-- Dias Panggalih
KEMAJUAN yang dianggap sebagai hasil dari praksis ekonomi, hukum, dan politik modern tampaknya semakin menimbulkan banyak kesangsian soal pemenuhan hak-hak rakyat secara umum. Berbagai kasus yang menempatkan rakyat kecil sebagai terdakwa berhadapan dengan pengusaha atau penguasa, seperti belakangan terjadi pada dua perempuan tua, janda pahlawan yang dituduh menyerobot tanah Perum Pegadaian, menjadi gambaran kemajuan hidup modern melahirkan ironi bagi mimpi dan jargon-jargon idealnya sendiri.
Demokrasi, sebagai salah satu anak kandung modernisme, kini lebih dirasakan oleh rakyat sebagai sebuah alat bantu saja bagi para elite untuk mengekalkan kekuasaan. Di bagian lain, ia menjadi alasan terselubung untuk menempatkan rakyat umum pada posisi yang secara permanen minor, ditundukkan, dibungkam, dikalahkan. Menjadi paria berkait dengan kewenangannya secara politis, juga ekonomis atau hukum.
Penguasa adalah juru cipta kebenaran di mana rakyat tidak dilibatkan dalam proses penyusunannya. Mereka absen sebagai subyek karena senantiasa diobyektivisasi sebagai pihak penderita yang wajib mematuhi aturan itu.
Rakyat dalam sastra
Dunia filsafat pun begitu minim mewacanakan persoalan ini. Definisi baku dan ideal tentang rakyat tak terdengar, apalagi dipahami pihak yang bersangkutan. Di bagian lain, kekuasaan senantiasa memperoleh jati diri filosofisnya, dengan apa pun nama: diktaktor, demagog, hipokrit, feodalisitik, dan lain-lain. Rakyat ternyata bukan entitas yang penting dan menentukan saat kita membicarakan sistem, ataupun struktur, yang senantiasa mengarah pada kutub penguasa.
Jika sulit kita menemukan wacana rakyat dalam buku-buku filsafat, sosiologi, sejarah, politik, ataupun ekonomi, di dalam khazanah sastra kita dapat memperoleh sedikit kecerahan. Puisi yang menohok, sekaligus mengingatkan kita terhadap peran penting atau remeh dari rakyat, ditulis, antara lain, oleh Bertolt Brecht berjudul Jalan Keluar.
Puisi ini mengisahkan tindakan seorang sekretaris perhimpunan sastrawan yang mengedarkan selebaran di Jalan Stalin, saat pemberontakan rakyat terhadap pemerintah komunis di Jerman Timur, 17 Juni 1953.
Rakyat salah/ dan tak lagi percaya pemerintah./ Mereka hanya bisa kembali dipercaya/ melalui usaha dua kali lipat kerasnya./ Bukankah lebih mudah/ pemerintah membubarkan saja rakyatnya/ dan memilih rakyat yang lain?
Kutipan dari selebaran itu memang menjadi ciri Brecht yang sangat kritis pada kekuasaan. Puisi Jalan Keluar menjadi semacam ”komedi politik” dengan memperlihatkan bagaimana konyolnya kekuasaan yang ”lebih mudah”…”membubarkan saja rakyatnya”. Pesan puisi ini jelas, dan bisa merefleksikan pula realitas politik kita saat ini, di mana rakyat senantiasa dipersalahkan. Aksi demonstrasi, penulisan buku kritis, diskusi, pembacaan puisi, pentas teater sering dijadikan biang kesalahan rakyat yang sementara itu sebenarnya sedang menggunakan hak-hak politiknya.
Kita ingat kembali sebuah puisi terkenal dari Hartojo Andangdjaja, Rakyat, ditulis tahun 1961, saat kata rakyat dijadikan jargon dalam kesusastraan dan politik. Masa 1960-an adalah masa pertentangan ideologi dan adu kekuatan antara kelompok-kelompok sastra yang beraroma politis. Hartojo tampaknya tidak tertarik untuk terlibat secara praktis, walaupun puisinya membicarakan rakyat dalam arti politik juga dalam arti kultural.
Siapa rakyat, apa posisi dan perannya di hadapan negara, itu yang dipertanyakannya seperti kutipan puisinya, Rakyat, ini:
Rakyat ialah kita/ jutaan tangan yang mengayun dalam kerja... Rakyat ialah kita/ beragam suara di langit tanah tercinta... Rakyat ialah kita/ puisi kaya makna di wajah semesta..., dan Rakyat ialah kita/ darah di tubuh bangsa/ debar sepanjang masa.
Puisi semacam ini terasa segar dan mencerahkan ketimbang pidato-pidato politik yang bahasanya justru lebih rumit. Saat menyimak puisi itu, kita segera dapat mempertimbangkan kesimpulan Hannah Arendt tentang tiga hal yang menentukan aktualitas seorang manusia: kerja, karya, dan tindakan.
Dan kita, tentu sebagai bagiannya tahu, rakyat sudah melakukan kerja keras, setidaknya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Rakyat pun sudah menghasilkan banyak karya, di berbagai dimensi. Terakhir, rakyat tentu sudah bertindak, dalam pengertian Arendt adalah aksi politik, dengan berbagai caranya, walaupun tidak sekadar dalam bentuk protes, demonstrasi atau perlawanan terhadap penguasa.
Namun, di sisi lain, apa yang dapat kita temukan dari penguasa? Apa yang telah diperbuatnya untuk rakyat ketika korupsi semakin merajalela, penggunaan kekerasan masih terjadi, arogansi dan kemewahan pejabat menebar di tiap ruang kekuasaan, aturan dan undang-undang lebih berpihak pada pemilik kapital, dan rakyat ... dan rakyat yang tak berdaya di hadapkan pada meja pengadilan. Sementara keadilan, juga penentunya, ternyata sudah dibeli oleh penguasa.
Ke mana rakyat pergi untuk menemukan kebenarannya? Tak ada. Di mana-mana hanya kesalahan yang didapatnya.
* Dias Panggalih, Peminat Sastra dan Politik, Tinggal di Tangerang, Banten
Sumber: Kompas, Sabtu, 20 Maret 2010
2 comments:
Rakyat menjadi alat. Alat tak pernah mengeluh telah menjadikan raja2 dlm masanya.
Rakyat menjadi alat. Alat tak pernah mengeluh telah menjadikan raja2 dlm masanya.
Post a Comment