-- Ridha Al Qadri
PADA pertengahan tahun 1970-an, dikenal novel dan film Ali Topan yang hingga saat ini dianggap berhasil melukiskan atau mewakili semangat dan kegelisahan anak muda pada awal masa otoritarianisme Orde Baru. Dalam filmnya, Ali Topan yang diperankan oleh Junaedi Salat dan Yatie Octavia (Anna Karenina) sebagai lawan mainnya, kita menemukan sebuah kamar anak muda yang merefleksikan sebuah konstruksi kultural dari hidup anak muda kala itu, dalam kaitannya dengan rumah dan lingkungan sosialnya. Sebuah konstruksi yang ternyata masih hidup hingga hari ini.
Ali Topan mengisahkan empat anak SMA yang suka naik motor, kluyuran di jalan-jalan kota metropolitan (Jakarta) hingga larut malam. Pada salah satu adegan, sepulang kluyuran, Ali Topan berdebat dengan ayahnya soal perkembangan sekolahnya. Kemudian, sambil agak dongkol kepada ayahnya, dia masuk kamar. Dalam kamar itu tampak poster-poster dan berbagai foto di dinding, di samping perangkat umum, seperti meja, lemari, dan majalah populer. Dengan pintu yang ia biarkan terbuka lebar, Ali Topan menyalakan musik dari radio dengan suara keras.
Sebagaimana umumnya, dia adalah anak muda yang dalam klasifikasi sosialnya sering dipahami sebagai manusia dalam masa transisi ke dewasa. Transisi ini mengandung implikasi yang kompleks, terutama hubungannya dengan orangtua. Masa transisi sering dicirikan oleh proses identifikasi anak remaja terhadap sesuatu yang dianggap ideal, entah orangtua atau sesuatu yang berbeda, bahkan bertentangan dengan orangtua mereka.
Simbolisme kamar
Ada tiga hal yang bisa dicermati dari konstruksi budaya sebuah ”kamar” anak muda. Pertama, soal pentingnya barang-barang dalam kamar remaja, seperti poster dan tape recorder. Kedua, signifikasi barang-barang ini dalam relasinya dengan ruang privat lain pada sebuah rumah, khususnya sebagai medium pembedaan dengan budaya orangtua. Ketiga, pergeseran ruang budaya pemuda dari kamar ke ruang kultural di luar rumah, seperti kafe.
Dalam Home Possessions, Daniel Miller mengartikan kehidupan di balik pintu rumah (culture behind closed door) sebagai situs ”hubungan dan kesendirian” (Miller, 2001:1). Pada satu sisi, seorang anggota keluarga bisa menjalin keintiman dengan anggota keluarga lainnya dalam rumah. Pada lain sisi, di kamar pula seseorang dapat menutup diri.
Meskipun bisa sebagai tempat menyendiri, kamar merupakan wilayah anak muda untuk menghadapi dunia secara tidak langsung, yakni melalui televisi, majalah, koran, internet, poster dan radio. Kamar jadi ruang pribadi anak muda yang justru secara bersamaan menghadirkan hal- hal dari dunia luar rumah.
Benda-benda dan fasilitas dalam kamar jadi penghubung antara pemukim kamar dan dunia di luar kamar. Misalnya, poster Albert Einstein yang ditempel pada dinding kamar memiliki arti sebagai orang pintar. Begitu juga poster para pemusik, seperti Jim Morrison, Slank, atau lainnya. Menjadi upaya seorang anak muda mengintegrasikan semangat ”perlawanan” terhadap kemapanan dan kedegilan.
”Perlawanan” itu pada umumnya bermula pada ketidaksepakatan atau terciptanya jurang ideal antara diri anak muda dan orangtuanya.
Ruang kamar pun kemudian tidak hanya dijadikan zona simbolis untuk penegakan eksistensi anak muda, tetapi juga menjadi medan perjuangan ”politik” anak muda dalam percaturan hidupnya di dalam rumah. Bagaimana menunjukkan identitas pemuda di hadapan orangtua mereka. Bagi anak remaja, kamar adalah wilayah pertarungan politik eksistensial dalam sebuah rumah.
Kamar di luar
Sebagian kalangan menganggap di ruang kultural eksternal itu terjadi sebuah proses identifikasi yang ideal. Sebagian tentu membantahnya dengan keras. Polemik ini tentu saja menjadi masalah berkepanjangan semua pihak yang merasa bertanggung jawab pada dunia anak muda. Tapi setidaknya, persoalan ini muncul akibat rumah dan kamar-kamarnya, tidak lagi dapat menghidupi atau dihidupi oleh imajinasi, sensasi, dan idealisasi para penghuninya.
Mungkin karena ada tradisionalisme yang ketat dan kaku di situ. Ada ”orangtua” di situ. Sebuah masalah, yang tentu saja dalam dimensi spasial ataupun representasional dapat direfleksikan pada ”rumah” dan ”kamar-kamar” lain yang lebih lapang. Adakah kita hidup saat ini sibuk mencari ”rumah”, ”kamar”, dan ”orangtua” lain, ketika hal- hal yang sama secara tradisional terlalu dirasa memenjara?
Inikah alasan kenapa kebebasan begitu dibela? Kebebasan begitu kebablasan? Bukan giliran tulisan ini menjawabnya. Tapi Anda.
* Ridha al Qadri, Studi Kajian Budaya dan Media Pascasarjana UGM
Sumber: Kompas, Sabtu, 13 Maret 2010
No comments:
Post a Comment