Friday, October 22, 2010

[Sosok] Machiko: Berdiplomasi Lewat Udara

-- Luki Aulia

”APAKAH Indonesia itu India?” ”Bali itu bagian dari Indonesia?” Pertanyaan-pertanyaan seperti itu kerap diterima Machiko Kusnaeni (80) tiap kali dia bercerita tentang Indonesia di Jepang. Padahal, hubungan Indonesia dengan Jepang bukanlah hal yang baru, melainkan sudah merupakan sejarah panjang dengan segala pahit manisnya.

Machiko (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)

Pertanyaan yang sama juga muncul di Indonesia ketika ia bersemangat menceritakan Jepang dan masyarakatnya lengkap dengan segala macam budaya dan tradisi yang ada. Namun, tanggapan yang dia terima membuatnya geregetan.

Machiko tidak habis pikir. Bagaimana bisa kedua negara yang kini sama-sama menjadi tanah airnya itu tidak saling kenal? Apalagi keduanya pernah berbagi pengalaman sejarah kelam pada masa lalu.

Pengalaman pada tahun 1970-an itu diceritakan Machiko, pekan lalu, di kantor Kedutaan Besar Jepang di Jakarta seusai menerima bintang jasa The Order of the Rising Sun (Kyuokujitsu sho) Silver Rays dari Pemerintah Jepang melalui Duta Besar Jepang untuk Indonesia Kojiro Shiojiri.

Penghargaan diberikan karena Machiko dinilai berjasa membangun saling pengertian antara Indonesia dan Jepang melalui siaran program bahasa Jepang di stasiun Radio Republik Indonesia (RRI) selama 30 tahun. Keinginan Machiko sederhana, memperkenalkan kebudayaan Jepang kepada masyarakat Indonesia dan begitu pula sebaliknya, karena tak kenal maka tak sayang.

Saking sederhana keinginannya, Machiko tak pernah membayangkan memperoleh penghargaan tertinggi setelah The Order of the Chrysanthemum (khusus untuk politikus, pemimpin militer, atau anggota keluarga Kerajaan Jepang yang berjasa bagi Jepang) itu.

”Saya kaget karena banyak orang Indonesia yang tidak tahu Jepang dan orang Jepang yang tidak tahu Indonesia,” kata Machiko seusai menerima lencana berbentuk pendar-pendar sinar matahari yang menyiratkan simbol energi sekuat matahari terbit itu.

Dua negara

Minat dan ketertarikan Machiko pada Indonesia semakin dalam ketika bertemu Kusnaeni (penerima bintang jasa The Order of the Rising Sun, Gold Rays with Neck Ribbon, tahun 2004) yang waktu itu belajar di Universitas Doshisha. Untuk memenuhi rasa ingin tahunya, Machiko memutuskan mengunjungi Indonesia pada 1952. Ketika itu dia menjadi perempuan pertama yang masuk Indonesia dengan paspor Jepang setelah Perang Dunia II.

Pada tahun itu juga Machiko disunting Kusnaeni dan menikah di Bandung. Keingintahuan Machiko tentang budaya Indonesia kian dalam hingga ia meminta kakak iparnya mengajari beragam tradisi Indonesia, seperti mengenakan kebaya. Ada kisah menarik yang masih tersimpan dalam ingatannya. Ketika pindah ke Jerman dan Jepang karena mengikuti tugas suaminya yang ketika itu bekerja di Departemen Perdagangan, Machiko paling sering mendapat pujian dari rekan-rekannya.

”Mereka memuji saya karena katanya saya memakai kebayanya rapi dan baik. Mereka malah minta diajari untuk memakai kebaya,” kata Machiko.

Kembali ke Indonesia, perempuan yang lahir 13 November 1930 itu aktif sebagai anggota tim pengedit program bahasa Jepang mulai tahun 1977. Bersama dengan tim pengedit RRI, Machiko membuat dua program khusus, yakni Hito to Kurashii (orang dan kehidupan) dan Aneka Jepang. Hito to Kurashii adalah program pengenalan tentang Indonesia melalui kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.

Machiko berharap, melalui program ini masyarakat Jepang bisa mengerti dan memahami kondisi Indonesia yang sesungguhnya karena di dalamnya terkandung budaya, seni, tradisi, olahraga, dan para tokohnya. ”Pada 1970 sampai 1980-an masyarakat Jepang lebih tertarik pada Amerika Serikat dan Eropa, tidak mengenal Indonesia. Karena itu, kami sampaikan terus cerita-cerita tentang masyarakat Indonesia kepada orang-orang Jepang,” katanya.

Upaya perempuan ini sejalan dengan arah kebijakan Pemerintah Jepang. Pada 1977 itu pula Perdana Menteri Jepang Takeo Fukuda mengumumkan kebijakan ”Pengertian dari Hati ke Hati” atau Doktrin Fukuda. Dengan doktrin itu, Jepang bertekad membangun hubungan baik atas dasar saling percaya dengan negara-negara di Asia Tenggara. Mulai saat itu pula Jepang tidak lagi menggunakan pendekatan militer, tetapi soft power untuk memperbaiki hubungan dengan negara-negara bekas jajahannya, termasuk Indonesia.

Hubungan Indonesia dengan Jepang pada waktu itu juga sebenarnya tengah melemah karena terjadinya kerusuhan di Jakarta pada 15 Januari 1974 atau peristiwa yang kita kenal sebagai Malapetaka 15 Januari (Malari) terkait kunjungan PM Jepang Kakuei Tanaka. Karena itu, Pemerintah Jepang menilai, program-program RRI ikut membantu memperbaiki dan mempererat hubungan Indonesia-Jepang.

Artikel

Seluruh proses pembuatan program bahasa Jepang ditangani langsung oleh Machiko yang pernah menjadi produser dan penanggung jawab program di seksi bahasa Jepang pada divisi layanan radio luar negeri RRI. Machiko mewawancarai semua orang tanpa pilih-pilih, tua, muda, laki-laki, dan perempuan. Proses seleksi orang dan materi wawancara, perekaman, dan penulisan dalam bahasa Jepang juga dilakukannya seorang diri.

”Tetapi, tetap saja ini semua bukan hasil kerja saya sendiri, semua staf RRI yang memungkinkan program-program ini mengudara,” kata Machiko yang memiliki 8 cucu dan 2 cicit itu.

Bagi Machiko, setiap manusia memiliki filsafat hidup masing-masing, yang hanya akan bisa dimengerti jika saling kenal. Itu isi pesan yang selalu ingin Machiko sampaikan dalam setiap programnya.

Siaran program bahasa Jepang itu rupanya menarik perhatian masyarakat Indonesia sehingga Machiko pun diminta untuk menulis artikel di majalah Femina, Gadis, dan Ayahbunda. Tulisan-tulisan Machiko menggambarkan kenyataan sehari-hari masyarakat Jepang, seperti kehidupan dan aktivitas remaja, wanita, aktivitas ibu rumah tangga, dan kehidupan kaisar Jepang.

Isu atau persoalan keseharian masyarakat Jepang dan Indonesia menjadi fokus utama program dan tulisannya karena Machiko menilai hubungan Indonesia-Jepang tidak cukup hanya dengan bertukar materi melalui kerja sama ekonomi perdagangan. Namun, interaksi hubungan antarwarga masyarakat jauh lebih penting, lebih langgeng, dan efektif menangkal segala bentuk ancaman atau gangguan.

Sumber: Kompas, Jumat, 22 Oktober 2010

No comments: