-- Myrna Ratna dan Budi Suwarna
BAGI Karim Raslan (47), Indonesia adalah ”rumah” sekaligus sumber inspirasinya. Lewat Indonesia, ia memahami akar dan kompleksitas budaya Nusantara. Untuk Indonesia, ia berbagi cerita kehidupan.
Malam itu, akhir September lalu, wajah Karim sumringah. Ia menyalami para tamunya sambil menandatangani buku yang baru saja diluncurkannya di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Ceritalah Indonesia. Buku ini merupakan terjemahan kumpulan esai Karim tentang wajah Indonesia yang dilihat dari perspektif rakyat kebanyakan. Mulai dari petani tembakau sampai ustaz di sebuah masjid.
Catatannya tajam, kadang ”nakal”. Ia telah melewatkan hampir sepuluh tahun berkeliling ke berbagai pelosok di Indonesia. Pandangannya penuh optimisme karena ia yakin, dengan segala kesemrawutannya, toh sumber daya yang dimiliki Indonesia seharusnya bisa membuat negara ini tinggal landas.
Tentu saja, gesekan antara Indonesia dan Malaysia membuatnya prihatin karena soliditas bangsa yang ”serumpun” ini seharusnya bisa menguatkan kebesaran budaya Nusantara di kawasan.
Berikut petikan percakapan dengan Karim di lobi sebuah hotel di kawasan Senayan, Selasa (12/10).
Kenapa friksi antara Malaysia dan Indonesia mudah sekali mencuat?
Yang pertama, ada beberapa isu yang benar-benar tidak mudah diatasi. Salah satunya dan paling penting adalah isu TKI. Jumlah TKI di Malaysia tidak bisa dihitung. Menurut data dari Kerajaan atau Pemerintah Malaysia mungkin satu juta lebih, tapi menurut estimasi di lapangan mungkin bisa dua juta lebih. Bayangkan, di sebuah negara yang penduduknya hanya sekitar 27 juta, ada 2 sampai 3 juta warga asing. Itu kan 10 persen dari populasi (Malaysia). Kalau ada jumlah sebesar itu di Indonesia pun, pasti ada rasa sedikit terganggu dan tidak nyaman. Jadi harus kita akui bahwa ini satu masalah. Padahal tenaga mereka (TKI) benar-benar diperlukan rakyat Malaysia. Jadi, ini benar-benar isu besar.
Di beberapa negeri (bagian) seperti Sabah, jumlah penduduk yang berasal dari Indonesia lebih besar dari penduduk Sabah sendiri. Di Tawau, jumlah penduduk Indonesia juga lebih banyak, mayoritas.
Kedua, terkait isu kebudayaan. Banyak warga negara Malaysia yang berdarah Indonesia, dengan nenek moyang seperti dari Ponorogo atau Bukittinggi. Apakah mereka harus mengabaikan akarnya hanya karena mereka orang Malaysia? Padahal darah mereka benar-benar Jawa atau Sumatera.
Mereka yang berdarah India masih mengenakan baju India seperti sari dan mempraktikkan kebudayaan India. Sama seperti mereka yang berdarah Tionghoa, barongsai masih dipentingkan dan memartabatkan benda-benda hasil kebudayaan masing-masing. Apakah keturunan Indonesia tidak boleh mempraktikkan hal yang sama? Mungkin kita harus cari jalan yang lebih saksama.
Menurut Anda, friksi yang terjadi apakah karena ketidakmampuan diplomasi kedua pemerintah atau karena karakter kedua bangsa ini?
Ha-ha-ha.... Dua-duanya. Tapi juga karena geopolitik, di mana Indonesia telah mengalami transformasi dan pertumbuhan yang luar biasa. Dulu, 10 tahun yang lalu, bangsa Indonesia sendiri merasa ada kemungkinan Indonesia menjadi negara gagal. Semuanya tak jalan, ada demo setiap hari, ada bom, sekarang beda. Indonesia sekarang ekonominya sudah bagus dan sudah masuk (kelompok) G-20, investor dari mana-mana mau masuk.
Padahal, (di sisi lain) Malaysia mengalami goyangan politik dengan hasil Pemilu 2008. Malaysia masih harus mengalami proses reformasi agar ada kebebasan media, agar ada pertukaran pikiran. Saya pikir Indonesia akan terus maju dikarenakan jumlah penduduknya, khazanah kekayaan alamnya, kapasitas orangnya. Jadi, masa depan Indonesia akan bagus. Buat Malaysia yang tidak terlalu besar dan kekayaan alamnya tidak terlalu besar, masa depannya lebih sulit diprediksi. Jadi, Indonesia is the rising power, dan Malaysia sudah kayak begini (jari-jari tangannya menyimbolkan ”stagnan”).
Apa Anda setuju jika pengiriman TKI distop saja?
Mana bisa? Kalau mereka tidak cari nafkah di Malaysia, mau ke mana? Ini sangat rumit. Mereka sebenarnya tidak mau hijrah, tapi mereka mau tidak mau harus mencari nafkah dan Malaysia adalah negara terdekat. Kalau ada ruang kerja di Indonesia, mereka pasti pulang. Enggak mau di Malaysia.
Yang paling penting pertumbuhan ekonomi Indonesia harus lebih cepat sehingga terbuka ruang-ruang kerja. Jika itu terjadi, pasti mereka tidak mau ke Malaysia. Dengan sendirinya isu TKI akan berkurang. Selain itu, kita harus akui bahwa masalah pasti akan terus terjadi karena ada 2-3 juta orang di sana. Pasti setiap hari akan muncul masalah.
Harus ada sistem kooperasi antara pemimpin kedua negara bahwa masalah pasti akan terus terjadi dan kita tidak mudah digoyang (dengan isu ini), tapi harus diselesaikan.
Hal yang paling penting apa yang mesti dipelajari orang Malaysia dari Indonesia dan sebaliknya?
Yang pertama, kesadaran bahwa sistem demokrasi tidak menghancurkan negara. Pemimpin-pemimpin Malaysia sering mengatakan, lihat kalau sistem demokrasi sangat terbuka seperti Indonesia, nanti semuanya hancur karena ada demo-demo setiap hari. Sekarang terbalik, dengan demokrasi (di Indonesia), yang korupsi dan penjahat bisa ditumbangkan meski belum semuanya ditangkap.
Sistem demokrasi juga menumbuhkan kebebasan pers. Kebebasan media tidak merusak negara. Itu jadi salah satu faktor yang memperkuat negara dan khususnya kepuasan rakyat. Kalau rakyat merasa bahwa semua media dikendalikan oleh pihak tertentu di kerajaan (Malaysia), pasti mereka kecewa dan kehilangan kepercayaan pada kerajaan.
Pelajaran dari Malaysia, mungkin dari isu disiplin. Kalau semuanya bebas, enggak bisa juga. Kalau semua orang berbuat semaunya, mau mengajukan hak masing-masing, bagaimana dengan hak komunitas untuk situasi yang tenteram, aman? Jadi, hak-hak individu tetap harus dibatasi. Tapi proses mencari titik batasnya di mana, tiap-tiap negara pasti berbeda, tergantung kultur dan sistem politiknya.
Sejauh mana kondisi politik Indonesia memengaruhi gerakan politik di Malaysia?
Lihatlah berapa kali ketua partai barisan pembangkang, Anwar Ibrahim, datang ke sini. Sebab mereka tahu bahwa orang Malaysia, khususnya orang politik dan orang yang sangat mementingkan kemelayuan dan kebudayaan kenusantaraan, melihat ke sini. Jakarta bisa dikatakan critical mass for culture of this region. Jika orang Malaysia menganggap Anwar atau Najib diterima di Indonesia, martabatnya akan naik. Jadi, buat bursa politik Malaysia, Indonesia sangat penting.
Di Malaysia ada persepsi yang berbeda antara elite dan masyarakatnya?
Orang Malaysia, terutama yang di bawah, sudah tahu bahwa orang Indonesia yang kondisinya sulit bisa bekerja dengan upah yang lebih rendah daripada mereka. Jadi, mereka menganggapnya sebagai pesaing. Apalagi, orang Indonesia lebih keras kerjanya. Dan, ada kampung-kampung di Malaysia yang penduduknya mayoritas orang Indonesia. Jadi, sebagian kecil orang Malaysia memang merasa terancam. Sebab orang Indonesia bekerja lebih keras dan rajin daripada penduduk setempat.
Kalau konflik ini dibiarkan berlanjut, pasti akan terbentuk di alam bawah sadar persepsi negatif. Di Indonesia, stasiun bahan bakar milik Petronas, misalnya, di mana-mana tidak laku.
Tapi itulah kehidupan. Kalau mau buat bisnis di Indonesia, orang Malaysia atau siapa pun harus mencari ciri khas penduduk setempat. Kalau masih pakai bendera jiran buat apa? Lihat CIMB Niaga. CIMB-nya ada, tapi Niaga sebuah nama yang sangat dihormati di Indonesia sebab itu sebuah bank, sejarahnya bagus, punya keunggulan, punya nama cukup baik. Jadi, harus begitu. Makanya, Siti Nurhaliza di sini lebih banyak menyanyikan lagu Indonesia, Sheila Madjid logatnya lebih kedengaran Indonesia karena orangtuanya berasal dari Padang.
Lewat Upin dan Ipin mungkin lebih baik?
Betul, begitu ramai orang nonton Upin dan Ipin. Saya baru-baru ini ziarah kubur Sunan Giri di Gresik, saya lihat banyak boneka Upin dan Ipin. Itu luar biasa. Bayangkan untuk masa depan, ada berjuta-juta generasi Indonesia yang besar bersama Upin dan Ipin. Jadi, persepsi mereka pasti beda. Orang Malaysia juga dibesarkan oleh pop-pop Indonesia. Rosa sangat popular, Ungu, Padi, juga Peterpan.
Identitas
Makna identitas mungkin menjadi unik bagi Karim. Sejak kecil ia terbiasa dipersepsikan ”berbeda”. Ia dilahirkan dari seorang ayah Melayu (Malaysia) dan ibu Inggris. Pada saat berusia 8 tahun, ayahnya meninggal dunia sehingga Karim beserta ibu dan saudara-saudaranya boyongan ke Inggris. Di kota Tunbridge Wells, yang 99 persen penduduknya berkulit putih dan asli Inggris, Karim yang Muslim dan ”sawo matang” menjadi berbeda dari sekelilingnya. ”Saat itu orang di sini jarang melihat warna kulit berbeda,” kata Karim.
Itulah momen penting dalam kehidupannya, ketika ia belajar tentang perbedaan, tentang ras, tentang identitas. Mungkin, ini juga yang menggedor proses kreatifnya. ”Sejak kecil saya ini seperti orang asing. Suasana memaksa saya untuk berpikir kenapa saya berbeda? Apa perbedaannya? Apakah perbedaan itu penting untuk saya? Dan itu suatu proses yang butuh waktu sangat lama untuk mengatasinya,” kata Karim.
Jadi seperti apa sosok Karim Raslan itu?
Saya ini seperti warga dunia tetapi pasti berasal dari Malaysia, lahir di situ, dan hubungan saya dengan Malaysia sangat kuat. Tapi, di Indonesialah saya mengalami dan juga menikmati kebudayaan Nusantara (Asia Tenggara). Jika saya tidak berpindah ke sini, saya tidak bisa bertutur dalam bahasa Indonesia. Indonesia yang memberi itu pada saya, yang mendekatkan saya dengan kebudayaan bapak saya. Dan itu merupakan pengalaman yang sangat penting. It gives me roots. Ironisnya, waktu saya di Malaysia, karena di sana orang tidak begitu banyak berbahasa Melayu, lebih sering dalam bahasa Inggris, jadi bahasa Melayu saya tertinggal. Baru di Indonesia saya bisa mengekspresikan diri dalam bahasa Indonesia dan saya senang sekali…. Saya mulai mencintai bahasa Malaysia dari sini.
Apa yang awalnya membuat Anda tertarik pada Indonesia?
Tahun 2001 dan 2002, saya merasa tidak nyaman dengan situasi di Malaysia, terkait kebebasan media dan pengalaman penangkapan Anwar Ibrahim. Padahal saya tidak dekat dengan beliau, tapi saya melihat kalau orang nomor dua saja di kerajaan bisa ditangkap dengan cara semudah itu, bagaimana dengan orang biasa? Oleh karena itu saya cari tempat lain, bukan pindah total, tapi menetap untuk beberapa pekan. Saya mulai dengan Indonesia. Dan alhamdulillah di Indonesia, sebab saat itu Indonesia sedang dalam proses reformasi. Saya sangat tertarik dengan kebebasan media, kebebasan ekspresi. Dan dari tahun 2002 sampai 2003, saya mulai membuat liputan tentang itu untuk koran-koran di Malaysia.
Anda melihat Indonesia seperti apa saat ini?
Sejak dulu saya sangat positif tentang Indonesia. Meskipun Indonesia banyak kelemahan, banyak masalah, tapi momentumnya sudah ada. Saya melihat bahwa di banyak kota dan kabupaten, masing-masing sudah punya momentum, ekonomi di situ sudah mulai bertumbuh, dan kadang pertumbuhannya jauh lebih besar daripada pertumbuhan nasional. Rakyat kecil banyak yang sudah meningkat kadar kehidupannya, ada motor, bisa beli rumah, meskipun makanan memang lebih mahal.
Tulisan Anda terhadap Indonesia kritis dan tajam, apakah Anda bisa melakukan hal yang sama terhadap Malaysia?
Sebenarnya sekarang bisa. Buku saya, Malaysia: A Dream Deferred, banyak yang tidak suka. Namun, di Malaysia kalau mau mengkritik perdana menteri harus cari cara yang lebih elegan dan tidak bisa langsung. Tapi sekarang sudah mulai kesadaran bahwa media harus bebas. Saya sering ngomong langsung dengan menteri-menteri, Pak kalau tidak memberi kebebasan kepada media, nanti media akan kehilangan kepercayaan rakyat. Dan itu jauh lebih bahaya.
Mana daerah yang paling berkesan di Indonesia?
Saya sangat tertarik dengan Palembang. Sungai Musi yang sangat bersejarah, ibu kota Sriwijaya. Jadi benang merah dengan Melaka, Prameswara, sangat kuat. Dan, dari perspektif ekonomi, Palembang punya masa depan yang spesial. Ada sungai, ada sumber alam, dan cara orang berdagang di sana sangat antusias. Saya juga sangat tertarik pada Jawa Timur. Saya suka pada NU (Nahdlatul Ulama), saya suka berdiskusi dengan para kiai NU. Mereka lebih toleran, lebih terbuka
Apakah ini refleksi dari kondisi Islam di Malaysia?
Ya, di Malaysia lebih konservatif, sangat dipengaruhi pikiran salafi dan wahabi.
Bagi saya, di Indonesia ada tradisi intelek yang sangat terbuka. Apa yang ada di NU adalah tradisi keilmuan yang sangat intelek dan world class. Jawa Timur sangat dinamis tapi underestimated. Kota-kota dan kabupaten di Jawa Timur juga lebih rapi, tidak ada orang buang sampah sembarangan, well organized.
Sumber: Kompas, Minggu, 17 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment