Judul Buku: Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia
Pengarang: Agus Noor
Penerbit: Bentang Jogjakarta
Cetakan: Pertama, Februari 2010
Tebal Buku: 166 halaman
CERPENIS Agus Noor kembali menerbitkan kumpulan cerpen. Tajuknya cukup menggugah: Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia. Kejutan apakah yang terjadi di dalamnya?
Agus Noor masih menunjukkan kepiawaian sebagai pencerita di dalam sejumlah cerpennya kali ini. Rupanya, sebagian merupakan perwujudan konseptualisasi ''cerpen mini'' sebagaimana kredo yang pernah dilansir Agus di sebuah media massa. ''Cerpen mini''? Ya, cerpen yang menurut Agus sanggup meringkus sejumlah peristiwa dalam satu narasi pendek.
Strategi literer yang dikembangkan dalam kumpulan cerpennya kali ini juga masih cukup setia pada kisah seputar cinta dan konsistensi menggumuli berbagai persoalan sosial-kemasyarakatan. Yang menarik adalah cara ungkap terhadap berbagai hal tersebut. Agus membungkusnya dengan nuansa surealis, absurd, dan jenaka.
Lihatlah, misalnya, pada cerpen bertajuk Perihal Orang Miskin yang Bahagia (hlm 153-166), yang juga pernah dimuat di Jawa Pos. Dalam cerpen tersebut, Agus memainkan imaji bahwa orang miskin bisa saja tetap merasa bahagia dengan kemiskinannya. Bahkan, dalam sejumlah hal, dia malah bisa mengeksploitasi kemiskinan tersebut menjadi menguntungkan dalam konteks perjalanan nasib ke depan. Digambarkan oleh Agus bahwa orang miskin ternyata malah bisa berobat dengan nyaman, cukup menunjukkan kartu tanda pengenal yang merupakan penegas status sosialnya sebagai orang miskin.
Cara pandang penceritaan semacam itu tentu saja menjadi bernilai relevan, mempunyai nilai kontekstualisasi dengan kondisi masyarakat kita kini. Betapa banyak kamuflase atas nasib yang menimpa dan berusaha ditutupi dengan cara pemanfaatan penderitaan itu sendiri demi target sejumlah kemudahan dan pemakluman. Kekuatan literer semacam itu terletak pada teknik penceritaan yang memuat kedalaman kenaifan dengan bumbu kejenakaan yang sublim.
Membaca karya-karya Agus, tentu yang terutama didapat adalah soal kecerdikan pengolahan tema keseharian. Hubungan frasa per frasa, antarkalimat yang dibangun, hampir selalu ''menohok'', penuh upaya eksperimentasi gagasan. Dengan cara seperti itu, tema tertentu yang digarap, seperti tentang kematian, tampak begitu menggelitik dibaca karena sodoran sudut pandang alternatif yang diberikan teks tersebut.
Hal itu tampak pada cerpen yang bertajuk Variasi bagi Kematian yang Seksi yang terbagi menjadi dua subjudul, yakni Variasi Kematian Pertama dan Variasi Kematian Kedua. Kedua subjudul itu menceritakan perihal betapa misterius datangnya kematian, dengan kemungkinan adanya percakapan antara diri yang akan atau sudah mati dengan kontras tokoh di luar dirinya. Kisah tersebut dibangun dengan alur absurdis, meskipun tetap menyisakan kejelasan pada bagian ending (akhir cerita). Misalnya, ternyata, pada subjudul pertama, kematian itu sudah terjadi pada pukul 09.00. Lantas pada subjudul kedua, kematian itu datang sebelum sang tokoh bercerita kepada orang lain. Padahal, si tokoh tersebut ingin sekali menceritakan.
Contoh atas dua cerpen Agus di atas, saya anggap sebagai bagian cukup penting untuk menandai ''puncak-puncak'' capaian estetik kehadiran kumpulan cerpen ini. Dari dua cerpen tersebut, bisa disidik bahwa Agus sangat tahu pilihan sudut pandang penceritaan yang mengundang rasa penasaran. Aspek fiksionalitas yang dibangun Agus pun merupakan fiksionalitas yang merangsang nalar menjadi selalu kritis. Hampir tidak ada kesan ketergesa-gesaan atau kedodoran dalam menggarap alur. Itulah yang membuat Agus tampak selalu mempunyai ''napas panjang'' dalam mengatur ritme penceritaan.
Meminjam rumusan sastrawan Bakdi Soemanto, hal itu merujuk pada penghadiran cerpen-cerpen yang engaging. Yakni, sodoran kata-kata dalam alur penceritaan yang dibangun selalu mengundang pesona. Bahkan, jika dicermati secara jeli, bangunan kata yang dipilih Agus merupakan diksi selektif, dengan kecenderungan susunan frasa yang mengarah pada penulisan ''tertib sajak''. Seperti yang terkesan sangat kuat dan menonjol pada cerpen Perihal Orang Miskin yang Bahagia tersebut.
Apakah kemudian apa yang dicapai Agus adalah otentik? Saya kira, itu masalah lain. Itu pulalah yang sesungguhnya menarik dibedah lebih jauh. Jika itu terjadi pada saya, ternyata sebagai reseptor, saya cukup susah membebaskan teks cerpen Agus dalam kemandirian, tanpa anasir intertekstualitas atau keterpengaruhan yang kuat atas teks lain di luar bangunan teks Agus sendiri. Meski, di dalam ranah kajian sastra, adanya fenomena intertekstualitas merupakan kewajaran.
Memang, hanya satu cerpen Agus yang mempunyai indikasi kuat terinspirasi cara penyair Joko Pinurbo membangun narasi cerita dalam sajak. Yakni, cerpen Perihal Orang Miskin itu.
Pada cerpen lain, seperti Kartu Pos dari Surga, Permen, 20 Keping Puzzle Cerita dan Episode, Agus berhasil membebaskan diri dari rujukan teks Joko Pinurbo yang rupanya memang sengaja menjadi acuan. Otentisitas yang ditemani bayangan intertekstualitas itu tentu saja mengkhawatirkan. Semestinya, kemungkinan intertekstualitas yang cenderung verbal semacam itu tak lagi menjerat. Dapat dilepaskan secara baik-baik. Bagaimana? (*)
Satmoko Budi Santoso, pencinta sastra. Tinggal di Jogjakarta
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 14 Maret 2010
No comments:
Post a Comment