Sunday, October 31, 2010

Jalan Panjang Menuju Propaganda!

-- Putu Fajar Arcana

PADA produksi ke-120, Teater Koma tampil beda. N Riantiarno, sebagai sutradara, menggiring pementasannya ke jalan realisme sebagaimana kita lihat dalam drama-drama televisi. Jauh sekali dari pentas-pentas panggung sebelumnya yang memadukan antara dongeng dan sindiran terhadap realitas.

Negeri yang dikisahkan dalam lakon Rumah Pasir, 29 Oktober– 7 November 2010 di Teater Salihara, Jakarta, adalah negeri sehari-hari. Oleh sebab itu, Riantiarno menata kostum para pemain serta membangun setting pentasnya sebagaimana kenyataannya. ”Saya tidak menolak kalau ini dibilang sinetron,” ujar Riantiarno sengit ketika ditanya tentang pentasnya yang berbeda kali ini.

Pernyataan Riantiarno bukan tanpa alasan. Lakon-lakon mengenai HIV/AIDS, dengan tujuan propaganda, pada awalnya memang digarap sutradara ini untuk drama televisi. Tahun 1994, misalnya, kelompok ini pernah membuat tiga episode cerita tentang HIV/AIDS di TVRI berjudul ”Onah dan Impiannya”. Proyek serupa dilanjutkan pada tahun yang sama dengan judul ”Suryakanta Kala”.

Bahkan, tahun 1999 bersama sutradara Riri Riza, Hani Saputra, dan Nan T Achnas, Riantiarno membuat lakon ”Kupu-Kupu Ungu” dengan 13 tayangan di stasiun RCTI. Oleh sebab itu, jika Koma kemudian memproduksi Rumah Pasir, bukanlah sebuah kisah yang tiba-tiba. Hal yang baru, Riantiarno secara berani ”memindahkan” yang ia kerjakan di televisi ke atas panggung. ”Plotnya pun filmis sekali, kan?” ujar Riantiarno meyakinkan.


Kisah biasa

Rumah Pasir adalah kisah biasa dalam cerita-cerita seri HIV/AIDS. Seorang lelaki ganteng dan kaya bernama Galileo suka bertualang di dunia seks. Ia berganti-ganti pasangan sekehendak hati sampai akhirnya suatu hari jatuh sakit. Dan, kemudian terbukti ia mengidap AIDS. Tak seorang pun pacar-pacarnya yang berani mendekat, kecuali Wieske Gerung, sekretaris eksekutifnya yang benar-benar mencintai Leo. Pada saat-saat terakhir Leo ditemani oleh Bambang Nirwanto, seorang wartawan pemerhati HIV/AIDS dan Dokter Tatyana Ridanda, yang juga aktivis HIV/AIDS.

Kisah pun mudah ditebak. Leo meninggal lalu Wieske hamil dan tertular HIV/AIDS. Hebatnya anak mereka, yang kemudian diberi nama Galilei, selamat dari amukan penyakit mematikan itu.

Sebagai drama ”penyuluhan”, Riantiarno tidak menolak disebut begitu, pentas ini memang dipenuhi dengan propaganda seputar apa itu HIV/AIDS dan bagaimana cara menghidarinya. Tokoh dokter Tatyana yang dimainkan Cornelia Agatha menjadi figur dominan dalam ”ceramah” Riantiarno mengenai bahaya dan cara mencegah serta penanggulangan HIV/AIDS.

Padat pesan

Tidak ada yang patut dirisaukan dengan arah yang sedang dirunut Teater Koma. Teater sekali waktu memang mestinya tidak bermain di wilayah awang-awang, di mana seni dieksplorasi demi tujuan seni itu sendiri. Sekali waktu teater perlu turun ke wilayah sehari-hari dan membicarakan problem sehari-hari masyarakat modern.

Masalahnya kemudian bagaimana mengemas kampanye tentang HIV/AIDS itu ke dalam satu jalinan cerita yang sublim tanpa terkesan sebagai ceramah karena ini pentas teater. Dialog-dialog panjang yang dilontarkan dokter Tatyana adalah inti dari propaganda lakon ini. Riantiarno menuliskannya begitu saja sebagai ceramah yang berkepanjangan sehingga terkadang membosankan. Karena dialog-dialog itu tidak dijalin ke dalam peristiwa. Ia dilontarkan begitu saja, sebagaimana seorang dokter atau aktivis menceramahi pasiennya. Padahal, soal seputar HIV/AIDS saat ini bisa dengan mudah diakses melalui berbagai media.

Penonton teater tentu saja hadir dengan berbagai motivasi. Apalagi penonton Teater Koma yang berasal dari berbagai kalangan profesi. Namun, yang paling inti dari peristiwa menonton teater adalah menikmati sensasi keindahan, syukur-syukur dalam sensasi itu terdapat pesan sehingga ketika pulang mereka tidak hanya mengingat sensasi, tetapi juga pesannya.

Rumah Pasir sesungguhnya dihasratkan sebagai lakon simbolik, di mana apa yang sudah kita bangun dengan susah payah bisa rata lagi diempas ombak. Dan, semuanya menjadi sia-sia. Sayang, peristiwa simbolik itu sama sekali tidak muncul dalam pentas ini lantaran, sekali lagi, Riantiarno terlalu sibuk dengan pesan-pesan yang ingin dia ungkapkan kepada penontonnya. Itu sebabnya pentas ini jatuh menjadi sekadar rumah pasir, yang sekali dikatakan, sudah itu dilupakan….

Sumber: Kompas, Minggu, 31 Oktober 2010

No comments: