DUA ratus seniman berpameran bersama di enam belas galeri atau venue di Kota Bandung. Peristiwa yang langka sekaligus menarik ini berlangsung sejak 14 Oktober hingga 10 November 2010 mendatang. Menyebutnya menarik karena paling tidak sejak Bandung Art Event (BAE), Bandung harus menunggu sembilan tahun untuk bisa memiliki satu event yang bisa merangkum seniman (perupa) dalam pameran bersama skala yang besar, seperti halnya event "Sang Ahli Gambar dan Kawan-kawan; Tribute kepada S. Sudjojono" ini.
Seperti tajuknya, event yang membayangkan kebersamaan ini berangkat dari niatan demi merayakan dan memberi penghormatan kepada sosok bapak seni rupa modern Indonesia S. Sudjojono (1913-1986). Sebuah penghormatan yang bukan mendasar pada penanda untuk memperingati kelahiran atau kematian Sudjojono, melainkan semata-mata sebagai penghormatan kepada tokoh seni rupa pendiri Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) di tahun 1937 ini.
Sebagai suatu perayaan, Sudjojono tak hanya menjadi subjek yang dirayakan dua ratus perupa. Akan tetapi, juga menjadi spirit yang jejaknya disodorkan oleh para kurator (Aminuddin T.H. Siregar, Agung Hujatnikajenong, Rifky Effendi, Bambang Subarnas) pada para perupa untuk direspons atau menafsirkannya ke dalam karya. Dalam konteks inilah, lebih sekadar diposisikan sebagai tema, Sudjojono menjadi semacam representasi dari jejak sejarah seni rupa modern Indonesia yang hendak dibaca, ditafsir, atau diziarahi para seniman hari ini.
Oleh karena itu, hadirlah beragam corak dan interprestasi seniman atas pembacaan mereka terhadap Sudjojono. Dari mulai yang menautkannya dengan biografi Sudjojono, dengan kesehariannya, dengan jejak dan kiprahnya dalam sejarah seni rupa Indonesia, hingga yang mengartikulasikan kembali gagasan-gagasan penting Sudjojono tentang makna kesenian seraya mengorelasikannya dengan kekinian.
Rangkaian event ini dibuka di Galeri Soemardja FSRD ITB, Kamis (14/10), dengan memamerkan sejumlah sketsa dan gambar (drawing) Sudjojono. Pameran ini menjadi menarik karena lebih dari sekadar memamerkan sesuatu yang langka, yakni, sketsa dan drawing karya Sudjojono yang sebelumnya pernah dipamerkan, melainkan juga menjadi awal yang menarik demi memulai suatu rangkaian bagi penghormatan kepada Sudjojono, dengan memasuki ruang proses kreatif yang selama ini mungkin tersimpan dalam koleksi S. Sudjojono Center.
Alih-alih sekadar menghadirkan sejumlah dokumentasi, sketsa dan sejumlah drawing yang dipamerkan menyuguhkan sebuah sisi dari jejak apa yang selama ini diimani Sudjojono sebagai seniman, yakni, ihwal kerja seni sebagai penampakan jiwa seorang seniman (jiwa kethok). Penampakan jiwa hanya bisa hadir melalui pergulatan, intensitas, juga riset dan studi yang tiada henti.
Terlebih lagi, di suatu sudut galeri, di antara karya sketsa dan drawing Sudjojono, aktor Wawan Sofwan tampil membacakan sejumlah tulisan sosok yang juga dikenal sebagai kritikus dan pemikir seni itu ihwal pandangan-pandangannya tentang seni, kesenian, dan kerja seni sebagai penampakan jiwa seorang seniman melebihi keelokkan seperti lukisan-lukisan Mooi Indie.
Karya-karya sketsa dan drawing itu umumnya dibuat 1950 hingga 1980-an dengan berbagai kecenderungan, dari mulai figur, lanskap, pemandangan kesehari-harian, hingga skesta yang merupakan rancangan karya lukis. Umumnya karya-karya ini dilengkapi tulisan tangan Sudjojono, terutama sketsa pemandangan berupa catatan ihwal objek juga sejumlah keterangan lainnya. Termasuk yang menarik adalah sketsa "Rencana Pemandangan Alam" yang oleh Sudjojono ditulis siapa yang memesannya, yakni keluarga Subiyanto, Jln. Kemuning 39, Tomang, Jakarta.
Demikian pula dengan sejumlah sketsa yang merupakan riset Sudjojono ke negeri Belanda demi menyiapkan lukisan besar (3 x 10 meter) pesanan pemerintah DKI berjudul Peperangan Sultan Agung Melawan J.P. Coen yang sampai hari ini menghiasi dinding Museum Sejarah Jakarta. Seperti yang lainnya, sketsa atau rancangan itu dipenuhi tulisan tangan Sudjojono.
**
MERAYAKAN Sudjojono adalah merayakan spirit perihal kerja kesenian. Spirit yang di dalamnya memaktubkan jiwa yang menampak dari seorang seniman, seperti yang diperlihatkannya lewat karya sketsa dan drawing-nya.
Selasar Sunaryo Art Space (SSAS), Jumat (15/10), menjadi venue pertama yang memamerkan karya para seniman yang berangkat dari pembacaan, respons, dan interpretasi mereka terhadap jejak sejarah yang ditinggalkan oleh bapak seni rupa modern Indonesia itu. Sebanyak 36 seniman memamerkan karya mereka dalam berbagai teknik, corak, bentuk ungkap, dan sudut untuk menghampiri Sudjojono.
Paling tidak, dari apa yang dipamerkan di SSAS, terdapat sejumlah pendekatan umum yang direpresentasikan oleh seniman yang lebih menekan pada figur Sudjojono. Dalam karya mereka, Sudjojono sebagai figur dihadirkan sebagai penghormatan dari satu generasi kepada generasi pendahulunya. Wajah atau sosok Sudjojono tampil sebagai sentral karya dengan segenap kenangan pada apa yang telah dilakukannya demi seni rupa modern Indonesia.
Sebutlah, misalnya, "Homege to Sudjojono" karya Sunaryo dengan figur Sudjojono dalam pose yang selama ini dikenal, menggigit cangklong, berkacamata, dan memakai baju lurik, dengan teks "Jiwa Tampak" tepat di dada kiri. Demikian pula "S. Sudjojono, Tuan Guru Poster Revolusi Indonesia" karya A.D. Pirous. Karya ini berupa figur Sudjojono dalam pose berdiri dengan latar bendera Merah Putih. Mencermati judulnya, A.D. Pirous tampaknya menyasar jejak Sudjojono semasa ia aktif membuat poster-poster perjuangan semasa revolusi fisik. Pada karya itu juga terdapat teks yang mengutip pernyataan Sudjojono di tahun 1947, "Poster Perdjoangan tidak hanya berfungsi pengobar semangat, tetapi juga bertugas mendidik jiwa rakjat, di samping menanam rasa keindahan".
Tak jauh dari situ, tampak karya Setiawan Sabana yang menggunakan media kertas, "Kebenaran Nomor Satoe Baru Kebagoesan". Karya ini mengambil semangat pada pernyataan Sudjojono dalam satu tulisannya, betapa kerja kesenian bukanlah pemberhalaan terhadap keindahan dan keelokan dan mengorbankan kebenaran. Meski karya ini menampilkan figur Sudjojono, tetapi ia lebih menekan pada halaman-halaman buku yang berisikan pemikiran Sudjojono. Halaman itu tampak sudah menguning dan terlihat rapuh, seolah merepresentasikan nasib gagasan di dalamnya dalam realitas kekinian.
Beberapa karya tampaknya lebih mengonsentrasikan eksplorasinya pada pernyataan Sudjojono, terutama "Jiwa Tampak", untuk merespons atau menginterpretasikannya ke dalam kekinian. Berbeda dengan lukisan Abun Adira dalam "Bukan Jiwa Tampak (Kethok)" yang hadir dengan nada parodi, patung Amrizal Salayan merepresentasikan semacam sikap. Patung itu berupa figur tubuh manusia yang terpotong. Dengan judul "Max, 140x140x140 Cm; Raga Ketok", karya ini seolah menjadi semacam keinginan mengkritisi sesuatu yang mengekang penampakan jiwa lewat berbagai syarat ukuran sehingga kata kethok (tampak) bagi jiwa menjadi raga ketok (potong).
T. Sutanto yang menampilkan lukisan sebuah becak dengan teks "Mooi Indie" yang ditulis dengan huruf yang terbalik. Pada bagian becak di mana biasanya terdapat lukisan, tampak metafora ihwal Sudjojono dengan gambar seekor harimau bersayap sedang terbang sambil menggigit cangklong. Cangklong menjadi penanda penting yang dianggap bisa menjadi personifikasi sosok Sudjojono. Inilah yang langsung hendak menjadi pengantar ke arah bayangan Sudjojono ketika cangklong besar menempel di pintu masuk galeri lewat `Two Soul" karya Ali Robin.
Menatap karya 36 seniman Bandung yang merespons spirit Sudojono di SSAS, itu hanyalah sebagian dari antusiasme yang seluruhnya akan ditampilkan di lima belas galeri berikutnya di Bandung. Antusiasme yang tidak terduga, mengingat dalam perjalanan hidupnya hubungan Sudjojono dan perkembangan seni rupa Bandung tidaklah begitu akrab, meski ia menamatkan SMP-nya di Bandung.
"Saya betul-betul tidak menyangka respons yang besar dari para pelukis muda dalam mengenang Pak Djon. Belum pernah sebelumnya respons yang demikian besar seperti ini. Saya sendiri heran apa yang membuat mereka begitu antusias padahal Pak Djon adalah pelukis angkatan lama," ujar Rose Pandanwangi Sudjojono, istri Sudjojono. Pak Djon adalah panggilan akrab Sudjojono.
Antuasiasme seniman Bandung demi merayakan dan penghormatan kepada "Sang Ahli Gambar" benar-benar tidak terduga. Lebih dari itu, antusiasme ini telah melahirkan spirit kebersamaan yang selama ini nyaris menjadi barang langka di Bandung. Oleh karena itulah, Dekan FSRD ITB Prof. Biranul Anas menyebutnya sebagai event besar atau peristiwa yang penting.
"Saya sendiri baru tahu kalau di Bandung ini ada enam belas galeri. Saya tidak mengira responsnya besar sekali. Para seniman tak hanya disatukan oleh karisma Sudjojono, tetapi juga oleh karisma manajemen penyelenggaraan dan mereka yang mengoordinasikannya," ujar Biranul Anas. (Ahda Imran)
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 17 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment