Monday, March 08, 2010

Dilarang Menulis Puisi Sembarangan!

DI tengah ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan dewasa ini, Komunitas Tangerang Serumpun Sabtu 6 Maret lalu menggelar acara Pengadilan Puisi, di Taman Wisata Danau Cipondoh Tangerang. Acara yang dipimpin oleh Hakim Ketua Kurniawan Junaedhie dan hakim anggota Ilenk Rembulan, ini menghadirkan 10 puisi karya penyair Abah Yoyok sebagai terdakwa.

Suasana Pengadilan Puisi Abah Yoyok di tepi Danau Cipondoh, Tangerang, Sabtu (6/3) 2010 malam. (Eti Puji)

Dalam dakwaaannya Jaksa Penuntut Umum Handoko F Zainzam menilai penyair belum memahami kaidah-kaidah estetika. Ia menyebut contoh, “Demi rima, penyair seenaknya mengubah kata. Ini menunjukkan pemahan estetikanya bermasalah,” katanya.

Jaksa Khrisna Pabicara menilai apa yang ditulis dalam puisi-puisi terdakwa tidak terlalu istimewa karena sudah banyak diperbincangan di mana-mana. “Masalah kemiskinan dan lain sebagainya itu hal biasa. Jadi puisi-puisi terdakwa sama sekali tidak memberi pencerahan baru. Semua telanjang. Ini hanya puisi curhat,” kata Khrisna berapi-api. Ia mengingatkan, puisi bukan perkara sepele untuk dilahirkan dengan laku ala kadarnya. “Untuk itu, kami, menuntut agar Yang Mulia Hakim,menjatuhkan hukuman selama 10 bulan agar terdakwa tidak menciptakan puisi. Dalam waktu tersebut diharapkan penyair bisa belajar kesusstraan lebih mendalam,” kata Khrisna.

Tentu saja, dakwaan jaksa itu disanggah keras oleh tim pembela Uki Bayu Sejati dan Man Atek. “Jaksa menggunakan teori-teori barat yang tidak tepat. Bisa jadi bagi jaksa puisi terdakwa tidak mengena, tetapi bagi pembaca lain puisi terdakwa sangat komunikatif,” kata Uki. Sedang Man Atek berpendapat, tidak ada seorang pun yang berhak melarang seseorang untuk tidak menulis.

Dalam sidang pengadilan yang berlangsung hampir 4 jam itu, hakim juga menghadirkan beberapa pengunjung sebagai saksi baik saksi meringankan maupun saksi memberatkan. Idris Pasaribu, seorang pengunjung, misalnya membela terdakwa dengan mengatakan puisi Abah Yoyok layak dinobatkan sebagai 'penyair rakyat'.

Dalam pada itu, novelis Saut Poltak Tambunan, penyair Farchad Puradisastra dan Ketua Sie Teater DKJ Madin Tasyawan yang dihadirkan sebagai saksi ahli umumnya membela terdakwa. “Saya kira, apa yang dilakukan penyair sudah benar yaitu dengan bahasa kerakyatan. Saya tidak bisa membayangkan kalau Rhoma Irama menciptakan lagu ‘Begadang’, dengan irama bosanova atau seriosa. Jelas tidak pas,” kata Saut.

Setelah melalui satu kali skors, hakim memutuskan, terdakwa dihukum untuk tidak menciptakan puisi selama 3 (tiga) bulan, atau jauh di bawah tuntutan jaksa. Dan selama masa itu diharapkan terdakwa banyak-banyak membaca puisi-puisi bermutu dan membaca buku-buku kesusastraan. Atas tuntutan itu, terdakwa langsung berdiri dan menyatakan naik banding.

Acara berbau dagelan ini menurut Poncowae Lou selaku penyelenggara dimaksudkan sebagai pendidikan sastra semata agar orang yidak selalu memandang puisi atau kesusastraan sebagai hal yang sacral, tetapi juga menghibur. “Orang juga harus tahu bahwa menulis puisi perlu tanggungjawab karena ada norma-norma dan kaidah-kaidahnya.”

Ini adalah gebrakan pertama komunitas Tangerang Serumpun, menyusul maraknya aktivitas komunitas di Jabodetabek dalam 2 tahun terakhir. Acara ini juga dimeriahkan oleh aksi pentas Teater Empang dan Teater Koin serta musikalisasi puisi oleh Jodhi Yudono. (Jun)

Sumber: Oase Kompas.com, Senin, 8 Maret 2010

No comments: