-- Rosihan Anwar
PENUNDAAN mendadak kunjungan resmi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Belanda pada 5 Oktober 2010 telah menimbulkan pro-kontra.
Alasan Presiden: martabat dan harga diri bangsa Indonesia terusik gara-gara pengadilan singkat (kort geding) Belanda memproses pengaduan aktivis Republik Maluku Selatan (RMS) John Wattilete dan mengabulkannya dalam waktu cepat bersamaan dengan tibanya Presiden. Dalam gugatan disebut tentang ancaman bahwa Presiden Indonesia akan ditangkap oleh pengadilan, tentang Presiden melanggar hak asasi manusia di Maluku, tentang pertanyaan di mana kuburan Soumokil, pemimpin RMS. Kunjungan itu dinilai Presiden penting bagi hubungan bilateral Indonesia-Belanda dan bersifat sangat bersejarah. Mengingat dampak psikologis dari tindakan pengadilan Belanda tadi, maka dianggap keadaan tidak tepat untuk melakukan kunjungan.
Pendapat yang setuju kunjungan tetap dilaksanakan ialah secara hukum gugatan RMS dagvaardiging in kort geding bersifat sipil dan tidak akan mengubah hak kekebalan Presiden serta dampak politik melalui media sangat kecil terhadap hubungan kedua negara. Yang melihat dari sudut komunikasi berpendapat, pihak Indonesia kurang menyadari sistem Belanda berbeda, yaitu pemerintahnya tidak bisa mengatur-atur pengadilan yang bersifat independen. Ada yang ingat kunjungan Presiden Soeharto tahun 1970 ketika kediaman Duta Besar R Taswin diduduki oleh orang-orang RMS. Kendati keadaan parah itu, Soeharto toh dengan nyali melakukan kunjungan dalam tempo singkat dan disambut oleh Ratu Belanda dengan segala kebesaran.
Aspek historis
Sebagai tambahan pandangan, saya ingin mengemukakan aspek historis dalam hubungan Belanda-Indonesia. Selaku saksi sejarah dan wartawan surat kabar Merdeka tahun l945, saya melihat beberapa peristiwa yang mengungkapkan tabiat orang Belanda. Ketika tentara Sekutu mendarat pertama kali di Priok akhir September tiba pula dua wakil NICA-Belanda, yakni Van der Plas dan Kol Abdulkadir. Mereka mengadakan kontak dengan pemimpin Indonesia. Van der Plas bicara dengan Husein Djayadiningrat. Abdulkadir berbicara tiga jam lamanya dengan Soekarno-Hatta tanggal 3 Oktober. Letnan Gubernur Jenderal Van Mook yang mendarat di Jakarta tanggal 2 Oktober menyatakan bersedia mengadakan perundingan dengan pemimpin-pemimpin Indonesia.
Tapi, sikap ketiga pejabat tadi tidak disetujui oleh Pemerintah Belanda di Den Haag yang berpendirian pembicaraan hanya bisa dilakukan setelah gezagsherstel, pemulihan kekuasaan Belanda di seluruh Hindia (indie). Tanggal 3l Oktober atas inisiatif Jenderal Christison diadakan pertemuan antara delegasi Van Mook dan para pemimpin Republik. Soekarno di mata Den Haag kolaborator Jepang dan Republik bikinan Jepang, maka Van Mook cs didesak oleh Pemerintah Belanda tetap dilarang bertemu dengan Soekarno.
Tanggal 14 November naik kabinet Sjahrir. Atas undangan Christison tanggal l7 November delegasi di bawah Van Mook berbicara pertama kali dengan PM Sutan Sjahrir yang akseptabel bagi Belanda karena bukan kolaborator Jepang. Van Mook boleh berbicara dengan Sjahrir, tapi tidak menghasilkan apa-apa. Inggris melakukan tekanan agar sebelum tentaranya meninggalkan Jawa akhir 1946 tercapai persetujuan antara RI dan Belanda. Maka diadakan perundingan Linggarjati November 1946 di mana RI diakui secara de facto berkuasa di Jawa dan Sumatera. Namun di belakang benak Belanda tetap bercokol ide bahwa yang memegang kedaulatan atas Indonesia secara hukum internasional tetap adalah Belanda. Karena itu Belanda tidak setuju PM Sjahrir mendirikan perwakilan RI di luar negeri.
November 1945 Pemerintah Belanda mengambil putusan untuk mengirimkan tentara Belanda sebesar 75.000 orang untuk menguasai Indonesia. Mayjen Schilling, komandan tentara KNIL di Jawa, berpendapat, Indonesia tidak bisa ditundukkan kembali. Direktur NEFIS intel Belanda Kol Spoor berpendapat, Jawa dengan gampang dibersihkan dari kaum ekstremis dengan pasukan Belanda yang ada. Tentara Belanda yang telah tiba di Jawa tidak bisa ditarik dan harus dipakai. Maka dua aksi militer (1947 dan 1948) dilancarkan oleh militer Belanda, tapi gagal.
Belanda dipaksa oleh PBB menyelesaikan konflik melalui Konferensi Meja Bundar tentang penyerahan kedaulatan yang berlangsung 27 Desember l949. Tapi penyerahan kedaulatan menyisakan soal Irian Barat yang dipertahankan oleh Belanda sesuai dengan ketentuan konstitusinya yang dibikin baru. Akibatnya, konflik berlarut-larut karena Belanda berkeras kepala mempertahankan kedaulatannya atas Irian Barat. Barulah pada tahun l962 berkat kegigihan Presiden Soekarno, Irian Barat kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Legalistik
Dari pandangan historis tadi tampak Belanda punya ”penyakit bawaan”, yaitu suka berpikir dan bertindak secara legalistik. Maksudnya, menurut ketentuan konstitusi dan hukum tanpa memerhatikan realitas politik yang terkembang di depan mata.
Belanda memerlukan hampir 60 tahun untuk sampai bersedia mengakui Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Sebelumnya dia hanya berpegang pada penyerahan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949. Bukankah ini gendeng? Itulah saking legalistiknya berlebih-lebihan.
Saya baru terima buku: De Garoeda en de Ooievaar (Garuda dan Bangau) karangan sejarawan Belanda Herman Burgers (84) yang terbit Maret yang lalu. Di dalam studinya terdapat beberapa penemuan menarik, seperti: secara tidak tepat Pemerintah Belanda selalu menyatakan bahwa RI dalam perjanjian Linggarjati telah mengakui kedaulatan Belanda. Seterusnya: sebuah uraian Van Mook tanggal 17 Juli l949 menentang rencana-rencana untuk menempatkan Nieuw Guinea (Irian Barat) di luar penyerahan kedaulatan (l949) tidaklah diberitahukan kepada menteri-menteri Belanda.
Itulah contoh lagi betapa gendengnya cara berpikir Belanda bila menyangkut legalisme. Secara historis dia terus diganggu oleh ambiguitas, omongan berlidah dua, memakai standar ganda. Bayangkan, Pemerintah Belanda bilang tidak mengakui lagi eksistensi RMS sejak tahun 1974, tapi ketika seorang asal Maluku yang sudah jadi warga negara Belanda tetap menamakan dirinya Presiden RMS dan mengajukan gugatan kepada pengadilan berkaitan dengan soal RMS dan mengatakan agar pengadilan Belanda menangkap Presiden Indonesia, Pemerintah Belanda mengambil pendirian tidak bisa intervensi di bidang pengadilan. Padahal, jika benar-benar mau mengutamakan hubungan baik dengan Indonesia, maka Belanda minimal selayaknya menenggang dan menjaga martabat, harga diri, dan rasa goodwill Indonesia terhadap Belanda.
Mudah-mudahan semua ini jadi bahan pembelajaran bagi Belanda. Sebagai penutup, saya pikir Presiden SBY segeralah berangkat mengunjungi negeri Belanda. Ratu Beatrix menunggunya. Sebelum abdikasi menyerahkan takhta kepada putra mahkota Alexander, Ratu Beatrix ingin menyambut kunjungan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono sebagai tugasnya terakhir demi hubungan baik Belanda-Indonesia.
Rosihan Anwar, Wartawan Lima Zaman
Sumber: Kompas, Kamis, 14 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment