-- Ade Febransyah*
PERTANYAAN ”Apa lagi berikutnya?” dalam lanskap persaingan bisnis yang disesaki oleh praktik kelatahan dan keseragaman, terlihat begitu menakutkan bagi pelakunya. Dalam situasi seperti ini, Tim Brown menawarkan pemikiran baru, ”design thinking”, yang dapat mengantar pada oportunitas baru.
Ada keterbatasan kemampuan kognitif untuk memahami apa yang terjadi di sekitar kita. Jika ditanyakan ke masyarakat pengguna sekalipun, mereka sudah terlalu malas untuk menyampaikan apa lagi yang diperlukan. Namun, pelaku bisnis tidak bisa mengelak kenyataan bahwa jika tidak dilakukan inovasi, perusahaan dianggap tidak lagi kompeten untuk memenangi persaingan.
Inovasi dapat dilihat sebagai suatu proses pengambilan keputusan. Tujuannya adalah menyelesaikan problem yang tepat dengan cara yang tepat. Dalam menjalaninya, selalu diawali dengan pengenalan problem sesungguhnya yang ingin diselesaikan. Ambil contoh, fenomena iPod dibandingkan pemutar MP3 lainnya. Kejelian Apple dengan model bisnis iTunes-nya membuat iPod menjadi solusi untuk menjawab kemudahan mendapatkan lagu yang diinginkan pendengarnya.
Buku Change by Design dapat menjadi referensi penting bagi siapa pun yang ingin bermain di dunia inovasi. Ditulis oleh Tim Brown, CEO konsultan desain ternama IDEO, buku ini mengajukan pemikiran baru dalam bisnis, yaitu pemikiran desain (design thinking). Berbeda dengan pemikiran konvensional dalam perencanaan bisnis yang sering diawali dengan justifikasi terhadap oportunitas baru yang diusulkan, pemikiran desain membiarkan pelakunya mengawali kegiatan dengan ketidaktahuan.
Tahapan pemikiran
Dalam merealisasikan suatu oportunitas baru, pemikiran desain dilakukan dengan tahapan: (1) mendefinisikan problem, (2) menghadirkan dan mengevaluasi beberapa alternatif solusi, (3) merevisi dan mengembangkan alternatif yang lebih superior, (4) memilih alternatif terbaik dan mengeksekusinya. Terlihat akrab bukan? Tanpa disadari sebenarnya pemikiran desain banyak dipraktikkan dalam keseharian. Lantas di mana kontribusi pemikiran desain dari Tim Brown ini?
Pendefinisan problem dilakukan dengan mengadopsi frase terkenal dari Peter Drucker, converting need into demand (hal 39). Tim menyebutkan tiga elemen penting dalam pendekatan holistik untuk mendefinisikan problem, yaitu: wawasan, observasi, dan empati (hal 40-55). Tidak ada cara lebih baik untuk mendapatkan wawasan tentang persoalan kecuali melakukan observasi langsung ke lapangan. Pejalan kaki, pengayuh sepeda, mahasiswa, ibu rumah tangga, dan siapa pun yang menjalankan kesehariannya merupakan sumber berharga bagi pencarian oportunitas baru.
Misi utama dari pemikiran desain adalah mentranslasikan observasi menjadi suatu wawasan utuh tentang oportunitas baru sampai akhirnya menjadi barang dan jasa yang betul-betul dicintai penggunanya. Untuk merealisasikannya, kedalaman empati terhadap mereka yang ingin dilayani menjadi penentu keberhasilan dalam menjawab persoalan mereka.
Sampai tahap pendefinisian problem ini, pandangan skeptis terhadap pemikiran desain tidak terhindarkan. Dengan hanya mengandalkan observasi, pemikiran desain akan sulit menghasilkan produk baru yang bersifat terobosan karena produk yang ditawarkan hanyalah hasil ekstrapolasi dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat penggunanya selama ini. Sebuah pekerjaan rumah tersendiri buat Tim dan pendukung pemikiran desain untuk mengembangkan teknik-teknik observasi yang, kalau bisa, dapat menyelami fantasi masyarakat yang akan dilayani.
Setelah berhasil mengidentifikasi persoalan, masuklah pada tahap yang dipenuhi keambiguan, yakni pengembangan konsep. Jika tidak dijalani dengan hati-hati, proses ini akan menyesatkan penjelajahnya. Menurut Tim, ketika dihadapkan pada keraguan tersebut, yang bisa dilakukan adalah rapid prototyping, membuat prototipe dengan cepat (hal 87-101).
Proses iteratif prototipe dan perbaikannya merupakan siklus trial and error yang harus dilewati dalam mencari konsep produk terbaik. Semakin cepat menghasilkan dan memperbaiki prototipe, semakin cepat pula mendapatkan konsep produk terbaik. Dalam pemikiran desain membuat kesalahan diperbolehkan, asal bisa cepat dikoreksi. Inilah rupanya yang membuat pemikiran desain begitu manusiawi.
Membangun prototipe tidak harus lewat ilmu dan teknologi yang sulit dan mahal. Sebuah gambar pun dapat menjadi prototipe untuk konsep layanan. Yang menarik untuk diamati dari praktik terbaik IDEO adalah adanya tim kolaboratif dengan individu-individu yang multiperspektif dan minat. Komposisi tim seperti itu merupakan prasyarat keberhasilan dalam menghasilkan prototipe secara cepat.
Yang perlu dikritisi dari praktik rapid prototyping ini adalah produk yang dihasilkan hanyalah ”cukup baik”. Pendekatan pemikiran desain diragukan bisa menghadirkan kemahakaryaan suatu produk. Meskipun demikian, langkah Tim untuk mengampanyekan pemikiran desain sangat terbantu kesuksesan Tim dan pengikutnya mempraktikkan ide ini.
Kontribusi pemikiran
Pada bagian ke dua, Tim menawarkan relevansi dan kontribusi pemikiran desain dalam menyelesaikan persoalan yang tidak semata-mata bisnis, tetapi juga permasalahan sosial (hal 155). Kasus yang menarik dan menyentuh hati datang dari sebuah layanan kesehatan Aravind Eye Hospital di Madurai, India (hal 207). Didirikan tahun 1976 oleh Dr G Venkataswamy, biasa dipanggil Dr V, layanan kesehatan mata ini ditujukan untuk mereka yang tidak berpunya.
Anggapan bahwa pelayanan kesehatan harus mahal ditanggalkan. Berbekal rasa empati, elemen penting dalam pemikiran desain, terhadap masyarakat kurang mampu, Dr V membangun sistem layanan kesehatan yang efisien dengan tetap memenuhi standar medis. Hasilnya adalah sebuah inovasi sosial di bidang kesehatan. Dengan prosedur operasional berantai, rumah sakit ini mampu menangani 250.000 operasi dalam setahun.
Membaca buku Change by Design seperti membangunkan dari keterlenaan. Tanpa disadari, bekal untuk menjadi pemikir desain telah dimiliki. Oportunitas inovasi untuk membuat hari esok lebih baik ada di sekitar kita, terbuka lebar untuk ditemukan. Para wirausaha, eksekutif puncak di perusahaan; pejabat publik atau siapa pun yang tergerak untuk menjadi pemecah persoalan akan menemukan manfaat buku ini.
Kalaupun ada kekurangan dari buku ini seperti tidak adanya instruksi manual untuk mengimplementasikan pemikiran desain, buku ini tetap membesarkan hati pembacanya. Dengan segala keterbatasan yang kita miliki, berpikir desain tetap menawarkan solusi elegan dalam berinovasi. Untuk menjalaninya, cobalah memaknai penggalan lagu dari supergrup progresif YES berikut: /So take your time/ Look round and see/ the most in time/ is where you’re meant to be....
* Ade Febransyah, Pengajar Prasetiya Mulya Business School
Sumber: Kompas, Minggu, 14 Maret 2010
No comments:
Post a Comment