-- Bandung Mawardi
ELITE politik, pengusaha, birokrat, atau priayi saat ini sudah kehilangan rasa. Mereka tampak tak memiliki biografi kultural dan spiritual, biografi diri dalam asuhan nilai-nilai dan hikmah abadi. Apakah ini efek dari mekanisme dadi wong (menjadi orang) yang didasarkan pada rasionalitas modern, kepatuhan institusional, tatanan sosial global, atau standardisasi profesionalitas? Belum ada jawaban yang teruji untuk itu. Namun, ada gelagat kuat, hilangnya rasa menjadi indikasi terjadinya kerapuhan manusia modern. Oase kosmologis sirna, tergantikan modul-modul hidup modern yang homogen, terdiktekan oleh nabi-nabi modernitas.
Apakah kita merasa kehilangan rasa? Kenyataan politik, ekonomi, hukum, sosial, pendidikan, dan kultural menunjukkan pada kita bagaimana rasa tak pernah masuk dalam agenda dan pengalaman hidup, pengalaman menjadi manusia modern. Rasa mirip konsep yang kuno, istilah yang mengingatkan kita pada kegelapan masa lalu. Clifford Geertz dalam The Religion of Java (1960) mencatat perihal rasa sebagai konsep yang identik dengan kehidupan kalangan priayi, kalangan kuno. Konon, tatanan kehidupan priayi di Jawa ditentukan tiga titik keutamaan: etiket, seni, dan mistik. Dan, rasa dalam tatanan itu merupakan inti eksistensi kepriayian.
Rasa bukan sekadar rasa, perasaan, sensasi lahiriah, indrawi, tapi rasa adalah makna puncak, nilai tertinggi. Rasa adalah hidup itu sendiri. Orang Jawa memahami rasa untuk menandai pengalaman utuh lahir dan batin. Rasa malah jadi sumber dari konstruksi pandangan dunia. Tafsiran Geertz yang melekatkannya dengan dunia priayi menciptakan terkesan diskriminatif dan mengabaikan situasi dan pengalaman kultural untuk kelas-kelas sosial yang lain. Ketimpangan ini cukup memengaruhi kelanjutan kisah rasa dalam dunia modern yang merasuk dan mengubah tatanan sosial-kultural-politik di Jawa, setidaknya secara hebat sejak tahun 1950-an.
Religiusitas ”rasa”
Religiusitas dianggap memberi ciri pada rasa dalam pandangan dunia Jawa (Reksosusilo, 1983: 129-133). Dalam bahasa Sanskerta, misalnya, rasa diartikan sebagai air, sari, inti, dan suara suci. Piageud (1960) memunculkan petikan teks keagamaan dan hukum pada abad XIV yang bisa jadi rujukan arti: Makatanggawa rasagama ri sang hyang kuataramanawadi (rasa menjadi inti atau pokok ajaran agama, norma, dan perbuatan).
Petikan lain yang mengena: hanut rasaning rajamudara iku ta suma (rasa adalah arti yang dalam, yang mengikat, dan menentukan tindakan). Rasa dalam teks Negarakertagama juga muncul dengan arti pengalaman keagamaan yang dalam. Pewacanaan rasa terus disemaikan dalam pelbagai sastra Jawa. Teks Wedhatama garapan Mangkunegara IV mengartikan rasa merupakan titik pertemuan antara manusia dan Tuhan.
Makna rasa pun memancar dalam hidup keseharian tanpa harus membedakan diri sebagai santri, abangan, priayi, politisi, pujangga, birokrat, atau intelektual. Pemberian arti rasa dalam keseharian dieksplorasi dalam wejangan-wejangan Ki Ageng Suryomentaram (1892-1962). Rasa adalah pijakan dari kawruh jiwa (ilmu dan pengalaman hidup). Ki Ageng Suryomentaram mengakui rasa sebagai modal seseorang menjadi manusia tanpa ciri-ciri yang sektarian, egois, dan fanatik. Rasa justru membuat orang bebas dan merasa diri dalam universalitas karena kemauan menjadi manusia utuh, lahir dan batin.
Pengertian rasa itu membuat para ahli Jawa (Niels Mulder, Franz Magnis-Suseno, Drijarkara, dan Paul Stange) sibuk mencari legitimasi kultural dan spiritual. Penjelasan lumayan terang bisa ditemukan dalam geliat kebatinan di Jawa pada 1950-an. Rasa adalah kebatinan. Di saat itu, kehidupan menemukan dasar-dasar pembenaran dan penyuciannya dalam rasa.
Ambisi kekuasaan, keserakahan atas modal, arogansi sosial, hegemoni teknologi bisa ditanggapi dengan rasa. Penolakan atau penerimaan tak pernah mutlak, tapi diacukan kembali pada rasa sebagai manusia dengan pengalaman kultural-religiusitas.
Paul Stange dalam Kejawen Modern (2009) melihat fondasi rasa atau rasa pangrasa, intuisi hidup, ikut menentukan pemuliaan spiritualitas dalam pelbagai aktivitas hidup di Jawa seusai kemerdekaan. Harmoni merupakan kodrat hidup yang mesti disemaikan dengan rasa. Tapi, belakangan mekanisme hidup dan eksistensi ini hampir punah. Rasa dihilangkan dari agenda kehidupan modern. Rasa menjadi sekadar nostalgia usang.
Ledekan ayam
Penyingkiran atau penghilangan rasa itu terjadi begitu saja, tapi dilakukan secara sistematis karena perubahan dalam ikatan relasional dalam keluarga, paket politik-demokrasi global, pembangunanisme berorientasi pasar, sistem pendidikan yang amburadul, dan sensasi atas hidup yang kian mekanis-teknologis. Kita kehilangan rasa karena dikehendaki, semata karena dianggap harus diganti oleh modul modernitas. Rasa lekas tergantikan dengan konsep-konsep psikologi dan agama yang terbaratkan, dicerabut dari akar kultural Jawa. Sains dan teknologi modern turut mempromosikan pemujaan nalar dalam lupa rasa.
Kita memerlukan model pendidikan humaniora dan pembelajaran kultural yang memuliakan hidup. Rasa tak bisa diajarkan melalui kurikulum pendidikan, instruksi politik, atau indoktrinasi hidup kemodernan. Pendidikan humaniora sejak lama dipraktikkan dalam masyarakat Jawa.
Rasa ada untuk menyemai kehidupan dan membuat manusia pantas dikatakan sebagai manusia. Konon, orang Jawa kalau belum dadi Jawa karena gagal dalam olahrasa bakal merasa malu. Ungkapan Jawa untuk orang yang malu itu sangat mengena, diguyu pitik alias ditertawakan ayam, diledek oleh binatang yang setiap hari menjadi santapannya. Atau kita memang siap menjadi ayam karena kita melalaikan kehilangan rasa?
Bandung Mawardi, Pengelola Bales Sastra Kecapi dan Jagat Abjad Solo
Sumber: Kompas, Sabtu, 23 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment