-- J Sumardianta
• Judul Buku: Pencitraan Adat Menyikapi Globalisasi
• Penyunting: Argo Twikromo, dkk.
• Penerbit: PSAP-UGM dan The Ford Foundation
• Cetakan: I, Mei 2010
• Tebal: xvi + 217 halaman
• ISBN: 978-979-96557-4-5
KARAKTERISTIK budaya lokal di Indonesia dengan kekhasan adatnya nan eksotis serta partikularisme nan indah permai merupakan lahan subur kajian lintas budaya. Pemahaman mendalam akan visi budaya lokal diapresiasi para peneliti melalui pendekatan interpretatif simbolik.
Peneliti bidang sosio-humaniora berlatih membiasakan diri menghadapi tantangan budaya lain. Peneliti tidak lagi terkungkung dalam sangkar eksklusivisme kedaerahan. Mereka pun mampu merefleksikan identitas diri secara inklusif, dinamis, transformatif, dan dialektis.
Buku ini merupakan bunga rampai esai kajian lintas budaya (KLB) Program Kajian Antarbudaya dan Regional yang diselenggarakan Pusat Studi Asia Pasifik (PSAP)-UGM bekerja sama dengan The Ford Foundation. Para peneliti melakukan partisipasi observasi selama tiga bulan di luar lingkungan budaya dan daerah asal peneliti. Mereka merefleksikan kehidupan masyarakat setempat sekaligus mengontemplasikan kebudayaan yang dikunjungi.
Partisipasi observasi
Antologi ini merupakan gebrakan baru partisipasi observasi. KLB memiliki spirit menggeser eksklusivisme dan menggantinya dengan inklusivisme identitas akademik. Ahli administrasi kebijakan dari Jawa mengkaji kepemimpinan adat (chiefdom) di Sentani, Papua. Santri Jawa mendalami pergeseran makna pesta adat menjadi adat pesta di Sikka-Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Muslim dari Palembang, ahli perbandingan agama, mempelajari komodifikasi adat, ritual agama, dan kesenian dalam industri turisme Bali.
Bahruddin mengkaji krisis Ondofolo (pemimpin adat) dalam menjalankan Holenarei (kesejahteraan sosial) akibat monoteisasi dan monetasi. Sistem Ondofolo merupakan muara dari pandangan kosmologis masyarakat Sentani, Papua. Ondofolo dianggap utusan dewa yang diberi tanggung jawab memelihara dan melindungi warga Yo (kampung). Ondofolo adalah rujukan keselamatan dan kesejahteraan masyarakat.
Sistem kepercayaan monoteis yang diperkenalkan pendeta-pendeta Protestan mengubah paradigma masyarakat yang semula berporos Ondofolo. Sumber keselamatan bukan lagi Ondofolo, melainkan Tuhan. Kedatangan pedagang Bugis, Buton, dan Makassar juga mengubah tata nilai sosial. Mas kawin seperti ebha (gelang batu), hembony (manik-manik), dan mefoli (batu) tidak memiliki nilai tukar ekonomis. Nilai simbolik digantikan uang. Logika Holenarei diganti cost and benefit circulation. Monotesasi menyebabkan runtuhnya sistem Holinarei yang diemban Ondofolo. Logika untung rugi memudarkan jaminan sosial yang dibangun melalui sistem kekerabatan. Krisis jaminan sosial dipicu monetasi dalam pembayaran mas kawin.
Pesta merupakan representasi identitas sosial. Pesta merupakan strategi melawan citra kemiskinan yang diberikan orang luar atas masyarakat Sikka-Flores, NTT. Inilah temuan Ubed Abdillah, santri Jawa, saat mengkaji tradisi berpesta di tengah masyarakat mayoritas Kristiani. Pesta menjadi penanda bagi status sosial dan gengsi masyarakat. Pesta adat telah bergeser menjadi adat pesta. Masyarakat Sikka lebih suka menghamburkan uang untuk berpesta ketimbang menginvestasikannya buat pendidikan anak-anak.
Adat, kesenian, dan agama di Bali nilainya tidak bisa diganggu gugat lagi saat menjadi pelayan setia industri pariwisata. Demikian temuan Yulianingsih Riswan. Yulianingsih tidak melulu mengamati negosiasi agama Hindu dengan pariwisata Bali. Ia membandingkannya dengan komodifikasi Maulid Nabi (Sekatenan) di Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta. Pun tradisi Ya Qowwiyu (Apeman) di Jatinom, Klaten, Jawa Tengah. ”Culture is for sale and its mean big business”. Amboi, kebudayaan itu memang komoditas dagang. Potensi bisnisnya sungguh aduhai.
KLB kontemplatif
Ilmu-ilmu sosio-humaniora yang berwatak reflektif dan punya daya menjelaskan menemukan wujud nyata di sekujur bunga rampai KLB ini. Bukan sekadar mengungkap akar persoalan budaya lokal pada masing-masing wilayah observasi. Peneliti pun menemukan contemplatio ad amorem—permenungan yang sampai menyentuh perasaan syukur dan cinta.
Suatu sore, Gunawan disodori sebilah pisau dan seekor ayam oleh induk semangnya. Tuan rumah tahu Gunawan tak bisa makan malam dengan lauk daging babi. Dia diminta menyembelih ayam sendiri karena induk semang menghormatinya sebagai seorang Muslim. Refleksi Gunawan, ”Masyarakat Sumba belajar tentang kejawaan dan keislaman pada diri saya dalam ruang dialektik terbuka dari sekat-sekat perbedaan.”
Tiada bunga mawar yang batangnya tidak berduri. Mayoritas peneliti yang diterjunkan di pelbagai penjuru Nusantara berlatar etnis Jawa. Aroma homogenitas Jawa terasa lebih menyengat ketimbang aura pluralisasi. Ada sedikit bercak noda dalam semangat e pluribus unum—menyantuni persatuan di tengah keragaman.
Pula, tidak semua esai dalam antologi ini menggunakan gagrak (genre) kontemplatif yang melibatkan perasaan dan empati. Esai Bahruddin tentang monoteisasi dan monetasi di Sentani, Papua, misalnya, terasa ilmiah dan kering. Esai Chatarina Pancer Iistiyani perihal etnografi komunikasi Boboretn Dayak Panu di Kalimantan Barat terkesan berat dibebani idiom-idiom linguistik. Esai Pudji Pratitis Wismantara tentang permukiman taneyan lanjhang di Madura tidak semenggigit kajian serupa yang pernah dikerjakan antropolog A Latief Wiyata.
Kendati demikian, jalur tenggang rasa telah ditempuh mayoritas para peneliti dengan mengambil rute KLB kontemplatif. Kontemplatif, menurut PM Laksono, Direktur PSAP-UGM, berarti tahu diri. KLB memang program belajar toleransi untuk tahu diri. Peneliti bergulat dengan fakta keras: aksentuasi budaya dan artikulasi keyakinan yang beragam itu buah kesadaran bukan indoktrinasi.
J Sumardianta, Guru Sosiologi SMA Kolese de Britto, Yogyakarta
Sumber: Kompas, Sabtu, 30 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment