Sunday, October 24, 2010

Sempalan Kehanyutan

-- Seno Gumira Ajidarma

MEMBACA Hanyut berarti membaca dua hal. Pertama, perjuangan Hiroshi yang mengasyikkan sebagai komik. Kedua, sejarah manga dalam konteks sejarah Jepang setelah Perang Dunia II. Semuanya menjadikan Hanyut sebagai metakomik, yakni komik tentang komik.

Gekiga Hyoryu (2008), judul asli Hanyut, mendapatkan penghargaan Will Eisner Comic Industry Award 2010 melalui versi bahasa Inggrisnya, A Drifting Life. Dua kategori diraihnya, yakni Karya Terbaik Berdasarkan Kenyataan dan Edisi Amerika Serikat Terbaik dari Materi International. Dengan kategori ”berdasarkan kenyataan” itu, tak syak lagi, Hanyut (terbit dalam empat jilid) menjadi salah satu jendela untuk memahami dunia industri manga di Jepang.

Sebagai komik otobiografis, Yoshihiro Tatsumi meriwayatkan bagaimana dirinya—yang dalam komik itu bernama mirip, Hiroshi Katsumi—sejak awal seperti terhanyut dalam sejarah pertumbuhan manga, yang terikat sepenuhnya dengan sejarah Jepang itu sendiri. Tatsumi, bersama antara lain Takao Saito dan Masaaki Sato, adalah pelopor lahirnya manga alternatif yang mereka sebut gekiga atau drama-gambar yang mewarnai perkomikan Jepang sejak publikasi pertamanya tahun 1956.

Gekiga berformat buku atau juga majalah, tetapi dicetak eksklusif untuk taman bacaan yang jumlahnya mencapai 30.000 di seluruh Jepang. Dengan merebaknya shonen manga, yakni majalah khusus komik, peluang taman bacaan akhirnya tertutup sama sekali dan itulah akhir riwayat gekiga ketika memasuki tahun 1960-an. Meski begitu, sebagai gerakan artistik, gekiga justru dimanfaatkan Osamu Tezuka yang dominasinya sedang dilawan Tatsumi dan kelompoknya sebagai ”dewa manga” yang menguasai dunia kanak-kanak Jepang.

Dasar maestro, alih-alih terpengaruh gaya realistik dan latar kegelap-gelapannya Tatsumi, pendekatan Tezuka dalam Phoenix (1970) dan Adolf (1980) justru kembali memengaruhi para pelopor gekiga, seperti Tatsumi dalam teknik bercerita. Dalam Hanyut digambarkan, betapa sebagai mangaka kanak-kanak, Hiroshi memang sebetulnya sangat memuja Tezuka.

Dihanyutkan sejarah

Sejarah digerakkan oleh relasi kuasa dengan berbagai faktor determinan yang perimbangan serta pergulatannya membentuk berbagai momentum sosial historis tertentu. Di Jepang, tempat komik yang disebut manga itu menjadi tuan rumah di negeri sendiri, lahirnya manga untuk dewasa harus melalui gerakan alternatif dengan manifesto. Ini berkaitan dengan dominasi manga kanak-kanak di pasar yang pada gilirannya membentuk stigma manga sebagai bacaan anak kecil. Namun, terdapat suatu kondisi sosial historis yang spesifik bahwa generasi manga yang ditumbuhkan pada 1960-1970-an membutuhkan ”manga dewasa” untuk mengisi kekosongan setelah generasi ini dewasa.

Perkembangan manga digambarkan dengan memikat dari kacamata Hiroshi: bagaimana ia mula-mula mengirimkan manga empat kotak yang tak lebih adalah kartun humor, berpartisipasi dalam tren antologi. Kemudian ia terlibat serta terombang-ambingkan persaingan antarpenerbit, yang dengan caranya masing-masing berusaha menguasai, mendanai, dan saling membajak para mangawan muda demi produk manga mereka. Segera tampak bahwa konstruksi artistik yang terbentuk dalam sejarah manga merupakan bagian juga dari persaingan antarpenerbit yang memang hanya akan melihat sisi bisnis dari segenap produk artistik itu.

Gerakan gekiga lahir dari gagasan para mangawan untuk menggambar sebanyak dan sepanjang mereka inginkan, dengan gaya yang baru, lepas dari tuntutan penerbit yang membelenggu mereka. Meski begitu, sepanjang membaca Hanyut, pembaca tidak akan melihat seniman cengeng yang meminta suaka istimewa demi cita-cita artistiknya. Para mangawan dalam Hanyut ini tampak sebagai seniman amat berbakat, bekerja siang dan malam melebihi buruh, karena tenggat ketat pesanan berbagai penerbit.

Kata ”pesanan” tidak menjadi tabu dalam pekerjaan seorang seniman, begitu pula keberadaan tenggat ketat, diterima sebagai kondisi positif industri manga yang berkembang. Dalam dunia semacam itulah cita-cita artistik diperjuangkan secara realistik, antara lain dengan mengerjakan gekiga sebagai alternatif dan manga arus utama secara simultan. Ketika memudarnya taman bacaan menutup peluang gekiga, para mangawan tetap bekerja memenuhi pesanan manga. Para mangawan ini, tak lebih dan tak kurang, tampak sebagai kaum profesional.

Bawah tanah dan kejutan

Dalam terjemahan berbahasa Indonesia, Hanyut dipertahankan formatnya dalam pembacaan dari kanan ke kiri sehingga terjamin gambar-gambar tampil sesuai kehendak pembuatnya, berbeda dengan manga yang sering kali ”disesuaikan” di Indonesia melalui pembalikan format dari kiri ke kanan. Jelas manga untuk dewasa ini berisi persoalan ataupun adegan yang terandaikan akan disaksikan hanya oleh orang dewasa.

Jika membandingkan antara karya Tatsumi sebagai pelopor manga, yang dalam Hanyut menjadi Hiroshi, dan cara Tatsumi bercerita dalam Hanyut ini sendiri, akan terlihat perbedaan. Besarnya perbedaan setara dengan pendekatan otobiografis yang bersifat menjelaskan berbanding imajinasi bebas yang sangat eksploratif, dari seorang mangawan muda berambisi artistik tinggi. Hanyut dibuat setelah segenap gelombang berlalu, tetapi jejak gekiga tak terhapuskan. Adopsi sang dewa Tezuka terhadap gekiga bagaikan pembenaran terhadap segenap pengembangan artistik dunia manga, yang membuat segala jenis dan aliran merebak, pada zaman keemasan manga antara 1970 dan 1980.

Gairah dan letupan industri manga belum berhenti dan setiap kali terdapat gerakan bawah tanah yang menyempal dengan kejutan tersendiri, saat itulah istilah gekiga kembali sebagai suatu definisi. Arus utama di pasar manga memang menghanyutkan, tetapi dalam kehanyutan terdapat penyempalan.

Seno Gumira Ajidarma
, Wartawan

Sumber: Kompas, Minggu, 24 Oktober 2010

No comments: