Judul : The White Tiger
Penulis : Aravind Adiga
Penerjemah : Rosemary Kesauly
Penerbit : Sheila, 2010
Tebal : 352 hlm.
THE White Tiger bercerita tentang sinisme Aravind Adiga, penulis novel ini, dalam melihat India. Negara asal para dewa itu tak lebih dari sepotong kegelapan di muka bumi ini. Di dalam kegelapan apa saja dapat menimpa orang-orang miskin, bahkan, kemiskinan membuat nasib mereka tak lebih bagus dari nasib seekor kerbau. Nasib yang tanpa disadari dapat mengubah seorang yang baik, lugu, polos, menjadi pembunuh berdarah dingin.
Kemiskinan seperti menjadi kutukan bagi warga India. Begitu terlahir miskin, seumur hidup orang akan berada dalam kerangkeng kemiskinan itu. Sekuat apa pun upaya mengubah nasib akan sia-sia. Adalah Balram, tokoh dalam novel ini, menceritakan kisah hidupnya kepada Perdana Menteri China, Wen Jiabao, yang akan datang ke India. Dalam sebuah surat panjang lebar, Balram bercerita tentang desa kelahirannya: miskin, pendidikan buruk, korupsi yang mewajar, dusta religi tentang kesakralan Sungai Gangga, dan politisi busuk. Semua disampaikan dengan kemarahan dipendam, dengan sinisme yang berusaha diluapkan, juga dengan ketidakberdayaan menghadapi realitas kehidupan.
Hingga mengenyam pendidikan dasar, Balram tak pernah diberi nama oleh orang tuanya. Kemiskinan membuat ayahnya menghabiskan waktu setiap hari mencari nafkah sebagai penarik rickshaw (becak). Ibunya meninggal diserang penyakit akut, sementara sanak famili, karena kemiskinan, sibuk merancang niat melakukan kelicikan demi kelicikan. Tak seorang pun punya sedikit waktu memikirkan sepotong nama buatnya.
Sebab itu, ia dipanggil Mannu (panggilan anak laki-laki di India). Gurunya memberinya nama Balram, nama seorang Dewa dalam tradisi religi India. Nama Balram sangat melekat padanya. Karena berasal dari kasta rendah (Halwai), kasta pembuat gula-gula, maka Halwai menjadi nama belakangnya. Seorang pengawas sekolah yang melakukan inspeksi mendadak ke sekolahnya, memuji kecerdasan Balram dan menyanjungnya sebagai manusia ajaib yang hanya muncul sekali dalam satu generasi. Alasan itu pula yang dipakai pengawas sekolah itu untuk menyebut Balram sebagai Harimau Putih (White Tiger).
Dalam tradisi religi India, harimau putih makhluk langka yang muncul sekali dalam satu generasi. Setiap datang, ia membawa perubahan besar. Mannu atau Balram akhirnya memang identik harimau putih. Nama itu membawa perubahan besar dalam hidupnya, bahkan semangat yang membungkus nama itu melekat dalam dirinya.
India, kata Balram, belum pernah merdeka. "Hanya orang tolol yang menganggap kami sudah merdeka," kata dia. Ketidakmerdekaan itu dibeberkan begitu sinis dan sarkas dalam bab pertama novel yang ditulis dengan teknik bernarasi. India gelap karena kemiskinan akibat para elite salah mengelola negara, korupsi merajalela, ketimpangdaan sosial sangat tajam, politik tanpa etika, hukum yang tak jelas, dan penindasan yang diwajarkan atas nama stratifikasi sosial.
Tuan tanah merupakan mimpi buruk semua warga. Kekuasaannya yang besar terhadap fasilitas umum dan sosial membuat mereka penguasa paling otoriter dibanding negara. Tuan tanah menyebabkan kemiskinan keluarga Balram tidak kunjung hilang. Vikram Halwai, ayah Balram, diserang TBC akut dan meninggal di rumah sakit lantaran tak ada dokter yang mau menanganinya. Balram harus bekerja menghidupi dirinya, menjadi pelayan di warung teh, kemudian diusir dan tidak diterima bekerja di mana pun karena berasal dari kasta rendah. Suatu hari ia belajar membawa mobil, lalu bekerja sebagai sopir Mr. Ashok, tuan tanah yang baru tiba dari Amerika dan menetap di Kota Banglahore.
Hidupnya berubah. Dia tinggal bersama, menemani ke mana saja, dan harus menerima ketika Mr. Ashok memperlakukan seperti anjing buduk tak berharga. Mr. Ashok memiliki kasta tinggi dan pergaulannya sangat luas. Akhirnya Balram paham banyak hal tentang Mr. Ashok, politik, religi, kemunafikan, keangkuhan, kesombongan, dan pemberontakan.
Perlahan-lahan sisi buruk kehidupan tuan tanah India melekat dalam dirinya. Suatu ketika ia menggorok Mr. Ashok agar dapat menikmati hidup tanpa kehadiran seorang tuan. Keinginan merdeka, bebas menentukan hidup membuat Balram membunuh Mr. Ashok.
Sangat wajar jika novel perdana Aravind Adiga ini memperoleh The Man Book Prize 2008, membuat penulis yang juga wartawan ini sejajar dengan sastrawan ternama asal India, Saman Rusdhi, yang sebelumnya sudah menerima hadiah serupa. Novel ini dijual di Toko Buku Fajar Agung, Bandar Lampung. HESMA ERYANI
Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 Maret 2010
No comments:
Post a Comment