Saturday, October 23, 2010

Musik dan Enkripsi Budaya

-- Tompi

BERKAT ledakan popularitasnya, ”Keong Racun” kian menyita perhatian kaum muda dan mahajana di Indonesia.

”Sori, sori, sori Jack...” semakin sering terlontar secara ringan dalam berbagai percakapan. Rupanya gaya centil Shinta dan Jojo berhasil menyedot animo kalangan segala umur lewat cara mereka melantunkan ”Keong Racun”. Lirik lagu itu sarat kritik sosial atas kemarakan perselingkuhan dan budaya instan dalam kehidupan mahajana.

Kian terasa bahwa musik menjadi bagian penting dalam kebudayaan. Ia terus hadir, hidup, dan menyertai alam pikiran. Saya mencatat tiga kecenderungan kuat yang mewarnai dinamika musik industri di Indonesia saat ini: menjadi bagian dari aktualisasi gaya hidup yang berkembang di tengah masyarakat, menguatnya komoditifikasi identitas (seperti ke-Melayu-an), dan menggeliatnya komoditifikasi religiositas.

Komoditifikasi identitas dan religiositas di sini terus direproduksi sebagai enkripsi budaya ke dalam alam kesadaran konsumsi masyarakat kita.

Selama berabad-abad musik sebagai salah satu medium ekspresi budaya menyatu dalam struktur kebudayaan masyarakat. Terbukti, semua komunitas hampir dipastikan selalu memiliki genealogi musik atas dasar jenis etnisitas, agama, dan bangsa yang mereka warisi.

Sebagai arena kebudayaan, musik menjadi medium enkripsi budaya. Di dalamnya terefleksi dan tersimpan nilai-nilai sosial kultural, spiritualitas, ideologi, serta kritik sosial pada zamannya. Proses enkripsi budaya industri musik ini berlangsung dalam dua medium, melalui lirik lagu dan musik itu sendiri.

Dalam konteks ini, musik sebagai arena kebudayaan yang merdeka terus menghadapi dua persoalan serius sepanjang masa. Pertama, muatan nilai-nilai yang telah terenkripsikan di dalam lirik lagu juga dikontestasikan oleh kepentingan rezim politik dan ekonomi yang berkuasa. Kedua, arus komersialisasi budaya yang berlangsung dalam ranah kehidupan masyarakat menjadikan proses enkripsi budaya tersebut cenderung mengikuti tren konsumsi masyarakat yang ada kalanya telah digiring oleh rezim politik dan arus ekonomi pasar.

Sebagai arena kontestasi nilai-nilai identitas, industri musik telah jadi arena enkripsi nilai-nilai agama dan etnisitas. Maka tak heran jika berbagai aktivitas ritual komunitas keagamaan selama beberapa abad mereproduksi lirik lagu dan musiknya.

Di Indonesia, seiring dengan menguatnya budaya massa, tema-tema musik religi terus menyedot perhatian publik. Ketika nilai-nilai agama kian mendapatkan arena representasi dalam budaya massa, musik religi cenderung terkomoditifikasikan secara mudah. Musik religi sekadar menjadi label produk belaka. Akibatnya, nilai-nilai religi dalam industri musik di sini cenderung terjebak dalam simbolisasi identitas belaka.

Nilai-nilai etnisitas dan agama di satu sisi terus direproduksi dalam lirik lagu dan karakter musik di Indonesia. Di sisi lain, komersialisasi atas nilai-nilai etnisitas dan agama juga kian marak. Di luar itu, komersialisasi tren musik yang berkembang dalam arena internasional juga terus terjadi.

Dari proses yang berlangsung, masyarakat lebih cenderung sebagai pasar bagi musik industri di Indonesia. Masyarakat belum ditempatkan sebagai entitas warga negara yang perlu disokong dengan nilai-nilai religiositas dan budaya.

Arus kepentingan politik

Proses enkripsi juga melekat secara dekat dan bahkan menyatu dalam alam kesadaran dan budaya politik masyarakat. Karena itu, industri musik tidak akan lepas dari perkembangan kontestasi rezim kekuasaan. Misalnya, dapat kita lihat bagaimana tiap rezim politik (kekuasaan) berusaha menumbuhkan nilai-nilai nasionalisme, nilai-nilai harmoni dan kolektivitas kebangsaan, serta juga nilai-nilai kemanusiaan melalui lirik lagu dan musik.

Karena itu, di masa perang maupun damai, sejumlah lirik lagu tampak secara sengaja dienkripsikan oleh rezim politik penguasa untuk melanggengkan kesadaran publik dalam menerima legitimasi atas kekuasaannya. Bahkan, tren terakhir, sejumlah politisi di negeri ini tampak tak mau ketinggalan untuk menjadikan musik sebagai enkripsi pesan-pesan atau bahkan propaganda kepentingan politiknya, baik untuk kepentingan jangka pendek maupun jangka panjang: kampanye permanen.

Proses enkripsi nilai-nilai di sini menjadi pesan-pesan yang kadang kala termanifestasikan, tapi sering pula bersifat laten dan dimaksudkan untuk mempropagandakan pesan-pesan khusus. Ini bisa bermakna positif, tapi juga tidak menutup kemungkinan bermakna negatif.

Hal yang pasti, enkripsi ini telah menjadi kekuatan penting bagi proses konstruksi kesadaran dan identitas dalam alam kesadaran masyarakat, baik melalui arus komoditifikasi maupun melalui tekanan kekuasaan rezim politik dan rezim ekonomi. Jika tidak hati-hati, dalam situasi yang seperti ini musik akan dengan mudah terjebak dalam banalitas budaya.

Banalitas budaya

Dapat kita lihat, hingga saat ini banyak karya dalam musik industri kita yang cenderung memisahkan estetika dari performance. Di sini berinteraksi estetika dan selera pasar. Saya masih sering menjumpai lagu yang banyak mencerminkan kritik sosial, resistensi, bahkan pesan-pesan perubahan sosial, tapi kurang mampu dibarengi dengan estetika aransemen lagu itu sendiri.

Bukan tidak mungkin, degradasi estetika dalam lirik dan lagu musik-musik di Indonesia terus menguat karena arus komersialisasi pasar—baik oleh pelaku industri maupun karena tuntutan masyarakat—dan juga karena intervensi rezim politik.

Benar bahwa kritik sosial selalu dimunculkan, tapi dalam ranah komersialisasi. Konsekuensinya, musik industri pada akhirnya terus-menerus terjebak dalam banalitas budaya.

Industri musik di Indonesia sudah saatnya harus keluar dari banalitas budaya. Menjadi penting ke depan menempatkan musik industri di Indonesia dalam dua arena strategis. Pertama, musik harus selalu memainkan perannya secara mandiri sebagai kritik kebudayaan.

Kedua, musik harus selalu memainkan perannya sebagai bagian dari strategi kebudayaan nasional. Ketiga, musik juga harus selalu memainkan peran memperkuat branding Indonesia dalam arena kontestasi kebudayaan global. Indonesia jangan hanya menjadi pasar musik internasional saja. Indonesia jangan hanya menjadi pembeo dari kecenderungan musik industri internasional. Namun, Indonesia harus berani menjadi penentu tren musik yang mampu bersaing dalam arena pasar budaya internasional. Jayalah musik Indonesia!

Tompi
, Penyanyi, Musikus, dan Dokter Bedah Plastik

Sumber: Kompas, Sabtu, 23 Oktober 2010

No comments: