Friday, March 05, 2010

Resensi: Ziarah dari Teks ke Teks

-- M Lubabun Ni'am Asshibbamal S


• Judul: Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia
• Penyunting: Henri Chambert-Loir
• Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
• Cetakan: I, November 2009
• Tebal: 1.160 halaman
• ISBN: 13: 978 979 91 0214 0

BUKU ini menawarkan ziarah budaya yang mengenyangkan lantaran topik yang dibedahnya tak lazim, yaitu terjemahan. Karya ini tidak hanya dimaknai sebagai penerjemahan teks dari satu bahasa ke bahasa lain, tetapi sekaligus perpindahan antar-ruang budaya.

Hasil suntingan Henri Chambert-Loir ini merupakan kompilasi 65 tulisan dari 59 sarjana sejumlah negara. Mereka yang menulis di antaranya Henri Chambert-Loir, Barbara Hatley, James Siegel, Benedict Anderson, Keith Foulcher, Tineke Hellwig, Mikihiro Moriyama, Francois Raillon, dan Toru Aoyama.

Untuk ukuran sebuah buku, karya ini tidak lazim dan fisiknya begitu mencolok. Buku setebal 1.160 halaman ini berukuran tinggi 31 sentimeter dan lebar 22 sentimeter.

Saduran ini dapat dijadikan sebagai sebuah referensi peradaban. Aspek linguistik dalam kajian penerjemahan sengaja disisihkan dari buku ini. Sekalipun hal itu tak bisa dihindari untuk diselip-selipkan sebagian besar penulis. Yang jelas, aspek linguistik tidak termasuk dalam bab maupun subbab tertentu.

Sebut saja, misalnya, teks-teks lama Nusantara yang disebarluaskan dengan didengar, bukan dibaca. Hikayat dan syair disampaikan kepada masyarakat lewat tutur lisan, sebagai pertunjukan sampai ke upacara adat.

Sejarah terjemahan

Dalam artikel Supomo yang berjudul ”Men-jawa-kan Mahabharata” (hlm 933) tercatat bahwa 14 Oktober 996 merupakan tonggak penting bagi penerjemahan karya asing ke Indonesia. Pada hari itu dibacakan Wirataparwa, buku pertama dalam proyek pengalihbahasaan Mahabharata dalam bahasa Jawa Kuno.

Pembacaan itu menghabiskan ”sebulan kurang sehari” di keraton Raja Dharmawangsa Teguh, Kediri, Jawa Timur. Temuan kecil, tetapi penting ini cukup buat menjadikan kita terbelalak. Betapa saduran di Nusantara sudah dikerjakan sepuluh abad lebih atau sekitar satu milenium.

Sebelum jauh melongok satu per satu tulisan di buku ini, saya terusik menggarisbawahi catatan Henri Chambert-Loir dalam Pendahuluan. Penyunting buku ini menuliskan, sejarah terjemahan di Nusantara terbagi atas tiga babak, sebagaimana umumnya pembabakan sejarah Nusantara.

Dimulai dari periode pengaruh India, pengaruh Islam, hingga pengaruh Eropa. Dari ketiga periode itu terdapat persamaan yang mencolok. Penerjemahan dari suatu bahasa tertentu mengiringi peminjaman sistem tulis, bahasa, dan agama. Lihatlah, peralihan suatu agama (Hindu dan Buddha, kemudian Islam) mengiringi peminjaman suatu sistem tulis. Misalnya tulisan Palawa, kemudian huruf Arab). Peminjaman suatu bahasa dapat dilihat bahasa Sanskerta, kemudian bahasa Arab.

Bagaimana dengan masa pengaruh Eropa? Pada babak ketiga ini, kolonialisasi memang diiringi peminjaman sistem tulis (Latin) dan penerjemahan berbagai teks. Namun, tidak disertai perpindahan bahasa dan agama seperti pada kedua masa sebelumnya.

Chambert-Loir tidak menyangkal perbedaan ini. Inilah salah satu wilayah riskan dalam upaya generalisasi realitas sosial. Ia selalu membuka pengecualian dan keterangan tambahan guna menjelaskan kevalidan dan kesahihan logikanya.

Strategi penulisan

Lantaran sejarah terjemahan merentang satu milenium, tak pelak salah satu strategi penulisan yang diterapkan para penulis buku ini dengan cara komparasi ”dahulu dan sekarang” atau ”dari masa ke masa”. Misalnya Leo Suryadinata, Imran T. Abdullah, dan Daud Soesilo. Leo Suryadinata membahas kesusastraan Tionghoa dalam terjemahan Melayu/Indonesia, Imran Abdullah soal terjemahan sastra Aceh, dan Daud Soesilo terkait terjemahan Alkitab dalam bahasa Melayu dan Indonesia.

Sementara untuk seputar kejawaan atau sastra Jawa ditulis oleh Edi Sedyawati, Suryo Supomo, Siti Chamamah Soeratno, Achadiati Ikram, dan beberapa penulis Indonesianis. Tema Jawa rupanya dominan. Dalam sejarah terjemahan, Jawa memupuk tradisi ini cukup lampau. Kakawin Sutasoma (saduran dari Sanskerta) misalnya, dalam bahasa Jawa Kuno telah dikerjakan pada abad ke-9.

Di tengah mencuatnya kembali sentimen Partai Komunis Indonesia (PKI) yang belakangan kian riuh, artikel Ibarruri Sudharsono berjudul ”Terjemahan Kiri” (hlm 701-723) serasa memantik dorongan istimewa untuk diulas. Artikel Ibarruri menyajikan daftar tulisan dan buku-buku terjemahan yang sempat digarap Harian Rakjat, majalah Bintang Merah, majalah kebudayaan Indonesia, Komisi Penerdjemah CC PKI, dan Jajasan Pembaruan, sebuah tim kecil di tubuh PKI yang amat produktif menerbitkan bacaan kiri.

”Terjemahan kiri” ini juga dilengkapi dengan wawancara bersama penerjemah Jajasan Pembaruan, seperti Dito Atmo dan Sucipto. Pada resensi ini, saya sengaja membatasi diri untuk mencolek garapan para penulis Indonesia. Hal ini semata-mata untuk memberi kesan bahwa kesanggupan untuk menulis sejarah kita sendiri sudah mulai tumbuh.

Sementara untuk penulis Indonesianis terpaksa hanya ditampilkan namanya saja di muka. Bagi para pembaca awam, barangkali akan sulit menemukan mana penulis Indonesianis dan mana penulis Indonesia. Di situlah kemungkinan kelelahan penyuntingan ini dapat terbaca. Sampai tuntas membolak-balik naskah buku ini, setidaknya hanya ditemukan asal universitasnya, itu pun tidak semua. Masih banyak penulis yang tak menyertakan keterangan atau data dirinya. Alhasil, ”penziarahan” kita dari teks ke teks di belantara riwayat karya terjemahan dalam buku ini seperti tanpa diimami sang juru kunci.

* M Lubabun Ni’am Asshibbamal S, Peminat Sejarah; Bergiat di Komunitas Kembang Merak Yogyakarta

Sumber: Kompas, Jumat, 5 Maret 2010

No comments: