JAKARTA (Lampost): Wartawan senior Budiman S. Hartoyo meninggal dunia di Rumah Sakit Thamrin, Jakarta, Kamis (11-3), sekitar 14.20. Jenazah sang jurnalis literair itu disemayamkan di rumah duka di Jatibening II, Bekasi, Jawa Barat. Rencananya jenazah dimakamkan di Taman Permakaman Umum Pondok Rangoon, Jakarta Timur, selepas salat jumat ini (12-3).
Sejak enam bulan lalu, mantan Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Reformasi ini sakit komplikasi jantung, liver, dan ginjal. Mantan redaktur Media Indonesia Minggu itu dirawat sejak 18 Januari lalu. Almarhum meninggalkan seorang istri bernama Tuti Mariati tanpa anak.
BSH, demikian panggilan akrabnya lahir di Solo, Jawa Tengah, 5 Desember 1938. Pria yang juga akrab disapa Pak De itu mulai bekerja di majalah berita mingguan Tempo sejak 1972. Bersama majalah itu, hingga dibredel pada 1995 oleh Menteri Penerangan Harmoko atas perintah Presiden saat itu Soeharto.
Sebelumnya, di Solo, Jawa Tengah, dia pernah bekerja di mingguan Surakarta (kemudian berganti nama menjadi Warta Minggu), mingguan Patria, dwipekanan Genta, penulis lepas mingguan Adil (Solo), dan Masa Kini (Yogyakarta).
Sejak 1966 dia bekerja sebagai redaktur RRI Surakarta dan menjadi koresponden beberapa media terbitan Jakarta, termasuk Kantor Berita Nasional Indonesia (KNI). Bersama sejumlah seniman Solo, dia merintis berdirinya Dewan Kesenian Surakarta yang diresmikan oleh Prof. Dr. Umar Kayam.
Di awal era reformasi, Budiman sempat menjadi salah seorang deklarator organisasi wartawan Aliansi Jurnalis Independen (1995). Ia kemudian mendirikan PWI-Reformasi (1998). Dalam Kongres Nasional I PWI-Reformasi di Bandungan, Salatiga, Jawa Tengah, 22--24 Maret 2000, dia terpilih sebagai ketua umum pertama. Sedangkan dalam Kongres Nasional II, 22--24 Maret 2003 di Jambi, dia terpilih sebagai ketua Dewan Kehormatan Kode Etik.
Dua buah feature-nya, The Ballads of Aryanti Sitepu dan Empat Hari Menyusup di 'Sarang Teroris' yang dimuat di Jurnal Pantau, dinilai sebagai feature investigasi yang ditulis dengan gaya jurnalisme literair. Selain sebagai wartawan yang selalu berusaha bersikap profesional dan sangat concern dengan penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, serta penulis jurnalisme literair yang langka, Budiman juga dikenal sebagai penyair.
Sejak 1970-an, beberapa puisinya dimuat di beberapa majalah sastra terkemuka seperti Basis, Budaya (Yogyakarta), Gelanggang, Mimbar Indonesia, Sastra, Budaya Jaya, Horison (Jakarta).
Kumpulan puisinya, Sebelum Tidur (1972) sudah tiga kali dicetak ulang. Oleh Depertemen Pendidikan Nasional dijadikan sebagai salah satu bacaan bagi anak-anak SMA. Pada 2004, delapan puisinya tentang ibadah haji diterbitkan bersama beberapa puisi karya penyair Taufiq Ismail dan Sutardji Calzoum Bachri dalam antologi kecil Puisi-Puisi Haji. (MI/U-3)
Sumber: Lampung Post, Jumat, 12 Maret 2010
No comments:
Post a Comment