-- Anwar Hudijono
PERGELARAN sendratari bertajuk ”Pedhut Terang Bumi Penataran” di Candi Penataran, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Sabtu (23/10) malam, merupakan kreasi eksotik. Meramu potensi budaya lokal yang ditunjukkan untuk asa kebangkitan Nusantara.
Sekitar seribu anak melantunkan lagu "Tombo Ati" menggunakan seruling bambu saat pentas pesona seribu seruling di Candi Penataran, Nglegok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Sabtu (23/10) malam. Kegiatan tersebut ditujukan untuk mengangkat Candi Penataran sebagai salah satu tujuan wisata budaya dan sejarah di Kabupaten Blitar. (KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN)
Mengawali pergelaran, terdengar sayup-sayup dua waranggana, Tutik dan Tentrem, menyanyikan ”Lumbung Desa”, tembang klasik dalam khazanah gending Jawa.
Tembang itu bertutur tentang tradisi masyarakat petani desa di Jawa zaman dulu yang menyimpan padi di lumbung desa.
Tembang itu diiringi seperangkat gampring alias gamelan pring (gamelan yang terbuat dari bambu) Surya Dadari dari Desa Kautan, Kecamatan Sanan Kulon, Kabupaten Blitar.
Hampir semua alat musik gamelan itu seperti gambang, gong, slenthem, demung, saron, bonang, kempul, berasal dari bahan bambu. Hanya gendang, rebab, siter yang menggunakan bahan lain. Perangkat itu berlaras pelog.
”Disebut gampring karena alatnya hampir semua dari bambu yang kami ambil dari desa kami,” kata Irwani, wiraswara (penembang lelaki) grup itu.
Setelah tembang lenyap ditelan sepoi angin Candi Penataran yang terletak di lembah Gunung Kelud, berganti suara seribu seruling yang ditiup 800 anak SD beserta guru mereka dan 200 murid SMP dan SMA di wilayah Kabupaten Blitar.
Seruling-seruling yang hampir semuanya terbuat dari bambu itu mendendangkan tembang ”Tombo Ati (Obat Hati)” gubahan Sunan Kalijaga. Tembang ini ”dimodernisasi” oleh Opick dan Emha Ainun Najib dengan Grup Kiai Kanjeng. Suara seruling itu sekaligus menandai pembukaan pergelaran sendratari ”Pedhut Terang di Bumi Penataran”.
Tentang keluhuran budi
Sendratari yang disutradarai Hari Langit dengan naskah/skenario ditulis Maryani ini bertutur tentang seorang bernama Putut, murid tertinggi pada suatu padepokan zaman dulu. Putut tergoda iblis, tetapi ketahuan gurunya atau Maha Resi. Karena dinilai sudah berdosa, Putut diharuskan bertapa di Penataran, yang oleh kitab Negarakertagama disebut Palah, untuk menyucikan diri.
Dalam perjalanan penyucian diri, Putut kembali terayu oleh iblis dan terperosok dalam ”trilogi setani” kekuasaan, keagungan, dan kedigdayaan (sura, sudira, jayaningrat) yang secara jelas digambarkan dengan mendapat kursi, mahkota, dan cambuk dari iblis. Dengan kekuasaan, keagungan, dan kedigdayaannya, Putut bertindak semena-mena terhadap rakyat.
Pada akhir cerita rakyat yang tidak mampu memprotes akhirnya mbalelo dengan cara meninggalkan Putut sendirian. Tanpa rakyat, semua kekuasaan, keagungan, dan kedigdayaan Putut tidak ada artinya.
Dalam konsep kekuasaan Jawa ada filosofi manunggaling kawula gusti (menyatunya rakyat dengan penguasa/raja). Cara rakyat melucuti ”trilogi setani” Putut itu adalah bentuk darmastuti (keluhuran budi).
Pesan akhir sendratari itu mengingatkan kepada para elite kekuasaan bahwa sura sudira jayaningrat arsa lebur dening darmastuti (kedigdayaan, kekuasaan, keagungan yang digunakan secara semena-mena pasti akan dihancurkan oleh keluhuran akal budi).
Sendratari ini menggunakan kekuatan lokal secara total. Koreografi tari diambil dari unsur dasar gerakan tari tradisional, seperti tari reog, jaranan, serimpi, langen beksan, dan kembangan silat Tapak Suci.
Musik pun diambil dari jenis musik yang ada di Blitar, seperti gampring, kentrung, jaranan, dan reog. Unsur-unsur itu terkadang mengalun sendiri, tetapi terkadang dipadu secara rancak sehingga menimbulkan nuansa baru yang indah.
Pergelaran sendratari ini memiliki nuansa mistis karena menggunakan pelataran Candi Penataran sebagai panggung. Sisi depan panggung menghadap relief Hanoman Duta. Sinar bulan yang berpendar menyentuh atap candi mampu membangun imajinasi kahyangan tempat Bathara Ri Palah yang dikunjungi Raja Hayam Wuruk dari Majapahit pada abad ke-14.
Pemilihan Candi Penataran sebagai tempat pergelaran ini seolah membangunkan kesadaran akan kebesaran sejarah Nusantara. Candi ini dibangun tiga dinasti sejak abad ke-10 sampai abad ke-14 (Kadiri, Singasari, dan Majapahit).
Menurut antropolog dari Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, pada zaman Singasari, Raja Ken Arok memproklamasikan doktrin Cakra Manggala Jawa (penyatuan Jawa). Hal itu diperluas Raja Kertanagara dengan Cakra Manggala Nusantara (penyatuan Nusantara) dan dilanjutkan dengan Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit dengan Sumpah Amukti Palapa (penyatuan Nusantara dengan bangsa tetangga, seperti Kamboja, Thailand, dan Malaysia).
”Dengan memilih Candi Penataran, kita bisa mengenal siapa leluhur kita yang mampu membuat bangunan yang berumur 900 tahun ini. Hal ini mendorong kebangkitan Nusantara agar kita bisa ikut menciptakan perdamaian dunia,” kata Ray Sahetapy, artis yang tampil di pengujung pergelaran ini.
Namun, disayangkan, acara yang eksotik ini kecipratan nila politik kampanye pilkada. Ketua DPRD Kabupaten Blitar Guntur Wahono secara blakblakan mengajak penonton memilih kembali Herry Noegroho sebagai Bupati Blitar pada pilkada mendatang.
Seyogianya biarlah kebudayaan tetap berada pada bingkai strategi kebudayaan, jangan menjadi instrumen politik. Dengan demikian, keluhuran budi mendapatkan tempatnya.
Sumber: Kompas, Senin, 25 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment