-- Rijal Firdaos
KOORDINATOR RSBI SD Lampung Nusyirwan Zakki dan Koordinator RSBI SMA Lampung Sobirin menyatakan karena belum ada evaluasi menyeluruh, belum bisa disimpulkan apakah RSBI di Lampung berhasil atau gagal. "Kami heran saat Dewan Pendidikan menyatakan RSBI di Bandar Lampung gagal. Sebab, selama ini evaluasi RSBI hanya dilaksanakan Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah," kata Nusyirwan didampingi Sobirin di Bandar Lampung. (Lampost, 05-10)
Ya, tolok ukur tentang rencana revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) terkait dengan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) tetap saja mengundang dilema tersendiri. Setelah empat tahun berjalan, problematika yang kerap muncul terhadap pelaksanaan RSBI masih sering terjadi. Ternyata bukan saja di Lampung, di Pulau Jawa sendiri, khususnya Jabodetabek, yang notabene lebih dekat dengan Pemerintah Pusat, masih terdengar badai kritik yang belum kunjung reda.
Secara konsep, RSBI mungkin dianggap sebagai sekolah �bergengsi� yang telah berhasil mewakili beberapa pertanyaan akan tingginya kualitas pendidikan yang ada di negeri ini. Bayangkan saja, di samping harus menuntaskan kurikulum nasional, RSBI juga memiliki kewajiban dengan ditambahkannya kurikulum internasional. Seperti penggunaan fasilitas belajar berbasis teknologi informasi, kelengkapan sarana dan prasarana, seperti ruangan ber-AC, dan tentunya bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar.
Perlu diingat, seluruh fasilitas yang serbaplus-plus tentu saja harus ditebus dengan harga yang mahal. Untuk mengadopsi dan mengembangkan kurikulum Cambridge, misalnya, ada yang dinamakan commitmen fee. Sekolah harus membayar sekitar 24 juta rupiah per tahun dan selalu berubah sesuai dengan fluktuasi mata uang internasional. Atau, untuk mengikuti ujian mendapatkan sertifikat Cambridge, satu mata pelajaran dikenai biaya satu juta rupiah. Belum lagi terkait dengan kerja sama pembinaan dan pendampingan dalam rangka peningkatan kualitas manajemen sumber daya manusia.
Jika mengacu pada beberpa program yang mesti dilaksanakan oleh RSBI, tentu hal ini akan menjadi kastanisasi di jenjang pendidikan dasar (SD, SMP, SMA). Sebab, hanya orang-orang yang mampu saja yang akan mengenyam pendidikan di RSBI, padahal, sekolah tersebut merupakan sekolah negeri yang masih mendapatkan bantuan dari pemerintah. Seperti dana block grant yang besarnya beragam, tapi dipastikan tak kurang dari ratusan juta, bahkan hingga miliaran rupiah yang diberikan secara bertahap.
Block grant inilah yang kemudian menjadi pemanis bagi sekolah, untuk berlomba memenuhi persyaratan agar dapat menyandang lebel RSBI. Dan, jika jumlah RSBI semakin banyak, jumlah sekolah negeri yang biayanya terjangkau bagi kalangan masyarakat miskin semakin sedikit. Padahal, masyarakat dari kalangan bawah yang berkemampuan akademis tinggi pun sangat banyak jumlahnya.
Realitanya, kendati melimpahnya block grant yang diterima, lantas tidak juga meringankan biaya sekolah bagi orang tua siswa. Kasus yang terjadi di SMPN 1 Bogor, misalnya, bagi orang tua yang bermaksud menyekolahkan anaknya di sana, harus mempersiapkan dana masuk Rp10 juta. Luar biasa, hampir setara dengan biaya masuk salah satu universitas di Jakarta, atau kota besar lainnya. Tidak kalah menariknya dengan kasus yang terjadi di SMPN RSBI di Pamulang, Tangerang, pada tahun ajaran 2010. Di tengah semester pertama, secara mengejutkan sekolah mengeluarkan pengumuman, bahwa orang tua murid harus membayar uang Rp8 juta untuk biaya pendidikan. Kondisi tesebut tentu tidak bisa dihindari oleh pihak orang tua, karena anak-anak mereka sudah belajar di sekolah tersebut.
Alhasil, biaya penyelenggaraan RSBI yang terlalu mahal, justru akan membuka peluang baru bagi tumbuh suburnya benih-benih korupsi. Pasalnya, sejumlah sekolah tidak memiliki standar baku terkait dengan biaya sekolah.
Lantas, bagaimana kabar dengan orang tua murid di Lampung, yang menyekolahkan anak-anaknya di RSBI? Hal ini pulalah yang kemudian istilah RSBI dipelintir menjadi rintisan sekolah �bertarif� internasional.
Kendati begitu, kompleksnya persoalan yang muncul di tubuh RSBI, kita masih punya harapan untuk bisa bernapas lega. Asalkan pemerintah, khususnya Menteri Pendidikan Nasional, yang beberapa bulan lalu berjanji untuk mengeluarkan regulasi baru terkait dengan pembatasan pungutan di sekolah-sekolah RSBI, secara serius berniat untuk mengatasi kegelisahan yang ada. Memang awalanya Mendiknas berjanji akan mengeluarkan regulasi tersebut pada Agustus 2010. Namun, Agustus telah berlalu, dan janji tersebut belum terealisasi. Kemudian beliau berjanji lagi, bahwa regulasi itu baru akan terbit pada Oktober 2010. Benarkah? Kita tunggu saja.
Sepertinya tidak berhenti cukup dengan regulasi baru saja. Beberapa konsep yang dapat diberlakukan, di antaranya dengan cara memberi keringanan atau penghapusan biaya pendidikan bagi siswa kurang mampu yang bersekolah di RSBI. Dengan demikian, RSBI tidak hanya menjadi lebel pelengkap nama sekolah. Melainkan juga, adanya indikator yang harus dipenuhi sekolah untuk mencapai label RSBI.
Jika hal itu belum bisa terlaksana, sebaiknya pemerintah mengkaji ulang terhadap payung hukum RSBI, yang termaktub dalam Bab XIV Pasal 50 Ayat I(3) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Rijal Firdaos, Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan, Mahasiswa S-3 UNJ
Sumber: Lampung Post, Kamis, 21 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment