Sunday, March 21, 2010

Musik dan Nasionalisme

-- Herry Dim

KITAB tertua yang mulai memerkarakan ihwal musik nasional yang saya miliki adalah Musik di Indonesia: dan Beberapa Persoalannya, berupa kumpulan tulisan J.A. Dungga dan L. Manik, terbitan Balai Pustaka, 1952. Sayang, pada saat membuat catatan ini, buku tersebut tak berhasil ditemukan di rak buku perpustakaan saya. Akan tetapi, saya ingat salah satu tulisan pasangan kritikus ini, antara lain berupa ulasan terhadap konser musik ”Gentono”, konser musik orkes simfoni yang digabungkan dengan musik gamelan, di Gedung Merdeka Bandung, 1950.

Kedua pengkritik ini menyampaikan kritik keras dengan pengamsalan sebagai upaya mencampurkan minyak dan air, dan/atau lugasnya dinilai sebagai pekerjaan sia-sia. Kritik tersebut tentu saja dilengkapi dengan alasan-alasan teoritisnya. (bagian berikut ini saya mulai ragu dengan ingatan saya) Kedua penulis tersebut menyatakan bahwa untuk meng-”Indonesia” atau menjadi Indonesia, itu tak perlu dengan mencampurbaurkan hal yang tak mungkin. Akan tetapi, biarlah dengan sebaik-baiknya memainkan orkes simfoni sambil sebaik-baiknya bisa menangkap semangat Indonesia. Sama dan sebangun dengan sebaik-baiknya memainkan gamelan, disertai dengan sebaik-baiknya menyelami ke-Indonesia-an.

Masa itu, kiranya, adalah titik didih semangat semesta bangsa untuk menjadi Indonesia, nasionalisme. Di bidang seni lukis, misalnya, S. Sudjono melalui Persagi (1937) dan yang terdekat dengan situasi kemerdekaan adalah Seniman Muda Indonesia, Madiun (1946); begitu keras ingin menjauhkan penggayaan yang kebelanda-belandaan, dan apalagi kepada cara pandang negeri sendiri yang turistik. Pada masa-masa itulah munculnya cemooh mooi Indie (Hindia molek) yang padahal, menurut pandangan S. Sudjojono, Hindia (Indonesia) saat itu sedang bergelora, mengepalkan tinju, berdarah-darah untuk revolusi dan kemerdekaan. Mestinya kenyataan (jiwa ketok) itulah yang dilukiskan.

Tak bisa dilupakan adalah peristiwa paling intelek di dalam rentang sejarah kebudayaan kita yaitu ”polemik kebudayaan” yang terjadi pada 1930-an. St. Takdir Alisjahbana berhadap-hadapan dengan Sanusi Pane, Dr. Poerbatjaraka, Dr. Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, Dr. M. Amir, Ki Hajar Dewantara; berdebat untuk membawa Indonesia ke kemajuan dengan dua pilihan jalan antara ke ’kecerdasan’ Barat atau ke ’keadiluhungan’ Timur.

Gentono, seperti digambarkan tadi, rupanya berada di dalam semangat ”polemik” tersebut dengan upaya mempertemukan dua kutub yang diperdebatkan itu. Maka sudah jauh berbeda lagi semangatnya dengan ketika Harry Roesli (1951-2004) membuat ”Titik Api” (1971) yang menggabungkan rock `n roll dengan gamelan degung, Eberhard Schoener dengan ”Bali Agung” (1970-an), Guruh & Band of Gypsi, hingga Krakatau yang menggabungkan jazz dengan ragam bebunyian Sunda.

Disebut berbeda karena ”ruang ketidakmungkinan” itu justru dirasakan menarik dan terlihat sebagai ”kemungkinan” bagi sejumlah musisi kini. Jadi, pola kerjanya tidak lagi di dalam ketegangan polemik, melainkan di dalam kegirangan atau tepatnya ghirah pengelanaan (eksplorasi semesta kemungkinan meski dari hal yang tidak mungkin sekalipun).
**

Akan tetapi, anehnya, saya termasuk orang yang tidak percaya bahwa ada musik nasional, musik nasionalisme. Entah, mungkin kesalahannya karena saya terlalu dirasuki pemikiran Arthur Schopenhauer. Sedangkan masuknya ke ruang pemikiran Schopenhauer itu atas bimbingan Herbert Read melalui ”The Meaning of Art”-nya. Read berdasarkan Schopenhauer, berkeyakinan bahwa musik itu adalah kesenian yang paling murni. Maka untuk merasakan dan memahaminya, tidak seperti kepada sastra, harus di mulai dengan pemahaman kata dan sistem bahasa; tidak harus melalui medium seperti halnya arsitektur lewat bangunan, lukisan lewat sebingkai imaji rupa; melainkan langsung kepada produksi bunyi. Maka, (langsung lompat ke prinsipnya), sesungguhnya musik dari manapun bisa dinikmati oleh insan yang berasal dari mana pun.

Pembahasaannya yang kemudian populer; musik itu seni yang universal; kalimat tepatnya dari Schopenhauer, musik wujud yang bisa menjadi koordinat tonggak subjektif universal - jarak objek. (maaf jika pada bagian ini salah, maklum sudah mulai pelupa) Bahkan Pavlov melakukan serangkaian uji coba musik terhadap hewan, terutama anjing, untuk pembuktian rekasi perilaku serta khususnya ”refleks yang terkondisikan.” Di kemudian hari, ada juga yang melakukan eksperimen musik untuk mendorong pertumbuhan tanaman. Itu sekadar gambaran ”ngawur” ihwal sifat kesemestaannya musik. Sekaligus gambaran ”iseng” bahwa musik itu sesungguhnya tidak bernegara sekaligus bisa pergi berlintas negara, bahkan bisa sampai ke republik anjing dan republik tanaman.

Munculnya klaim nasional(isme) di dalam musik adalah manakala ke dalam musik mulai diimbuhkan kata-kata dalam bentuk syair atau lirik. Untuk uji coba pembuktiannya bisa dengan cara sederhana, misalnya lagu ”Halo Halo Bandung” kita cabut kata-katanya diganti dengan gumam atau la la la, lantas dinyanyikan dengan melodi dan ritme yang sama. Maka yang tersisa adalah musik dengan suasana riang dan sedikit mendorong semangat. Perdengarkanlah musik yang telah tanpa kata tersebut ke orang Soviet, Aborigin, dan bangsa apa pun di dunia; kemungkinan terbesarnya mereka itu akan menangkap musikalitasnya, akan menangkap keriangan itu. Lain halnya manakala kata-kata diterakan kembali; pendengar akan mulai bertanya-tanya bahasa apa itu? Apa artinya? Lantas mencari kamus dan seterusnya.

Maka kemudian, musik nasional(isme) itu arahnya lebih kepada ”teks” (kini pengertiannya lebih luas lagi dari sekadar kata-kata), ketimbang kepada musiknya itu sendiri. Propaganda politik, propaganda ideologi, dan bahkan penyampaian doktrin-doktrin; itu antara lain dilakukan melalui musik dengan cara ”menunggangkan” kata-kata (hingga diskursus) terhadap musik. Ambil lagi contoh Lenin Prize yang pada masanya pernah menjadi penghargaan paling bergengsi di Russia, manakala memenangkan ”Simphony No.7”-nya Sergei Prokopief, murni karena kepentingan propaganda diskursus ideologisnya. Kini lembaga penghargaan dan negaranya telah bubar, tetapi anehnya Simphony No. 7 tidak ikut bubar, ia malah kembali ke dirinya, kembali menjadi anaknya Prokopief dan tak ada kaitan apa-apa dengan lainnya selain dengan keindahan musiknya.
**

AKAN tetapi, memang ada juga musik yang lahirnya itu atas dasar untuk menyampaikan kata-kata, bukan saja dalam artian kata-kata di dalam lirik lagu tetapi juga bisa berbentuk cerita atau sekadar penyampaian informasi. Salah satunya adalah musik di dalam tradisi troubadour (untuk pria) dan trobairitz (untuk perempuan). Tradisi yang mulai tumbuh di abad ke-7 di wilayah Occitania (Italia), Spanyol, dan Yunani ini memang merupakan musik untuk menyampaikan puisi. Kelak menyebar ke Eropa menjadi minnesang, di Jerman disebut trovadorismo, galicia di Portugal, trouveres di Prancis, dan lain-lain. Di kemudian hari sampailah pula ke Indonesia menjadi Abah Iwan Abdulrachman, Bimbo, Leo Kristi, Dede Harris, Iwan Fals, Doel Sumbang, hingga Mukti-Mukti.

Ini sekaligus untuk menjelaskan bahwa bentuk musik adalah bentuk musiknya itu sendiri, troubador sama sekali tidak berarti musik (nation) Italia, melainkan produk kebudayaan manusia yang kebetulan awal mulanya lahir di jazirah Italia. Dengan kata lain, tidak di dalam urut-urutan tarikh atau ”will” sebuah negara dengan sadar (atau pun tak sadar) menciptakan seni tersebut. Dengan demikian, bangsa lain di luar bangsa Italia ketika memainkan kategori jenis musik tersebut, tidaklah serta merta kemudian menjadi berbangsa/bernegara Italia. Pola sebaran seperti ini akan terlihat pula pada ranting sebaran musik jazz yang awal mulanya lahir dari masyarakat Afro-Amerika, dan akan lebih banyak lagi contoh yang beriringan dengan mulai ditemukannya teknologi rekaman, radio, televisi, hingga komunikasi internet seperti sekarang ini.

Melihat nasionalisme di dalam musik, pada akhirnya tidaklah bisa sepicik cara pandang Soekarno manakala memberangus Koes Plus. Maka ketika melihat sekelompok anak muda berpakaian kumal penuh aksesoris serta rambut dijocongkan model punk lengkap dengan warna jreng-nya, tidak bisa kita serta merta mengecap mereka itu anasionalis, ke-Inggris-Inggris-an (mengingat kebudayaan punk bermula dari Inggris).

Lihat saja ketika mereka ingin berkata-kata lewat musiknya yang superkeras dengan speed (bukan tempo) yang cepat serta suara penyanyinya yang cowong, antara lain menyampaikan lirik sebagai berikut: sia anjing teu gableg moral/sia goblog hirupna bangsat/aing hirupna kumaha aing/aing teu hayang hirup siga sia/sia hirupna loba dosa/sia alusna asup ka naraka/sia anjing sia goblog/sia anjing sia bajingan/sia bangsat hirupna bangsat/sia bangsat para pejabat.

Saya bertanggung-jawab sepenuhnya untuk mengatakan anak-anak muda yang suatu ketika sering datang ke rumah tersebut, dalam berbagai hal sangat nasionalis. Lirik lagunya tersebut jelas sekali memerkarakan keadaan negerinya, dan menghendaki adanya perbaikan bagi negerinya. Padahal mereka itu sehari-harinya antara lain adalah calo angkot, penjual bensin 2 tak, dan tukang tambal ban.***

* Herry Dim, pelukis dan pecinta musik.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 21 Maret 2010

No comments: