu menjadi wakil perdana menteri, membantu keluarganya. Saat ayahnya ditahan dan seluruh harta keluarganya disita negara, anak-anak Syafruddin hidup tercera-berai dititipkan kepada kerabat-kerabatnya.
Halimah Prawiranegara, istri Syafruddin, bahkan terpaksa hidup menumpang di garasi rumah Ketua Fraksi Masyumi di Konstituante Zainal Abidin Ahmad. Bahkan, mereka terpaksa ”terusir” dari tempat itu karena istri Zainal khawatir dengan ancaman bahwa rumahnya akan ikut disita akibat menampung keluarga Syafruddin.
Di tengah kegalauan itu, Soebandrio dan Leimena yang menjadi rekan sepergerakan Syafruddin mengupayakan agar rumah keluarga Syafruddin yang disita negara bisa dikembalikan. Mereka pula yang tiap bulan memberikan bantuan bahan-bahan pokok kepada keluarga Syafruddin.
Presiden Soekarno pun peduli terhadap keluarga Syafruddin. Pengusaha terkenal Dasaad, yang saat itu mendapatkan keagenan untuk pengadaan mobil negara, diminta Soekarno memberikan mobil kepada keluarga Syafruddin. Tidak hanya satu, tetapi dua mobil. ”Apa pun yang terjadi, tidak pernah kita bisa merasa saling bermusuhan karena pada saat-saat kritis mereka datang menolong. Nilai persahabatan itu jauh lebih berarti dari segalanya,” kata Farid.
Politik permusuhan
Zaman berubah, perilaku tokoh politik pun mengalami perubahan. Sayang perubahannya justru cenderung menjauh dari nilai-nilai keluhuran bangsa. Praksis politik tokoh pergerakan masa lalu yang demikian bermartabat serta penuh pengorbanan dan pengabdian nyaris tidak meninggalkan jejak di praksis politik sekarang.
Sebut contoh, dalam setiap pergantian tampuk pimpinan negara pascareformasi, selalu diwarnai intrik-intrik politik kepentingan kelompok. Di era kekinian ada hiruk-pikuk politik atas kasus Bank Century, misalnya, yang berujung pada tawar-menawar posisi politik, juga kasus-kasus hukum yang tidak kunjung selesai, berikut usaha pemberantasan korupsi yang tersendat- sendat.
Tampaknya ada pergulatan hebat dalam praksis politik, sebaliknya semangat kebangsaan, persahabatan, dan keutamaan bagi rakyat tidak tampak di sana. ”Sekarang ini yang ada politik permusuhan, konflik, dan fitnah,” kata Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat.
Oleh karena itu, menurut Komaruddin, yang diperlukan saat ini adalah menemukan kembali ”Indonesia” yang hilang. Indonesia dengan sederet tokoh pergerakan yang visioner dan menjalin hubungan antartokoh yang demikian erat.
Indonesia yang bisa menjadi rumah narasi bagi bangsa yang demikian majemuk. Berikan kepada anak didik dan generasi muda pendidikan kewargaan, kenalkan mereka pada keluhuran para tokoh pergerakan, para bapak bangsa Indonesia.
Menurut Adnan Buyung Nasution, Kasimo dan tokoh pergerakan saat itu sangat mengedepankan diplomasi. Mereka ramah, mudah bergaul, berani berdebat dengan siapa pun, dan memiliki persahabatan yang kuat sekali. ”Suasana etika moral bermartabat di antara tokoh bangsa waktu itu begitu terasa. Di sidang berdebat hebat, tapi di luar itu mereka bersahabat,” kata Buyung.
Ketua MPR Taufiq Kiemas yang memberikan sambutan mengakui, sekarang sulit menemukan tokoh yang menjalankan politik secara bermartabat.
”Sekarang banyak yang bicara pluralisme, tapi dalam melaksanakannya sulit sekali. Berbeda dengan Kasimo yang tidak hanya bicara pluralisme, tapi juga melebur dalam kebangsaannya. Kita harus belajar dari tokoh pendiri bangsa,” lanjut Taufiq.
Kalimat terakhir Taufiq sungguh menjadi kunci untuk mengubah praksis politik saat ini yang makin jauh dari bobot bermartabat. Para tokoh pergerakan itu merupakan guru-guru keluhuran bangsa. Selayaknya jika generasi penerus bangsa ini belajar dari mereka.
Sumber: Kompas, Selasa, 19 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment