Sunday, October 17, 2010

Indonesia-Timor Leste: Ajaran Sejarah dan Pelanggaran HAM

SUATU malam, di Perpustakaan Nasional, Jakarta, seorang bocah sekolah dasar mengungkapkan kebingungannya. Ia selama ini mendapatkan pengajaran sejarah yang menyatakan, Timor Timur dahulu adalah bagian dari Indonesia. Namun, ia mendapat informasi lain, apa yang terjadi di Timtim tak seperti itu. Timtim dahulu adalah daerah yang bukan bagian dari Indonesia. Rezim Orde Baru lewat aparat militernya lantas datang ke Timtim pada 1974 dan melakukan apa yang disebut sebagai pendudukan.

”Saya jadi bingung,” ungkap Jetro, nama anak itu, pekan lalu, dalam diskusi buku berjudul Chega! di Jakarta.

Chega! adalah laporan lengkap Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi Timor Leste (CAVR). Buku yang terdiri dari lima jilid ini diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia. Lewat ribuan wawancara, pemeriksaan ribuan lembar dokumen, dan proses penyusunan selama bertahun-tahun, Chega! memuat fakta pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Timtim pada 1974-1999. Berbagai kekerasan yang melampaui batas nalar manusia terekam dengan baik dalam buku itu.

Kebingungan anak itu adalah contoh kecil dari tantangan yang dihadapi Indonesia dalam penulisan sejarah. Apalagi, pada zaman teknologi informasi seperti kini, siapa pun, termasuk anak SD, dapat dengan mudah mendapatkan informasi seputar sejarah Indonesia. Dokumen sejarah yang dahulu dengan mudah ditutup-tutupi penguasa, kini berserakan di dunia maya.

Cukup ketikkan kata kunci Timor Timur di mesin pencari Google, segudang data, analisis, atau cerita seputar fragmen kelam dalam sejarah Indonesia bermunculan. Siswa lantas cukup mengklik salah satu alamat situs hasil pencarian mesin Google. Seketika itu pula, informasi alternatif plus foto tersaji dengan lengkap.

Sejarawan Hilmar Farid mengatakan, tantangan semacam itu kini menghadang di depan mata guru sejarah. Ketidaksesuaian sumber pengajaran sejarah resmi dengan sumber lain, entah itu sumber di internet atau dari buku, membuat pekerjaan guru sejarah sekarang menjadi tidak mudah.

Berkaitan dengan sejarah Indonesia dan Timor Leste, anggota Komisi III DPR Benny K Harman berpandangan, perlu ada perubahan terhadap penulisan sejarah mengenai Timtim. ”Pemerintah perlu keberanian untuk mengubah sejarah. Harus dibuat rekomendasi untuk mengubah penulisan sejarah Timtim,” ujarnya saat berbicara dalam diskusi buku Chega!

Persoalan sebenarnya tak hanya terjadi dalam penulisan sejarah Indonesia dan Timtim, tetapi juga dalam peristiwa lain di negeri ini. Sejumlah peristiwa tidak diungkap dalam bahan pengajaran sejarah kita.

Kesalahan yang dilakukan pada masa lalu itu pun tak tersampaikan pada generasi muda. Situasi ini sedikit banyak membuat generasi sekarang tidak belajar terhadap kesalahan masa lalu bangsa. Bukan tidak mungkin, hal ini membuat kesalahan serupa, kekerasan yang masif dan sikap tidak toleran, terulang di masa kini dan masa depan.

Padahal, dengan menyampaikan sejarah Timtim seperti apa adanya, generasi sekarang akan belajar bahwa Pemerintah Indonesia pada masa silam melakukan kesalahan. Ribuan orang tewas dan menderita akibat kesalahan itu. Semangat untuk tidak mengulangi kesalahan serupa tentu akan muncul dalam kesadaran generasi kini.

Farid mengakui, pelajaran sejarah justru membuat orang Indonesia menjadi kerdil, menjadi pemarah. Sejarah yang disampaikan gagal menjadi bahan rujukan bagi generasi sekarang dalam menyelesaikan problem kebangsaan. Tak mengherankan kini muncullah rujukan baru yang bersumber pada hal-hal primordial, seperti etnis dan agama.

Dalam kasus yang berkaitan dengan Timtim, menurut Farid, apa yang kerap mengemuka adalah respons dari elite, pejabat, dan orang biasa. Mereka menyatakan, meminta pertanggungjawaban terhadap pelanggar HAM adalah bentuk intervensi terhadap kedaulatan bangsa, merupakan permainan kekuatan asing. ”Jadi, tanggung jawab per orangan ingin dialihkan menjadi masalah harga diri bangsa,” ujarnya.

Reaksi semacam itu, kata Farid, mencerminkan sikap picik terhadap sejarah, serta sikap memelihara jiwa kerdil lewat patriotisme kosong. Padahal, nasionalisme Indonesia sesungguhnya adalah nasionalisme yang berkeadilan. ”Bangsa Indonesia adalah komunitas politik yang berkomitmen menghapus penjajahan dari muka bumi,” ujarnya. (A Tomy Trinugroho)

Sumber: Kompas, Minggu, 17 Oktober 2010

1 comment:

The Geeks said...

saya mahasiswa dari Jurusan Hukum
Artikel yang sangat menarik, bisa buat referensi ni ..
terimakasih ya infonya :)