Sunday, October 24, 2010

Belajar dari Komunitas Sastra Dunia

-- Iwan Gunadi

JANGAN pernah memastikan bahwa kehadiran komunitas sastra di Indonesia yang marak sejak 1980-an merupakan suatu fenomena yang khas di dunia. Di belahan dunia lain, hal yang sama juga terjadi.

Meski aktivitas kreatif dalam kesenian, termasuk kesusastraan, umumnya masih dilakukan secara individual alias soliter, sebagai makhluk sosial, pelakunya, yakni seniman atau pekerja seni, termasuk sastrawan atau pekerja sastra; tetap butuh bersosialisasi dalam kelompok yang memiliki kesamaan cita-cita.

Malah, di Prancis, pada abad ke-16, sekelompok penyair dari Abad Pertengahan tekah bersekutu di bawah nama The Pluiade. Sebelumnya, pada 1323, masih di Prancis, tepatnya di Toulouse, nama yang sama pernah digunakan oleh sebuah kelompok yang beranggota 14 penyair (tujuh lelaki dan tujuh perempuan). Artinya, ketika komunitas sastra atau budaya di Indonesia masih anonim, komunitas sastra di Prancis mulai mengarah ke bentuk organisasi. Komunitas sastra yang seperti itu di Indonesia baru muncul pada akhir abad ke-19, yakni Rusdiyah Klab di Sumatera dan Paheman Radyapoestaka di Jawa.

Di pelbagai belahan dunia, sejarah komunitas sastra juga tidak hadir sebagai kerumunan yang asosial. Ia selalu terikat dengan lingkungannya, sekurangnya lingkungan kesusastraannya. Tengok, misalnya, Tachtigers di Belanda, Harlem Renaissance dan The Nashville di Amerika Serikat, Bloomsbury di Inggris, dan tentu Gruppe 47 di Jerman.

Sekitar akhir abad ke-19, di Belanda, Tachtigers (Angkatan 1880) muncul sebagai kelompok penulis yang kemudian turut memengaruhi satu paruh dalam sejarah kesusastraan modern Indonesia. Angkatan tersebut merupakan satu kumpulan penyair dan penulis muda yang memperbarui kesusastraan Belanda secara radikal pada 1880-an. Para penyokongnya, antara lain, Albert Verwey, Frank der Goes, Frans Eren, Frederik van Eeden, Herman Gorter, Jaques Perk, L. van Deysell, Willem Kloos, dan Wouter Paap.

Sebelum kemunculannya, kesusastraan Belanda pada pertengahan abad ke-19 memang perlahan-lahan mundur menjadi semacam kesusastraan �khotbah� lantaran inspirasi puitisnya diganti dengan pengajaran moral dan berkembang terus dengan sendirinya tanpa hubungan apa pun dengan kesusastraan Eropa pada masa itu. Tak lama setelah 1880, sekelompok orang muda mulai memberontak dan pada 1885 mereka bersatu dalam Majalah De Nieuwe Gids (Pandu Baru).

Dari namanya, kelompok anak muda tersebut jelas ingin bereaksi terhadap majalah terpenting pada masa itu, yaitu De Gids (Pandu), yang dibentuk pada 1837 dan mewakili pandangan golongan tradisional. Umur kelompok tersebut memang tak lama, tapi kegiatan gerakan tersebut yang tampak amat tiba-tiba dan revolusioner menjadikannya sangat menarik perhatian.

Abad berikutnya, tepatnya pada 1920-an, di Amerika Serikat, di sebuah distrik di New York yang disebut Harlem, muncul kebangkitan sastra yang disebut Harlem Renaissance ketika sejumlah sastrawan kulit hitam, seperti James Baldwin, Ralph Ellison, dan Zora Neale Hurston, memproduksi karya sastra yang diakui para kritisi sastra Amerika pada zamannya. Nama kelompok tersebut mengarah pada upaya kebangkitan kelompok sastrawan kulit hitam sekaligus upaya mengikis diskriminasi berdasarkan warna kulit.

Di Vanderbilt, masih di sekitar dasawarsa yang sama, ada kelompok The Nashville. Komunitas sastra ini merupakan kelompok �pembangkang� dalam pengertian yang lebih baik. Mereka mencoba mencari untuk menemukan kembali nilai-nilai tertentu dari masa lalu, seperti nilai-nilai dari tradisi budaya Selatan dan sudut pandang yang religius. Hasilnya, karya-karya sastra kelompok ini telah memberi pengaruh yang luas terhadap kritik sastra pada 1970-an di Amerika Serikat. Komunitas sastra yang dipimpin penyair John Crowe Ransom tersebut pernah mencatat penyair dan esais Allen Tate sebagai anggota kehormatannya.

Di Paris, Prancis, pada dasawarsa yang sama, 1920-an itu, tercatatlah "Generasi yang Hilang" atau The Lost Generation. Nama tersebut bermula dari selorohan Gertrude Stein�di Indonesia, dia dapat disejajarkan dengan H.B. Jassin�ketika suatu hari mendapati sekelompok anak muda kesulitan memperbaiki sebuah mobil yang mogok, "Oh, you are the lost generation." Anak-anak muda tersebut merupakan bagian dari anak-anak muda yang makmur setelah meraup banyak uang akibat Perang Dunia I, tapi spiritualitas mereka kosong. Karena karisma Stein, banyak sastrawan muda asing, terutama dari Amerika Serikat�termasuk Ernest Hemingway, yang menetap di Paris sebagai koresponden Toronto Star untuk meliput perang Yunani-Turki�sering berkumpul bersamanya di sebuah kafe di Paris. Sejumlah sastrawan Amerika Serikat bernostalgia tentang keterlibatan mereka di Perang Dunia I di Eropa. Dari sanalah, kita kemudian mengenal komunitas The Lost Generation. Tokoh sentralnya memang Stein.

Di Jerman, pada 1947, muncul Gruppe 47. Kehadiran Gruppe 47 dilatari imbas Perang Dunia II yang memorak-porandakan Jerman. Sebanyak 10-16 juta serdadu mati bersama warga sipil. Enam juta orang Yahudi dibantai Nazi. Sebelas juta orang Jerman dibui karena kalah perang, dua juta cacat seumur hidup, dan sepuluh juta orang Jerman harus pergi meninggalkan tanah air mereka.

Pada masa sesudahnya, buku menjadi barang mewah, sangat langka, dan dicari banyak orang. Harganya di pasar gelap setara dengan kebutuhan hidup sekeluarga selama seminggu. Padahal, sastra sudah seperti menjadi kebutuhan pokok. Sayangnya, karya-karya sastra yang dihasilkan penulis muda tak mampu menjawab kebutuhan masyarakat dan zamannya.

Padahal, masyarakat membutuhkan sebuah bentuk sastra baru. Sastra yang menampilkan pergulatan hidup untuk mencari jawaban atas setiap kesalahan yang telah dilakukan. Orang butuh "bahasa baru" untuk menyusun kenyataan secara lugas, sebuah bahasa yang jelas, tegas, dan tepat. Kondisi seperti itulah yang memicu kelahiran komunitas sastra yang kemudian melegenda di Jerman ini. G�nter Grass, Alfred Andersch, dan Heinrich Boll pernah menjadi anggota Gruppe 47.

Di luar komunitas-komunitas itu, tentu masih banyak komunitas lain yang dapat disebut sebagai contoh. Dalam sejarah kesusastraan Amerika Serikat, misalnya, kita mengenal komunitas Brook Farm pada pertengahan abad ke-19. Di desa utopia yang dipimpin George Ripley tersebut pernah bergabung sastrawan Nathaniel Hawthorne selama beberapa bulan pada 1841. Pada akhir abad ke-19, Greenwich Village, sebuah distrik di New York, Amerika Serikat, terkenal sebagai kantong budaya yang didukung berbagai majalah sastra bertiras kecil. Di sana bermukim para sastrawan terkenal Negeri Paman Sam tersebut, mulai dari Edgar Allan Poe sampai dengan Edward Estlin Cummings (e.e. cummings). Di Vanderbilt, pada awal abad ke-20, John Crowe Ransom dan Allen Tate juga tergabung dalam kelompok para penyair yang dikenal dengan sebutan Fugitives bersama Donald Davidson, Robert Penn Warren, dan para penyair lain.

Masih di sekitar awal abad ke-20 tersebut, komunitas sastra juga sudah dikenal di Argentina, Amerika Selatan. Pada 1916, penyair terkenal Argentina, Alfonsina Storni, disebut-sebut mulai tampil di depan umum untuk membacakan puisi-puisinya dan bergabung dalam komunitas sastra di Argentina. Bahkan, penyair kelahiran Swiss, 29 Mei 1892, yang meninggal dunia pada 1938 itu menjadi salah seorang pendiri Asosiasi Penulis Argentina.

Di Inggris, pada 1920-an, sejumlah sastrawan, seperti T.S. Elliot, Joseph Conrad, dan beberapa sastrawan dari Amerika Serikat, seperti Herold Frederick dan Stephen Crane, sering berkumpul. Bahkan, mereka mengarang drama dan membacakannya bersama serta menyusun sejumlah rencana kreatif, walaupun tidak jarang hanya tinggal rencana. Tak jauh dari dasawarsa tersebut, masih di Inggris, tepatnya di London, novelis Virginia Woolf menjadi bagian dari grup Bloomsbury. Bahkan, di kota yang sama, pada 1909, The Poetry Society sudah berdiri.

Tentu tak lengkap menderetkan contoh komunitas sastra di dunia tanpa menyebut organisasi Poets, Playwrights, Editors, Essayists, and Novelist (PEN). Sebelum ada Gruppe 47, PEN sudah hadir, yakni sekitar 1930-an. Banyak sastrawan terkenal di dunia, termasuk Gunter Grass, menjadi anggotanya. PEN kemudian memang menjadi organisasi yang mengglobal dengan pusat di London, Inggris. Cabang PEN hadir di puluhan negara di berbagai benua di dunia ini, termasuk di Indonesia.

Kalau beberapa dasawarsa terakhir, tak sedikit kampus di Indonesia ditengarai sebagai basis pertumbuhan komunitas sastra, hal yang sama sudah terjadi di Amerika Serikat sejak beberapa abad yang lalu. Misalnya, di Columbia University, ada The Philolexian Society, salah satu komunitas sastra kampus yang tertua di sana yang didirikan pada 1802. Contoh lain adalah The Philomathean Society di University of Pennsylvania yang didirikan pada 1813.

Ketika raja-raja di Nusantara pada masa silam memiliki sejumlah pujangga untuk mengagungkan masing-masing raja, di Inggris, King George IV telah mendirikan The Royal Society of Literature pada 1820. Organisasi sastra tersebut didirikan untuk memberikan penghargaan atau beasiswa sekaligus membangkitkan bakat-bakat sastra tak hanya di kalangan masyarakat Inggris, tapi kemudian juga di kalangan masyarakat di luar Inggris. Karena itu, selain Yeats, Kipling, Thomas Hardy, dan George Bernard Shaw, kemudian Chinua Achebe dan V.S. Naipaul, misalnya, juga menerima beasiswa dari organisasi sastra itu.

Sebagaimana di Indonesia kemudian, pelbagai komunitas sastra di sejumlah negara tersebut hadir tanpa atau dengan ikatan, baik sebagai paguyuban informal maupun organisasi formal. Ada yang bermotif melawan kemapanan, ada yang hanya untuk bernostalgia. Ada yang punya tokoh sentral, ada yang tidak. Ada yang bertahan lama lebih dari tiga perempat abad dan lebih banyak yang hidup hanya untuk rentang masa yang pendek. Di Indonesia, belum ada yang aktif terus-menerus hingga seperempat abad pun. Yang lebih banyak adalah yang aktif hanya untuk beberapa bulan atau bahkan beberapa pekan.

Iwan Gunadi
, Pemerhati komunitas sastra

Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 Oktober 2010

No comments: