-- Sunaryono Basuki Ks
SEJAK terbitnya novel tebal Merajut Harkat karya Putu Oka Sukanta (1999) maka sedikit-demi sedikit muncul buku-buku lain baik novel atau laporan dari orag-orang yang merasa terpinggirkan (subaltern), yang sering disebut sisa-sisa G30 S seperti buku Aku Eks Tapol tulisan Hersi Setiawan. Mereka menanggung stigma eks PKI atau eks Tapol dan dianggap berbahaya sebab dikira bisa meracuni generasi muda dengan pikiran-pikirannya.
Putu Oka Sukanta kelahiran Banjar Tegal, Singaraja adalah salah seorang tokoh Lekra yang pernah dijebloskan ke dalam bui untuk beberapa tahun lamanya tak tahu apa salahnya. Di bui itulah dia belajar ilmu akupunktur dari seorang tahanan beretnis Tionghoa, dengan tujuan menjaga kesehatan sesama tahanan. Karena itulah sekeluar dari penjara dia menjadi ahli akupunktur dan obat-obatan.
Berbeda dengan Oka Sukanta, Nusya Kuswantin bukanlah aktivis, dia adalah pewarta dan kolomnis dan mengumpulkan data mengenai novelnya Lasmi dari lapangan, yakni kenyataan mengenai kekerasan dan kaum terpinggirkan. Anehnya, Lasmi adalah akronim dari Lama Sekali Mimpinya, sebagaimana dia tulis dalam bukunya, sebab novel ini sudah digagas selama lima tahun baru selesai. Sebetulnya, hal ini biasa terjadi di antara para penulis, yang bisa memendam konsep novelnya sampai sepuluh tahun lebih.
Tentu bukan dia satu-satunya pewarta yang menulis novel. Noorca M.Massardi malah menulis dua novel yakni September dan d.I.a dan Presiden.
Setting cerita di sebuah desa dipinggir kota Malang, walau pun nama- nama empat sama sekali tidak disebut. Kita bisa menduganya dengan penyebutan foto studio di Kayutangan (nama jalan, sekarang Jl. Basuki Rachmat) serta Restaurat Oen yang saat itu restoran paling menonjol di Malang dan sekarang menjadi restoran klasik tempat orang-orang tempo doeloe bernostalgia.
Juga disebut kota yang sejuk dengan sejumlah bukit yang indah (yang pasti kota Lawang) dengan Rumah Sakit Jiwa. Nama kota itu pun tak disebut. Juga bukit yang disebut Gumuk, yang kira-kira di Gunung Arjuno.
Di dalam salah satu episode awal kisah ini diceritakan Sut dan Lasmi naik oplet ke kota dan ada pengemis ikut yang dibayari oleh Lasmi pada tahun 1957. Mungkin saat itu masih beroperasi kendaran roda tiga yang disebut demo (bukan bemo yang mulai beroperasi tahun 1962 setelah Asian Games di Jakarta). Demo dengan setir lengkung yang digerakkan ke kanan kiri tetapi bukan diputar sepertui setang bemo sekarang (yang juga sudah tak beroperasi).
Kita tentu tak perlu menduga-duga lebih jauh mengenai desa tempat Pak Kerto, Bu Kerto dan Lasmi hidup, sebuah desa yang tak terlalu jauh dari Lawang karena dari situ Bu Kerto dapat datang ke Gumuk.
Desa yang terpencil itu menjadi setting kisah mengharukan ini: ketulusan Sutikno, guru Sekolah Rakyat di desa yang jujur, menghargai pendapat orang, tenang, semua kebaikan Sut ini pada bagian akhir novel diungkapkan di dalam surat panjang yang ditulis Lasmi di Gumuk 27 Desember 1965 sebelum Lasmi menyerahkan diri kepada aparat keamanan. Dalam realitas agak aneh di sebuah gubuk di bukit Lasmi mampu menulis surat sepanjang 17 halaman buku novel ini.
Namun kita dapat memahaminya, surat tersebut dipakai untuk mengungkapkan perasaan dan pendirian Lasmi mengenai Sutikno yang berperan sebagi narrator kisah ini, tentang anak mereka Bagong yang meninggal, tentang sikap Lasmi di dalam mempertanggung-jawabkan tindakannya di masa lalu sehingga dia melapor dan kalau akan dibunuh, harus disaksikan oleh banyak orang.
Deskripsi yang sangat teliti
Watak Lasmi kita pahami melalui deskripsi yang sangat teliti, yang seolah-oleh dilakukan oleh Sutikno, sang narrator yang kemudian menjadi suami Lasmi. Dimulai dengan pertemuan keduanya saat Pemilihan Majelis Daerah 29 Juli 1957. Lasmi sebagai petugas nampak sederhana tanpa mengenakan pehiasan secuil pun bahkan anting pun tidak.
Kesan pertama ialah Lasmi berani melawan arus! Di bagian ini juga dilukiskan mengenai kebiasaan wanita Jawa dalam memelihara tubuhnya sampai sangat mendetail, mungkin gara-gara pengarangnya adalah seorang kolumnis dan penulis tetap rubrik rumah dari sudut pandang perempuan, padahal deskripsi itu dilakukan oleh Sutikno!
Di dalam novel ini disebutkan Lasmi mengikuti training ke kota saat dia dalam proses digaet oleh Gerwani unuk mengganti nama TK Tunas dengan TK Melati, yang saat itu memang tersebar di mana-mana dan dikenal sebagai TK yang berafiliasi dengan PKI. Istilah training belum dipakai saat itu, dan yang lebih dikenal di kalangan ormas PKI adalah istilah kursus kader. Memang demikianlah "nasib" Lasmi yang buta politik.
Dengan tujuan mulia mendidik anak-anak bahkan membuka kursus buta huruf bagi orang tua di rumahnya, dia tidak tahu bahwa bantuan guru menjahit untuk anak-anak perempuan putus sekolah dimanfaatkan oleh Gerwani untuk bergabung dengan mereka.
Namun, kesalahan kecil itu tidak membuat novel ini menjadi buruk. Mungkin pengarangnya tak mengalami masa itu dan mencobha memindahkan istilah masa kini ke masa lalu. Selamat membaca tentang wajah Jawa Timur tahun enam puluhan.
* Sunaryono Basuki Ks, Novelis kelahiran Malang
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 23 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment